Ganti Menteri Ganti Kurikulum
Minggu, 6 Januari 2013 5:44 WIB
"Ganti menteri, ganti kurikulum," begitulah stigma yang berkembang di masyarakat dan hal itu bukan tanpa dasar. Buktinya, sejak merdeka hingga kini sudah 11 kali terjadi pergantian kurikulum, yakni 1947, 1964, 1968, 1973, 1975, 1984, 1994, 1997, 2004, 2006, dan 2013.
Dalam buku "Bahan Uji Publik Kurikulum 2013" yang disusun Kemendikbud Tahun 2012 pada halaman 14 (power point) mencatat Kurikulum 2006 (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) masih menyisakan delapan masalah yang perlu dibenahi.
Delapan permasalahan itu antara lain materi pelajaran terlalu luas dan tingkat kesukarannya melampaui tingkat perkembangan anak, kompetensi yang disasar belum menggambarkan kompetensi sikap, ketrampilan, dan pengetahuan, serta pembelajaran masih terpusat kepada guru.
Selain itu, kompetensi yang sesuai kebutuhan zaman belum terakomodasi seperti pendidikan karakter, pembelajaran aktif, dan keseimbangan "soft skills-hard skills", serta standar penilaian belum menggambarkan kompetensi sikap, ketrampilan, dan pengetahuan.
Permasalahan itu menyebabkan persepsi negatif masyarakat bahwa kurikulum terlalu menitikberatkan pada aspek kognitif, beban siswa terlalu berat, dan muatan karakter berkurang, sehingga fenomena negatif mengemuka, seperti perkelahian pelajar, narkoba, plagiarisme, dan menyontek/korupsi.
"Jadi, perubahan kurikulum itu untuk menyikapi perubahan zaman yang kelak akan mengutamakan kompetensi, namun kompetensi itu mencakup tiga kompetensi secara utuh, yakni kompetensi pengetahuan, ketrampilan, dan sikap," kata Mendikbud Mohammad Nuh dalam berbagai kesempatan uji publik.
Ia menjelaskan perubahan sikap itu ditentukan pendidikan karakter, sedangkan perubahan ketrampilan dan pengetahuan itu ditentukan inovasi. Cara untuk mendidik siswa yang memiliki inovasi adalah mengembangkan kreatifitas, sedangkan pendidikan karakter melalui agama, Pancasila, pramuka, seni budaya, dan "soft skills".
"Untuk mengembangkan kreatifitas, kurikulum sudah mengupayakan dengan lima tahapan, yakni observasi (pengamatan), bertanya, berpikir (nalar), eksperimen, dan menyampaikan (presentasi tertulis atau lisan). Semuanya akan dinilai secara total dari proses hingga out put," katanya.
Dengan sejumlah alasan dan kebutuhan zaman itu, maka Mendikbud pun mengabaikan penilaian "ganti menteri ganti kurikulum". "Jadi, saya tidak mempertimbangkan jabatan, tapi saya mempertimbangkan masa depan generasi muda agar dapat membeli masa depan dengan 'harga' sekarang," katanya.
Sementara itu pada halaman 41-42 pada buku yang sama mencatat struktur kurikulum SD yang digagas dengan Pendidikan Agama, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, dan Matematika, serta muatan lokal berupa Seni Budaya dan Prakarya, serta Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan.
Dalam struktur itu, IPA dan IPS diintegrasikan dengan mata pelajaran lain secara tematik (tematik integratif), lalu mata pelajaran IPA dan IPS akan dimulai pada kelas IV atau kelas V. Selain itu, jam pelajaran Pendidikan Agama, Pendidikan Pancasila, dan Bahasa Indonesia ditambah.
Pada halaman 38 dari buku yang sama menyebutkan alasan pemisahan IPA dan IPS di SD, antara lain peserta didik SD belum perlu diajak berpikir tersegmentasi, banyak sekolah alternatif dan banyak negara menerapkan sistem tematik integratif yang hasilnya menggembirakan, banyak keluhan siswa SD terlalu banyak membawa buku, dan Indonesia menerapkan sistem guru kelas.
Untuk struktur kurikulum SMP pada halaman 47 hampir sama dengan kurikulum sebelumnya, kecuali Seni Budaya, Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan, serta Pakarya yang menjadi muatan lokal dan Ketrampilan Teknologi Informasi (TI) yang dihapus. "TI sudah menjadi media bagi semua pelajaran, sedangkan Guru TI bisa mengajar matematika atau fisika," kata Mendikbud.
Sementara struktur kurikulum SMA dirancang non-penjurusan (halaman 56-57) dengan sembilan mata pelajaran wajib, empat mata pelajaran peminatan, dan empat mata pelajaran pilihan. Mata pelajaran wajib adalah Agama, Pancasila/Kewarnegaraan, Bahasa Indonesia, Matematika, Sejarah Indonesia, Bahasa Inggris, Seni Budaya, Prakarya, dan Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan.
Untuk mata pelajaran peminatan adalah sains, sosial, bahasa, dan vokasi, sedangkan mata pelajaran pilihan adalah literasi media, bahasa asing non-Inggris, teknologi terapan, dan pendalaman atau lintas peminatan. "Jadi, tidak ada penjurusan, karena peminatan tidak ditentukan sekolah, tapi disesuaikan dengan minat siswa untuk studi lanjutan," katanya.
Intinya, Kurikulum 2013 itu 'membalik' Kurikulum 2004 (Rintisan Kurikulum Berbasis Kompetensi/KBK) dan Kurikulum 2006 (KTSP), karena KBK dan KTSP itu menargetkan "out put" atau hasil akhir berupa ulangan atau ujian, sedangkan Kurikulum 2013 itu justru mengevaluasi sedari proses hingga "out put" mulai dari observasi (pengamatan), bertanya, berpikir (nalar), eksperimen, dan menyampaikan (presentasi tertulis atau lisan), hingga ujian.... (*)