Soal sumpah adalah soal cinta. Sumpah Pemuda, misalnya, merupakan sebentuk cinta yang agung dari seorang pemuda kepada bangsa dan negaranya yang tak bisa ditawar. Bentuknya, kesetiaan kepada bangsa, kesetiaan kepada tanah air, dan kesetiaan kepada bahasa.
Betul, Sumpah Pemuda itu sudah 84 tahun silam sejak ditorehkan pada 28 Oktober 1928, namun "cinta" itu tidak pernah ketinggalan zaman dalam penafsiran. Dulu, orang mengungkapkan cinta dengan goresan kayu kecil di atas daun, tapi ungkapan cinta di masa kini tinggal sekali "klik" yang dikirim lewat jejaring sosial pun jadilah. Jadi, cinta tetap ada selamanya, tapi tafsirnya selalu mengikuti zamannya...
Begitu pula dengan Sumpah Pemuda. Para pemuda menggoreskan "nasionalisme" (cinta bangsa, tanah air, dan bahasa) pada tahun 1928, lalu tahun 1943 musikus Gesang pun menggubah "nasionalisme" dalam lagu "Jembatan Merah" yang menggambarkan kecintaan perempuan yang merelakan pemuda idamannya untuk berangkat berjuang.
Lain lagi tafsir ala penyanyi Surabaya, Gombloh, yang menggambarkan "nasionalisme" dalam lagu "Kebyar-Kebyar" pada tahun 1979. Penyanyi legendaris Surabaya itu mengungkapkan "nasionalisme" dengan kata-kata.... Indonesia, merah darahku, putih tulangku, bersatu dalam semangatku... Indonesia, debar jantungku, getar nadiku, berbaur dalam angan-anganmu... kebyar-kebyar, pelangi jingga... rawe-rawe rantas, malang-malang tuntas denganmu...
Nah, bagaimana dengan "nasionalisme" kaum muda sekarang? Adakah cinta atau kesetiaan anak muda sekarang kepada bangsa itu sudah habis? Adakah cinta atau kesetiaan anak muda sekarang kepada tanah air itu sudah ludes? Adakah cinta atau kesetiaan anak muda sekarang kepada bahasa itu sudah sirna?.
Agaknya, cinta atau kesetiaan kepada bangsa itu masih ada. Buktinya, mahasiswi China saat meneliti identitas etnis Tionghoa dalam diri mahasiswa Universitas Kristen Petra (UKP) Surabaya yang belajar Bahasa Mandarin, ternyata ada hasil yang menarik.
"Meski ada pengaruh terhadap identitas etnis mereka, tapi pengaruhnya tidak signifikan. Itu artinya, mereka kursus atau belajar Bahasa Mandarin memang benar-benar berniat ingin belajar Bahasa Mandarin dan bukan ingin meneguhkan identitas sebagai orang China," ucap mahasiswi Pascasarjana Universitas Airlangga (Unair) Surabaya asal Hunan, China, yakni Lu Li Qian Qian di Surabaya (23/10/2012).
Mantan dosen di Guang Xi University for Nationalities, Provinsi Guang Xi, China bagian selatan itu menuturkan bahwa kesimpulan dari penelitian itu berdampak sangat positif bagi bangsa Indonesia. "Itu karena mahasiswa keturunan yang belajar Bahasa Mandarin memang murni untuk belajar. Artinya, kewarganegaraan mereka memang tidak perlu diragukan lagi sebagai orang Indonesia. Itu modal besar bagi Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika untuk lebih maju lagi," kilahnya.
Artinya, "nasionalisme" itu masih ada, bahkan orang non-pribumi pun sudah "menjadi" Indonesia, meski mereka juga berusaha memegang dunia global dengan belajar bahasa asing. Nasionalisme di era kecanggihan teknologi informasi ibarat pesilat dengan tiga jurus yakni lokal, nasional, dan global. Ada saatnya menggunakan identitas dan bahasa lokal, ada saatnya menggunakan identitas dan bahasa nasional, dan ada saatnya menggunakan identitas dan bahasa global.
Namun, "tiga jurus" dalam nasionalisme di era kecanggihan teknologi informasi itu membutuhkan kecanggihan "permainan" seorang pemuda, sebab bila dia tidak hati-hati justru akan terjebak dalam salah satu dari "tiga jurus" itu yang akhirnya mematikan salah satu di antaranya dan bila "jurus nasional" yang keok, maka Indonesia bisa tenggelam !
"Indonesia bisa maju karena pemuda, tapi Indonesia juga bisa tenggelam karena pemuda yang suka segala sesuatu yang serba instan. Kalau serba instan itu berarti menghalalkan segara cara, sehingga pemuda bisa saja memperoleh gelar dengan cara menjiplak atau menjadi pemimpin muda dengan cara korupsi, sehingga Indonesia akan tenggelam," ujar tokoh pers Trias Kuncahyo. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2012
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2012