Ketika Allah memerintahkan Nabi Ibrahaim AS untuk menyembelih putranya Ismail yang kemudian dikenal dengan ibadah kurban, sedikitnya ada empat pihak yang terlibat di dalamnya. Mereka adalah Nabi Ibrahim, Nabi Ismail, Siti Hajar (ibu Ismail) dan syetan.
Tiga pihak pertama adalah mereka yang sedang diuji kesabaran dan keimanannya oleh Allah, sedangkan pihak keempat adalah yang menggoda untuk membatalkan niat suci mereka. Ismail tidak betul-betul disembelih, karena diam-diam Allah menggantinya dengan seekor domba. Penghambaan total ketiga manusia pilihan itu kemudian diperintahkan kepada umat Nabi Muhammad untuk berkurban dengan menyembelih sapi, kerbau, kambing atau unta.
Suatu ketika ada orang yang "mempersoalkan" penyembelihan hewan kurban di mana-mana itu karena terkesan ada "pembunuhan" massal. Jutaan hewan di seluruh dunia disembelih dalam waktu hampir bersamaan.
Terhadap pihak yang "mempersoalkan" itu, dapat dijelaskan dari kacamata kehormatan makhluk hidup. Dalam konteks kekinian, para pihak yang terlibat dalam peristiwa kurban itu adalah umat Muslim, hewan kurban, dan syetan penggoda yang boleh jadi adalah nafsu manusia sendiri untuk menumpuk harta.
Peristiwa kurban memiliki nilai bahwa kehormatan makhluk terletak pada pengorbanan. Manusia yang merelakan hartanya untuk dikorbankan bagi kemaslahatan kehidupan, maka ia menjadi manusia terhormat. Manusia yang merelakan dirinya untuk kepentingan kemanusiaan adalah manusia terhormat. Manusia yang mengorbankan status sosialnya, jabatannya dan kekuasaannya untuk kebaikan orang banyak adalah manusia yang mulia di hadapan Allah dan umat manusia.
Demikian juga dengan hewan. Hewan yang mati dan dagingnya dimanfaatkan untuk kepentingan manusia, tentu "kehormatan"-nya berbeda dibandingkan dengan hewan yang mati sia-sia, kemudian menjadi bangkai. Demikian juga dengan hewan-hewan lainnya. Ikan-ikan di lautan tentunya lebih terhormat ketika mati dalam pancingan atau jaring nelayan yang kemudian dagingnya dimakan oleh manusia.
Islam mengajarkan umatnya untuk menjadi manusia mulia lewat beragam ritual keagamaan. Islam mengajarkan bahwa hidup itu bukan untuk dirinya sendiri. Zakat, sedekah atau kurban adalah bentuk-bentuk ibadah yang di dalamnya mengajarkan umat Islam untuk tidak bersenang-senang sendiri. Lewat perintah itu, Islam mengajarkan bahwa kemuliaan hidup muncul ketika ia bermanfaat bagi kehidupan. Islam menegaskan bahwa sebaik-baik umat adalah mereka yang banyak bermanfaat bagi yang lainnya.
Karena itu, peristiwa-peristiwa tertentu yang memerintahkan umat Islam untuk berzakat atau berkurban adalah sarana pendidikan yang aplikasi sesungguhnya adalah seumur hidup. Islam memerintahkan umatnya untuk selalu berzakat, bersedekah dan berkurban selama hayat bersemayam di dalam jasad.
Karenanya, perintah Islam itu tidak boleh hanya dimaknai secara momentum belaka. Kurban hanya dilakukan hanya saat musim haji. Berderma dengan harta hanya dilakukan saat bulan puasa. Bukan sekedar itu. Peningkatan kehormatan itu tidak sepatutnya hanya menunggu momen-momen tertentu sebagaimana yang disyariatkan agama. Zakat, sedekah, kurban itu diharapkan selalu diaplikasikan dalam keseharian dan selalu setiap saat.
Guru besar UIN Yogyakarta Prof Dr Abdul Munir Mulkhan dalam http://abdulmunirmulkhan.blogspot.com/ mengajak kita untuk menafsir ulang makna berkurban. Hanya saja konteksnya waktu itu dalam peristiwa tsunami Aceh yang membawa korban ribuan nyawa dan harta benda yang mayoritas Umat Muslim.
Saya tidak sedang memilih setuju atau tidak terhadap pendapat Abdul Munir Mulkhan ini. Hanya saja, cukup apik, jika pemikiran ini kita renungkan bersama. Berikut pendapat Abdul Munir Mulkhan saya kutip lengkap hingga akhir tulisan ini.
Menurut dia, egoisme teologis memerangkap manusia saat menjadikan seluruh ritual sebagai penumpuk pahala bagi diri sendiri tanpa manfaat produktif saat keridaan Tuhan dianggap bisa dicapai tanpa aksi kemanusiaan konkret.
Ia mengemukakan bahwa tidak menyembelih hewan kurban, diganti uang bagi pemulihan korban tsunami bisa saja merupakan tafsir keliru. Bukankah ijtihad yang keliru tetap berpahala, tidak tergolong dosa dan maksiat, sekurangnya bisa berarti infak atau sedekah? Bersediakah kita tidak memperoleh pahala dari ibadah kurban jika penggantian hewan kurban dengan uang tunai benar-benar salah tafsir?
Kata dia, Tuhan menurunkan wahyu-Nya sebagai petunjuk manusia memecahkan persoalan yang dihadapi agar bisa membedakan hak dan batil, yang merusak dan manfaat. Makna Islam sebagai rahmatan lil alamin ialah kemanfaatan produktif praktik ritual bagi publik. Inilah basis epistemologis penerapan firman Tuhan bagi pemecahan berbagai problem kehidupan umat manusia itu sendiri.
Munir menjelaskan bahwa bagi Tuhan, bukan daging dan darah hewan kurban yang lebih berarti, tetapi ketakwaan sebagai kepekaan kemanusiaan dalam tiap langkah dan ritual manusia. Tuhan mengajarkan, hanya manusia yang bisa mengasihi sesama yang berhak atas kasih-Nya dan kebaikan manusia terletak pada kemanfaatan perbuatannya bagi semua orang. Dan, penanda iman dan kesalehan ialah kesediaan seseorang membuat orang lain sebahagia dan setenteram dirinya sendiri.
Tafsir ulang cara berkurban mungkin sulit diterima akal ritual. Tetapi, jatah sepertiga daging kurban bagi yang berkurban bisa disedekahkan bagi korban tsunami. Panitia bisa tidak menyembelih sepertiga hewan kurban untuk diinfakkan bagi korban bencana tsunami, paling kurang kulit seluruh hewan kurban.
Tiap tahun ada sekitar sembilan juta hewan kurban. Nilai kulit hewan kurban, jika seluruhnya berupa kambing, bisa mencapai Rp180 miliar. Nilai sepertiga hewan kurban bisa mencapai Rp1,5 triliun-Rp4,5 triliun dari seluruhnya, lebih besar lagi jika seluruh hewan kurban penduduk Muslim di dunia dan peziarah haji diuangkan bagi operasi kemanusiaan korban bencana tsunami.
Jika upaya itu tak mungkin dilakukan atas pertimbangan legal fikih, penting dipertimbangkan suatu tausiah (nasihat) publik. Orang yang berkurban bisa menginfakkan uang senilai hewan kurban atau melebihkan dana kurban beberapa puluh ribu rupiah, dan yang tidak berkurban bersedekah beberapa puluh ribu rupiah. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2012
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2012