Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki sebanyak 17.508 pulau dan garis pantai sepanjang 81.000 kilometer, dengan wilayah laut seluas 5,8 juta kilometer persegi atau lebih dari 70 persen luas seluruh wilayah Indonesia. Tentunya dengan sumber kekayaan alam yang melimpah itu menjadi berkah bagi rakyat Indonesia khususnya para nelayan di kawasan pesisir, namun ironisnya kekayaan negeri (katanya) bahari tersebut tidak dirasakan oleh nelayan. Data Badan Pusat Statistik mencatat jumlah nelayan miskin di Indonesia pada tahun 2011 mencapai 7,87 juta orang atau 25,14 persen dari total penduduk miskin nasional yang mencapai 31,02 juta orang. Sungguh memprihatinkan fakta tersebut yang berbanding terbalik dengan kekayaan laut di negeri tercinta dan kebanggaan bangsa Indonesia yang menganggap nenek moyangnya seorang pelaut terkesan hanya mitos dan menjadi kenangan belaka. Kemiskinan yang membelenggu nelayan di negara maritim ini sudah berlangsung lintas generasi dan seakan tidak pernah berhenti seiring dengan perkembangan zaman, bahkan pendapatan nelayan Indonesia berada di bawah standar garis kemiskinan yang ditetapkan Bank Dunia yakni sebesar Rp520 ribu per bulan. Padahal, pemerintah melalui Kementerian, Kelautan dan Perikanan (KKP) sudah menyiapkan program peningkatan kehidupan nelayan untuk menanggulangi kemiskinan masyarakat pesisir yang tersebar 10.640 desa di Indonesia, dengan alokasi anggaran sebesar Rp127,823 miliar pada tahun 2011 dan tahun 2012 meningkat menjadi Rp1,17 triliun. Entah kemana anggaran itu (menguap atau salah sasaran), namun sejumlah nelayan di Kabupaten Jember mengaku tidak pernah mendapatkan bantuan atau program pemerintah guna meningkatkan kehidupan nelayan tersebut. Pemerintah juga belum sepenuhnya memberikan jaminan hukum bagi nelayan tradisional yang sering tertindas oleh nelayan yang menggunakan kapal besar dan nelayan asing yang memiliki peralatan canggih. Keputusan Presiden 10 Tahun 2011 dan Inpres tentang Perlindungan Nelayan juga belum maksimal dijalankan, sejumlah peraturan yang ada belum mampu menciptakan rasa nyaman dan aman bagi nelayan tradisional, apalagi untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan tradisional dan jaminan hidup layak bagi keluarga nelayan masih sangat jauh dari harapan. Di sisi lain, Indonesia sebagai negara maritim dengan kekayaan laut yang luar biasa justru masih mengimpor ikan dari negara lain. Bahkan, kontribusi kelautan Indonesia dari sektor perikanan hanya 3,5 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), sedangkan China, Korea dan Jepang dengan luas laut setengah dari luas laut Indonesia mampu memberikan kontribusi sektor perikanan sebesar 35 persen dari PDB. Tidak banyak orang yang mengetahui bahwa 6 April merupakan Hari Nelayan Nasional, bahkan sejumlah nelayan di Kecamatan Puger-Jember juga tidak pernah tahu akan peringatan hari tersebut. Seolah mengamini "terpuruknya nelayan kami" itu. Gaung peringatan Hari Nelayan Nasional memang tak terdengar, namun momentum itu seharusnya mengingatkan kita tentang lagu "Nenek Moyangku Seorang Pelaut" yang sudah seharusnya kembali menjadi identitas bangsa Indonesia yang dapat berkuasa, dan berjaya di bidang maritim, tentunya dengan dukungan semua pihak. Nelayan hanya bisa berharap lautan masih memberikan harapan hidup bagi mereka yang tinggal di pesisir pantai, agar kehidupan mereka bisa lebih sejahtera dan pemerintah seharusnya lebih serius untuk mengelola sumber daya laut yang cukup potensial dan tidak memberikan kepada pemodal asing yang hanya mengeruk keuntungan di negeri tercinta. (Selamat Hari Nelayan!!!) (*).
Terpuruknya Nelayan di Negeri Maritim
Minggu, 7 April 2013 17:06 WIB