Ditunggu berhari-hari, dari minggu ke minggu, hingga berganti bulan sejak pemerintah memunculkan rencana untuk menaikkan harga bahan bakar minyak atau BBM pada beberapa waktu lalu, "petaka" harga baru itu tidak juga menjadi kenyataan. Apa boleh dikata, sejak rencana pemerintah menaikkan harga BBM itu muncul, serta-merta diikuti kenaikan harga-harga berbagai kebutuhan masyarakat. Tetapi hingga pertengahan Juni ini, saat kenaikan harga-harga telah memicu inflasi, "petaka" kenaikan harga BBM tersebut belum juga diumumkan. Berbagai kalangan, dari organisasi kemasyarakatan, asosiasi pengusaha, pemerintah daerah, hingga tokoh masyarakat pun bersuara lantang: Jangan ragu, segera tetapkan kenaikan harga BBM!. Berbagai kalangan itu beralasan semakin lama penetapan kenaikan harga BBM digantung, maka dampaknya bertambah merugikan berbagai pihak. Tidak saja dampak kenaikan harga-harga dan inflasi, tetapi juga memicu kesulitan masyarakat untuk mendapatkan BBM hingga diwarnai antrean pembeli di SPBU-SPBU. Spekulan penimbun BBM pun semakin leluasa untuk terus menambah omzet dari bisnis sesaat memanfaatkan keuntungan selisih harga tersebut. Bisnis ilegal yang menyengsarakan orang banyak untuk mendapatkan BBM bagi kendaraannya, solar untuk bekal kapal nelayan agar bisa pergi melaut. Kenapa pemerintah begitu lama menggantung penetapan kenaikan harga BBM, padahal skenario rencana perubahan harganya juga sudah disebutkan, yakni premium naik Rp2.000 dan solar naik Rp1.000 dari harga sekarang?. Akhirnya muncul alasan bahwa kenaikan harga BBM perlu disertai penetapan alokasi anggaran kompensasi yang disebut program Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) yang diusulkan sebesar Rp11,6 triliun melalui APBN-Perubahan 2013. Badan Anggaran DPR RI baru menyepakati draf Rencana Anggaran Pembangunan dan Belanja Negara Perubahan (RAPBN-P) 2013 untuk diajukan dalam rapat paripurna yang dijadwalkan pada Senin (17/6). "Pemerintah bersama enam fraksi secara bulat menyetujui draf UU APBN-Perubahan 2013," kata Ketua Badan Anggaran Ahmadi Noor Supit dalam rapat kerja antara pemerintah dengan Badan Anggaran di Jakarta, Sabtu (15/6). Menurut Menteri Keuangan Chatib Basri, postur RAPBN-Perubahan yang diajukan untuk mendapatkan persetujuan rapat paripurna antara lain pendapatan negara sebesar Rp1.502 triliun dan belanja negara senilai Rp1.726,1 triliun, dengan defisit anggaran 2,38 persen terhadap PDB atau Rp224,2 triliun. Kemudian, asumsi makro antara lain pertumbuhan ekonomi 6,3 persen, laju inflasi 7,2 persen, nilai tukar Rp9.600 per dolar AS, suku bunga SPN 3 bulan 5 persen, harga ICP minyak 108 dolar AS per barel, lifting minyak 840.000 barel per hari dan lifting gas 1.240 ribu barel per hari setara minyak. Badan Anggaran juga menyepakati dana untuk program BLSM sebesar Rp9,31 triliun atau lebih rendah Rp2,3 triliun dari usulan awal Rp11,62 triliun. Selisih sebesar Rp2,3 triliun tersebut akan dimanfaatkan untuk biaya penyaluran dan pengamanan BLSM Rp360 miliar, infrastruktur dasar Rp1,25 triliun, infrastruktur modal Rp500 miliar, dan tambahan kebutuhan mendesak Rp196,4 miliar. Sementara, belanja subsidi BBM mengalami penurunan sebanyak Rp10 triliun dari usulan awal sebesar Rp209,9 triliun menjadi Rp199,8 triliun, dengan volume BBM bersubsidi tidak mengalami perubahan yaitu tetap 48 juta kiloliter. Akan tetapi, kuncup "petaka" kenaikan harga BBM itu masih menunggu kemungkinan dilakukan voting pada rapat paripurna DPR RI yang akan mengesahkan RUU Perubahan 2013 pada Senin (17/6). Menurut anggota Badan Anggaran DPR RI Maruarar Sirait, Partai Golkar yang akan menjadi pemegang kunci penentu apakah rencana pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak bersubsidi bakal terlaksana atau tidak. "Kita tahu rakyat Indonesia menolak kenaikan harga BBM bersubsidi, karena akan semakin memberatkan beban kehidupan masyarakat," katanya. Kenapa memberatkan masyarakat, kan ada kompensasi BLSM?. Ya, itu benar, tetapi BLSM besarnya hanya Rp150 ribu per bulan per keluarga penerima sasaran. Apalah arti uang Rp150 ribu dibandingkan kenaikan harga berbagai kebutuhan rakyat yang diikuti inflasi. Di sinilah tampaknya diperlukan pengorbanan warga negara, termasuk dari kalangan kaum tak berpunya. Demi menekan defisit anggaran (APBN) yang jika dibiarkan bisa membuat negara ini oleng. Kenapa demikian? Karena fakta sesuai data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK-Migas), produksi minyak bumi (minyak fosil) kita masih jauh dari keperluan menutupi kebutuhan bahan bakar minyak nasional. Menurut Kepala Bagian Humas SKK-Migas, Elan Biantoro, saat ini kebutuhan BBM skala nasional mencapai 1,3 juta barel per hari sementara produksi minyak Indonesia hanya berkisar 827 ribu hingga 840 ribu barel per hari (bph). Artinya, kekurangan BBM nasional itu hanya bisa diatasi dengan cara mengimpor. Tentunya dengan harga yang jauh lebih mahal dibandingkan dengan harga penjualan di Indonesia. Pemerintah yang mensubsidi selisih harga impor terhadap harga jual tersebut. Selisih harga jual merugi itu menjadi penyumbang terbesar defisit APBN, sehingga perlu diimbangi kenaikan harga jual BBM di dalam negeri walau itu mendatangkan "petaka" dampak kenaikan harga-harga yang harus ditanggung bersama. (*)
Menggantung "Petaka" Kenaikan Harga BBM
Minggu, 16 Juni 2013 21:59 WIB