Surabaya - Sebanyak 40 pusat kesehatan masyarakat atau puskesmas di tingkat kecamatan di Surabaya akan segera memiliki poliklinik pengobatan tradisional.
"Sekarang masih ada dua rumah sakit dan 15 puskesmas yang belum memiliki poli pengobatan tradisional," kata ketua program studi pengobatan tradisional (Batra) FK Unair Surabaya, dr Ariyanto Yonosewoyo, di Surabaya, Kamis.
Namun, kata ahli penyakit dalam RSUD dr Soetomo Surabaya itu, ke-15 puskesmas itu akan segera menjadi 40 puskesmas yang memiliki poli pengobatan tradisional dalam waktu dekat.
"Selain RSUD dr Soetomo, rumah sakit yang punya poliklinik pengobatan tradisional adalah RS Bakti Husada," katanya saat berbicara dalam lokakarya 'Herbal Medicine' di Fisip Unair.
Dalam workshop/lokakarya untuk memperingati HUT Jurusan Antropologi Unair itu, ia menjelaskan RSUD dr Soetomo sendiri memiliki poliklinik pengobatan tradisional sejak tahun 1999.
"Tapi, kami mendirikan program D3 Batra di Unair sejak tahun 2005, sehingga banyak alumni kami yang merintis poliklinik pengobatan tradisional itu, terutama di Surabaya," katanya.
Menurut dia, Poli Batra itu penting untuk mengantisipasi masuknya obat herbal asing yang sebenarnya hanya bagus dalam iklan, namun praktiknya merugikan masyarakat.
"Saya sudah pernah ke China dan ahli Batra di sana justru mengingatkan agar kami hati-hati dengan pengobat herbal dari China, karena mereka umumnya bermasalah di China," katanya.
Oleh karena itu, ia merasa perlu mengingatkan masyarakat, meski Poliklinik Batra RSUD dr Soetomo dilarang berpromosi, namun pihaknya berkepentingan untuk melindungi masyarakat.
"Masyarakat kita perlu dilindungi, karena 55,3 persen masyarakat masih menyukai jamu, bahkan hanya 11,58 persen yang menyukai jamu dalam bentuk kapsul," katanya.
Hingga kini, katanya, tercatat 19.837 herbal yang sudah menjadi jamu di masyarakat, namun hanya 38 herbal yang sudah melalui proses uji farmakologi.
Sementara itu, farmakolog dari Unair Dr Mangestuti Agil MS Apt menegaskan bahwa jamu merupakan merek Indonesia, karena itu produk asing harus disebut obat herbal, bukan jamu.
"Jamu dan ramuan tradisional itu berkembang dalam kaitan budaya, karena itu resep tradisional hanya dapat ditemukan dalam primbon," katanya.
Namun, kata Kepala Humas Unair itu, primbon umumnya berisi pengobatan yang bersifat pencegahan dengan mengonsumsi rempah-rempah tertentu secara rutin dan bersifat ritual juga.
"Rempah-rempah seperti kunyit, jahe, temulawak, kencur, kunir, kunci, dan atsiri itu antikanker, antioksidan, antilever, sedangkan sirih, sambiloto, daun pepaya, beluntas, meniran itu antimalaria, anti-TB, dan diuretik," katanya. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2012
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2012