MIAP Ajak Masyarakat Perangi Peredaran Obat Palsu
Kamis, 18 April 2013 19:12 WIB
Surabaya (Antara Jatim) - Organisasi Masyarakat Indonesia Anti-Pemalsuan mengajak seluruh lapisan masyarakat, pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dan berbagai pemangku kepentingan ikut memerangi obat-obatan palsu yang masih marak beredar di pasaran.
Ketua MIAP Widyaretna Buenastuti kepada wartawan di Surabaya, Kamis, mengatakan bahwa peredaran obat palsu merupakan masalah yang berbahaya dan berkembang terus, kendati sudah sering dilakukan tindakan penertiban atau razia.
"Sekarang ini, semua jenis obat dapat menjadi target pemalsuan, baik obat bermerek maupun obat generik. Bahkan, peredarannya juga sudah menembus apotek," katanya di sela-sela acara Konferensi Apoteker Indonesia 2013 yang diselenggarakan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI).
Menurut Widyaretna, obat-obatan palsu tidak hanya berakibat atau menimbulkan risiko terhadap kesehatan masyarakat karena mengandung bahan-bahan yang berbahaya, tetapi juga merugikan secara ekonomi, termasuk perekonomian nasional.
Riset "victory project" yang dilakukan Departemen Urology, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia pada tahun lalu, mencatat bahwa obat-obatan yang terkait dengan terapi disfungsi ereksi atau dikenal dengan sebutan "Phosphodiesterase type 5 Inhibitor" (PDE5I), tergolong yang paling banyak dipalsukan.
Penelitian victory project yang didukung perusahaan farmasi PT Pfizer Indonesia tersebut dilakukan pada empat wilayah, yakni Jabodetabek, Bandung, Jatim (Surabaya dan Malang), serta Medan, dengan sampel obat "sildenafil" yang dibeli melalui toko obat, apotek, kios pinggir jalan, dan situs "online".
"Dari 518 jumlah tablet yang dibeli dari 157 outlet di empat wilayah itu, tingkat pemalsuan obat jenis ini mencapai angka 45 persen," ujar Widyaretna.
Secara rinci, ia menyebutkan dari 518 tablet yang diuji klinis, obat PDE5I yang dijual pada kios pinggir jalan 100 persen palsu, kemudian di toko obat sekitar 56 persen, situs online 33 persen, dan apotek 13 persen.
Sedangkan berdasarkan wilayah penelitian, peredaran obat palsu di Jabodetabek dan Jatim mencapai 50 persennya, sementara di Medan dan Bandung masing-masing 20 dan 18 persen.
Peneliti dari Departemen Farmakologi FKUI Dr Melva Louisa SSi, MBiomed, mengatakan hasil riset itu sebagai bentuk peringatan kepada masyarakat dan berbagai pihak untuk segera mengambil langkah aktif memerangi peredaran obat palsu.
"Sudah saatnya semua pihak bergotong royong melindungi masyarakat dari bahaya peredaran obat palsu. Pemberantasan obat palsu akan menjadikan masyarakat lebih sehat, produktif, serta ekonomi nasional ikut membaik," ujarnya pada kesempatan yang sama.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal IAI Drs Nurul Falah EP, Apt, menambahkan bahwa kalangan apoteker siap berada di garda terdepan untuk mendukung pemberantasan obat-obatan palsu, terutama yang dijual melalui apotek.
"Tindakan yang bisa dilakukan adalah dengan memastikan obat-obat yang disediakan di apotek itu dibeli dari distributor resmi dan juga tidak ragu melaporkan kecurigaan adanya obat palsu yang diterima," ujarnya.
Ia mengakui masyarakat awam sangat sulit untuk membedakan antara obat asli dengan yang palsu, sehingga apotek harus menjadi garda terdepan dalam mencegah peredarannya. (*)