Oleh Edy M Ya'kub Surabaya (Antara Jatim) - Meski banyak yang sudah paham bagaimana penularan HIV/AIDS, tapi polisi sendiri masih banyak yang bingung bagaimana menghadapi tersangka yang mengaku mengidap virus HIV? Mereka terkadang tidak tahu apa yang harus dilakukan saat menangkap tersangka yang mengaku jika dirinya mengidap HIV. "Suatu saat saya melakukan penangkapan, kemudian si tersangka yang pecandu itu mengaku sebagai pengidap HIV dan sedang menjalani rehabilitasi ketergantungan obat," cerita Kasat Narkoba Polres KP3 Tanjung Perak, Surabaya AKP I Ketut Madya. Dalam "Sosialisasi HIV/ADS untuk Kepolisian" di Mapolres KP3 Tanjung Perak (15/3), ia mengaku bingung dengan apa yang dialami di lapangan saat itu. "Saya menjadi bingung, apakah si tersangka ini dilepaskan atau bagaimana? Kalau dia dilepaskan, karena masih menjadi rehabilitasi, lalu siapa yang akan mengawasi dia," ucapnya. Atas pertanyaan ini, Rudhy Wedhasmara dari "Yayasan Orbit" menyatakan hal yang paling penting bagi penderita HIV saat menjadi tersangka adalah polisi tetap memberikan akses bagi tersangka untuk tetap dapat minum obat antiretroviral (ARV) di penjara. "Karena jika sampai minum ARV-nya sampai berhenti, maka bisa dipastikan kondisi tersangka pengidap HIV ini akan semakin menurun," ujarnya. Rudhy juga menegaskan bahwa jika pendampingan yang dilakukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk kasus tersangka HIV/AIDS seperti "Yayasan Orbit" bukanlah untuk membebaskan, melainkan lebih pada membukakan akses layanan kesehatannya. "Masalah hukum silakan dilanjutkan. Kami hanya mengurusi sisi layanan kesehatannya saja. Misalnya agar tersangka tetap dapat minum ARV di penjara. Atau, jika kondisinya memang benar-benar sudah drop, kita yang akan urus untuk masalah rujukan rumah sakitnya," terangnya. Akhirnya, polisi pun tak perlu bingung lagi, karena bisa membedakan antara kasus pidana dan perawatan kesehatannya serta dampaknya pada kelanjutan pidana bila masalah kesehatan diabaikan. Raffi Ahmad Masalahnya, penegak hukum tidak bingung untuk memberikan vonis rehabilitasi bagi pecandu narkoba dan korban HIV/AIDS dari kalangan artis. Ya, vonis rehabilitasi itu langka dan juga diskriminatif. "Meski kasusnya belum ke pengadilan, tapi besar kemungkinan vonis rehabilitasi akan didapatkan Raffi Ahmad dan beberapa selebritis Indonesia lain yang dinyatakan positif narkoba," kata Rudhy W. ketika media massa masih pertama kalinya memberitakan kasus Raffi Ahmad dkk. Prediksi Rudhy yang juga mantan pecandu narkoba itu benar, terbukti artis Raffi Ahmad akhirnya dibawa ke Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) Cibubur, Jakarta Timur, 7 Februari 2013. "Kasus narkoba yang menyangkut publik figur biasanya ada optimisme, yakni kasusnya akan berakhir pada vonis rehabilitasi. Vonis rehabilitasi itu vonis yang langka, tapi vonis itu yang benar," katanya. Dalam praktiknya, pengadilan jarang sekali memberikan vonis rehabilitasi kepada masyarakat umum yang terjerat kasus narkoba. "Sebenarnya, tak ada yang salah dengan vonis rehabilitasi untuk pecandu narkoba itu, kecuali bila diberikan kepada bandar atau pengedar ya jelas salah," katanya. Ya, hukum yang benar untuk pecandu narkoba itu belum berpihak kepada rakyat kecil. "Buktinya, pengadilan jarang memberikan vonis rehabilitasi untuk warga biasa, padahal vonis rehabilitasi itu mengacu para paradigma kesehatan masyarakat," katanya. Dalam paradigma kesehatan untuk pemberantasan narkoba itu, para pecandu dianggap sebagai korban. Paradigma lain dalam pemberantasan narkoba adalah "supply reduction" atau pengurangan penawaran narkoba. "Dalam bidang ini yang berperan adalah aparat penegak hukum. Mereka berperan untuk memberantas peredaran, melakukan penangkapan, dan memproses hukum pengedar, bandar, produsen secara setimpal," katanya. Paradigma lain lagi dalam pemberantasan narkoba adalah "demand reduction" yaitu pengurangan permintaan