Saatnya Bandul Digeser ke Ekonomi Kesejahteraan
Selasa, 11 Juni 2013 11:33 WIB
(Surabaya/Antara) - "Ada satu pemandangan yang menarik ketika saya berkunjung ke salah satu kabupaten di wilayah Provinsi Kalimantan Timur, pemandangan yang mengusik rasa nasionalisme saya sebagai warga negara Indonesia," ucap Bambang Ariyanto SH MH.
Wakil Ketua Forum Masyarakat Cinta Damai (Formacida) Jawa Timur itu mengaku apa yang disaksikan itu merupakan suatu realitas kehidupan akibat dari belum meratanya pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah pusat di provinsi selain Jawa.
"Padahal dari sumber daya alamnya, Provinsi Kaltim ini memiliki banyak potensi yang bisa dikembangkan untuk dijadikan sumber kekayaan negara ini," ujar Bambang Ariyanto yang juga dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Hang Tuah (UHT) Surabaya itu.
Di provinsi terluas kedua di Indonesia ini, katanya, bisa ditemukan berbagai macam hasil tambang dan galian, mulai dari batu bara, emas, timah hitam, seng, fosfat, besi dan nikel. Ada juga kekayaan alam lain seperti minyak bumi dan gas alam. Hal ini masih didukung potensi kehutanan yang tersebar di beberapa kabupaten.
"Sayangnya, semua potensi ini belum mampu meningkatkan kesejahteraan ekonomi di sejumlah kabupaten/kota di Provinsi Kaltim. Contoh sederhana adalah infrastruktur jalan. Dari perjalanan yang saya tempuh untuk menuju ke Tanah Grogot, Kabupaten Paser, kondisi jalan yang harus saya lalui rusak parah," tuturnya.
Ironisnya, status dari jalan tersebut adalah jalan nasional yang notabene menjadi tanggung jawab dari pemerintah pusat. Parahnya lagi, seringkali keluhan mengenai kondisi jalan ini disampaikan pemerintah daerah baik melalui pertemuan resmi ataupun informal, namun respons dari pemerintah pusat sangat lamban.
"Keprihatinan kembali muncul saat saya melihat banyaknya truk-truk yang antre membeli bahan bakar minyak. Mungkin saja pembatasan BBM ini terkait dengan subsidi BBM yang melampaui kuota, namun pemandangan terakhir justru membuat miris. Ribuan ton hasil tambang negeri ini, yakni batu bara begitu mudahnya diangkut dan dikirim ke luar negeri dengan melintasi jalan khusus yang digunakan mengangkut batu bara. Sungguh ironis," ungkapnya.
Dari pengamatannya selama lima menit, kurang lebih sudah ada delapan truk gandeng yang mengangkut hasil tambang tersebut. Setiap truk ini mengangkut kurang lebih 60 ton batu bara. "Artinya, setiap lima menit saja, terangkut 480 ton batu bara. Lalu bagaimana dengan dalam sehari? Berapa ribu ton batu bara yang bakal diangkut dan dibawa ke luar negeri ?," katanya, setengah bertanya.
Padahal, Pasal 33 UUD 1945 sudah cukup jelas ditegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat. "Ya, nasionalisme dan wawasan kebangsaan tidak bisa dibangun hanya dengan teori-teori semata. Semangat kebangsaan perlu dibangun dengan tindakan," paparnya.
Bagi generasi muda, semangat kebangsaan harus ditumbuhkan dengan melihat, meresapi dan mengabdikan diri untuk mengatasi berbagai kesenjangan pembangunan yang terjadi di negeri ini, seperti almarhum Presiden Venezuela Hugo Chavez yang berani menggelorakan semangat kebangsaan untuk berdikari, atau seperti sang penggali Pancasila, Bung Karno.
Pelajaran dari ketimpangan sosial itulah yang mendorong dua tokoh nasional yakni pengusaha Chairul Tanjung dan pengusaha-politisi Aburizal Bakrie untuk menggelorakan perlunya menggeser bandul ekonomi dari Ekonomi Pertumbuhan menuju Ekonomi Kesejahteraan.
"Masyarakat yang kaya itu hanya membutuhkan iklim usaha melalui peraturan yang mendukung, sebab mereka bisa membangun infrastruktur sendiri, karena itu pemerintah jangan memprioritaskan pembangunan infrastruktur, karena hal itu hanya menguntungkan 20 persen masyarakat yang kaya," kata Ketua Komite Ekonomi Nasional (KEN) Chairul Tanjung di Surabaya, 4 Juni 2013.
Dalam kuliah umum tentang 'Ekonomi Kesejahteraan' di Rektorat Universitas Airlangga (Unair) Surabaya yang dihadiri hampir 1.000 mahasiswa Surabaya, ia menjelaskan Indonesia memiliki 29 juta masyarakat miskin, 70 juta masyarakat hampir miskin, 100 juta masyarakat menengah, dan 50 juta masyarakat kaya.
