Surabaya - Pengamat pers dari UI Dr Ade Armando MSc menyatakan diperlukan "bion pewarta" (wartawan periset) untuk melaporkan isu keberagaman seperti Syiah, Ahmadiyah, dan aliran lainnya. "Untuk informasi yang sifatnya asimetris seperti isu-isu keberagaman tidak cukup hanya dengan melaporkan fakta dan pernyataan narasumber yang ada, tapi perlu kerja intelektual," kata dosen Fisip UI itu di Surabaya, Minggu. Ia mengemukakan hal itu dalam workshop jurnalis bertajuk "Memberitakan Isu Keberagaman" yang digelar Serikat Jurnalis Untuk Keberagaman (Sejuk), AJI Cabang Surabaya, dan The Asia Foundation yang diikuti 36 jurnalis. Dalam workshop yang juga menampilkan testimoni dari pemeluk Syiah Sampang dan intelektual muda Muslim Ulil Abshar Abdalla itu, mantan jurnalis itu menjelaskan kerja intelektual itu antara lain riset data. "Misalnya, ada pernyataan narasumber bahwa Syiah itu sesat, maka bion pewarta akan meriset data tentang Syiah yang sudah lama ada di Indonesia dan tidak ada masalah, bahkan dunia menyimpulkan Syiah tidak sesat," katanya. Menurut mantan anggota KPI itu, isu-isu keberagaman tidak cukup hanya diliput secara pelaporan, karena banyak informasi dari narasumber yang bersifat bias dan bahkan menyimpang untuk kepentingan tertentu. "Karena itu, isu-isu keberagaman memerlukan wartawan yang bukan hanya pelapor, melakukan 'bion pewarta' (wartawan periset) atau wartawan intelektual," kata mantan pekerja media itu. Apalagi, katanya, media massa secara umum masih melihat kekerasan adalah berita, karena itu diperlukan cara yang tidak normal atau kerja intelektual untuk "menyuarakan orang-orang yang tidak punya suara". Dalam kesempatan itu, pemeluk Syiah Muhammad Zaini menyatakan setuju dengan "wartawan intelektual" karena fakta yang ada di Sampang menunjukkan wartawan memelintir informasi yang mungkin akibat ketidaktahuannya. "Misalnya, ada orang Syiah yang mengatakan bahwa dia mengakui 12 imam selain 25 nabi, namun wartawan justru menulis bahwa pemeluk Syiah itu hanya mengakui 12 nabi, padahal kami mengakui 12 imam dan 25 nabi," katanya. Hal itu "ditengahi" Ade Armando. "Mungkin media massa perlu didampingi mediator seperti kuasa hukum komunitas Syiah dari LBH Surabaya agar terjalin wawancara yang lebih fair, sehingga ada saling membutuhkan," katanya. Senada dengan itu, pemeluk Syiah lainnya, Muhlis, mengaku komunitas Syiah dan Sunni di Sampang sebelumnya sering melakukan kegiatan bersama, namun akhirnya tidak saling menyapa setelah ada fatwa MUI dan ulama Basra. Pandangan itu dibenarkan kuasa hukum komunitas Syiah di Sampang, Faiq Assiddiqi SH. "Orang bisa saja mengatakan ada masalah Ustaz Tajul Muluk dengan adiknya Rois Alhukama, tapi fatwa sesat membuat masalah jadi runyam," katanya.(*)

Pewarta:

Editor : Endang Sukarelawati


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2012