narkoba. "Yang berperan adalah masyarakat umum melalui kampanye bahaya narkoba, penguatan komunitas masyarakat melalui penyuluhan, seminar dan semacamnya," katanya. Belakangan, muncul paradigma "harm reduction" atau penggurangan dampak buruk narkoba. "Paradigma ini muncul sekitar tahun 2000-an. Paradigma itu memandang persoalan narkoba dari sisi kesehatan masyarakat, namun paradigma itu dilaksanakan untuk orang-orang belum terkena sebagai upaya pencegahan," katanya. Dalam "harm reduction", kegiatannya dapat bermacam-macam, misalnya edukasi ke komunitas pecandu, konseling, terapi dan rehabilitasi. "Konsep harm reduction itu sudah diakomodasi Kementerian Kesehatan yang dibuktikan banyak aturan-aturan yang mendukung itu," katanya. Namun, paradigma "harm reduction" itu belum didukung Badan Narkotika Nasional dan Polri, karena BNN dan Polri tidak sejalan dengan UU Pidana dan UU Narkotika dengan pendekatan kesehatan masyarakat itu. "Contohnya, UU Pidana dan UU Narkotika mengatur jika seseorang yang mengetahui tindak pidana tidak melaporkan penggunaan narkoba ilegal maka dapat dipidanakan. Itu bertentangan dengan upaya edukasi di komunitas pecandu untuk kepentingan pemulihan, seperti penyuluh justru dianggap tidak mau melapor," katanya. Diversi Kabar menggembirakan datang dari aparat penegak hukum yang berbicara dalam seminar "Penerapan Diversi Bagi Pecandu dan Korban Penyalahguna Narkotika oleh Aparat Penegak Hukum, Implementasi Pasal 54, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika" yang diselenggarakan Kejaksaan Agung bekerja sama dengan "HIV Cooperation Programme for Indonesia" (HCPI) di Surabaya, 25 Februari. Dalam kesempatan itu, Jaksa Agung Muda bidang Pengawasan (JAM-Was) Prof Dr Marwan Effendy menyatakan Kejagung mendukung penerapan diversi (pengalihan) dari pidana (hukuman pidana) kepada rehabilitasi (hukuman rehabilitasi) untuk pemula, pengguna, atau penyalahguna dalam kasus narkotika sesuai UU 35/2009. "Tapi, saya melihat masih ada dua kendala. Pertama, UU yang ada masih ambigu sehingga hakim dan jaksa bisa berbeda persepsi, karena itu Forum Makejapol yang sekarang disebut Forum Makumjapol digalakkan lagi," katanya. Kendala lain adalah infrastruktur berupa panti rehabilitasi narkotika yang masih kurang. "Kalau di Indonesia ada 583 Polres ya seharusnya ada 583 panti rehabilitasi. Sekarang 'kan masih ada empat panti rehabilitasi yang resmi milik BNN dan 90-an panti milik swasta," katanya. Pandangan itu dibenarkan seorang Kasubdit Narkoba di Bareskrim Polri Kombes Pol Adityawarman yang juga menjadi pembicara dalam seminar itu. "Polri mendukung rehabilitasi pengguna narkoba, tapi kami masih kesulitan dengan infrastruktur. Kami tidak ingin aturan hukum hanya bisa diterapkan di Jakarta ata Jawa, tapi di tempat lain tidak bisa jalan," katanya. Oleh karena itu, Polri masih merumuskan Peraturan Kapolri tentang Tata Cara Rehabilitasi. "Misalnya, panti rehabilitasi dengan sistem sektoral, contohnya untuk Jatim ada sejumlah panti rujukan, sehingga daerah yang tidak punya panti akan merujuk ke panti terdekat. Peraturan Kapolri juga akan mengatur pengamanan pengguna yang direhabilitasi agar tidak kabur," katanya. Selain itu, Polri juga bisa mempertimbangkan keterlibatan LSM yang bergerak di bidang penanganan korban narkoba dan HIV/AIDS untuk akses pengobatan dengan antiretroviral (ARV) di penjara bagi tersangka untuk mengurangi ketergantungannya. Senada dengan itu, Wakil Ketua PN Surabaya Suwidya Abdullah menyetujui peraturan teknis untuk pengguna, pengedar, dan produsen dalam kasus narkoba. "Kami mendukung rehabilitasi, karena rehabilitasi merupakan cara yang tepat untuk mengurangi kasus narkoba daripada hukum pidana, karena banyak negara sudah membuktikan, seperti Australia. Tapi, parameter pemula, pengguna, pengedar, dan produsen harus terperinci," katanya.(*)
Raffi dan Diskriminasi untuk Korban Narkoba-HIV/AIDS
Senin, 18 Maret 2013 10:11 WIB