"Jadi, penduduk kaya hanya 20 persen, sedangkan penduduk miskin, hampir miskin, dan menengah mencapai hampir 200 juta, karena itu pemerintah hendaknya memprioritaskan pembangunan untuk 80 persen masyarakat, bukan 20 persen masyarakat kaya yang bisa memikirkan dirinya sendiri," katanya.
Negara Kesejahteraan
Chairul Tanjung yang juga anggota Majelis Wali Amanat (MWA) Unair itu menegaskan bahwa Indonesia akan bisa sejahtera bila pemerintah memprioritaskan pembangunan pada 80 persen masyarakat yang miskin, hampir miskin, dan menengah, sebab 80 persen masyarakat itu tidak bisa berbuat apa-apa tanpa dukungan pemerintah.
"Caranya, 80 persen masyarakat itu dibangun dengan meningkatkan kualitas sumberdaya mereka melalui pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi. Itulah yang disebut Ekonomi Kesejahteraan dan ekonomi itulah yang akan membuat republik ini maju," kata pengusaha yang dikenal sebagai 'Anak Singkong' itu.
Dalam kuliah umum yang dihadiri Rektor Unair Prof H Fasich Apt itu, ia menegaskan bahwa uang negara hendaknya tidak dipakai untuk 20 persen penduduk yang kaya, karena penduduk kaya itu hanya membutuhkan iklim usaha untuk meningkatkan potensinya.
"Pemerintah harus memakai uang negara untuk menggratiskan pendidikan, kesehatan, dan memberdayakan usaha ekonomi kecil dan menengah bagi 80 persen masyarakat kita, bahkan negara harus memaksa masyarakat yang tidak mau sekolah akibat kemiskinannya," katanya.
"Chairman CT Corpora" itu menyatakan 80 persen masyarakat Indonesia hanya 20 persen yang memiliki lahan pertanian atau mayoritas buruh tani, hanya 20 persen pula dari mereka yang memiliki akses perbankan, dan meninjau kembali masuknya perusahaan asing.
"Karena itu, pemerintah harus pula merumuskan kebijakan lahan pertanian yang memihak mereka, mendorong mereka memiliki akses lebih kepada perbankan, dan menghentikan masuknya perusahaan asing yang jumlahnya saat ini berkisar 10 persen, bahkan perbankan sudah 37 persen. Itu bertentangan dengan UUD 1945," katanya.
Ia memperkirakan kebijakan pemerintah untuk melakukan pembangunan 80 persen masyarakat Indonesia akan menciptakan "swing movement" yang mendorong kesejahteraan masyarakat dan kemajuan republik tercinta.
"Hal itu karena pembangunan yang memihak 80 persen masyarakat Indonesia itu akan mengurangi kesenjangan antara Jawa dan luar Jawa, kesenjangan antara kaya dan miskin, dan kesenjangan lainnya. Jadi, sistem 'Ekonomi Pertumbuhan' itu hanya menciptakan kesenjangan, sehingga pertumbuhan ekonomi menjadi tidak ada artinya," katanya.
Sistem Ekonomi Kesejahteraan itu juga didukung Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar Aburizal Bakrie (ARB), bahkan mantan Menteri Koordinator Kesejahteraan itu menilai konsentrasi pembangunan nasional yang selama ini berpusat di Pulau Jawa dan wilayah perkotaan harus mulai diubah.
"Pembangunan nasional yang selama ini terkonsentrasi di Pulau Jawa itu mengakibatkan disparitas pembangunan antarwilayah dan antardaerah, sehingga diperlukan pendekatan pembangunan baru, yakni membangun Indonesia dari desa," katanya dalam dialog bertajuk 'Membangun Dari Desa Untuk Kesejahteraan Rakyat Indonesia' di Universitas Brawijaya (UB) Malang, 4 Juni 2013.
Apalagi, lanjutnya, berdasarkan data dari Badan Pusat Statistisk (BPS) pada September 2012, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 28,594 juta jiwa atau sekitar 11,66 persen. Dari jumlah penduduk miskin tersebut, sebanyak 18,086 juta tinggal di pedesaan.
"Penduduk di daerah pedesaan itu tidak berdaya mengakses pendidikan dan kesehatan yang layak, akibatnya Indeks Pembangunan Manusia Indonesia tercatat masih rendah, karena kemajuan negara ini dapat didongkrak dari sisi pedesaan ini," katanya.
Untuk meningkatkan perekonomian masyarakat pedesaan, fungsi dan peran Koperasi Unit Desa (KUD) perlu dikembalikan, baik sebagai lembaga perkreditan, penyedia dan penyalur sarana produksi pertanian maupun lembaga pengolahan dan pemasaran hasil pertanian serta kegiatan ekonomi pedesaan lainnya.
Karena itu, ia menggagas "Visi Negara Kesejahteraan 2045" yang menggantikan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yakni dasawarsa pertama (2015-2025) meletakkan pondasi menuju negara maju, dasawarsa kedua (2025-2035) mempercepat pembangunan di segala bidang memasuki negara maju, sedang dasawarsa ketiga (2035-2045) memantapkan Indonesia sebagai negara maju. (*)