Perubahan demi perubahan terhadap perilaku, pola hidup yang mengarah ke hedonisme semakin tinggi, bahkan etika anak-anak maupun yang sedang beranjak remaja serta orang dewasa pun, semakin terlihat jelas dari masa ke masa. Perubahan perilaku tersebut tidak lepas dari peran tayangan televisi yang semakin lama juga semakin jauh dari kata memberikan pendidikan (contoh) yang lebih baik. Perilaku anak-anak baru gede (ABG) maupun remaja yang mulai menanggalkan etika, sopan santun juga merupakan salah satu pengaruh buruk dari tayangan televisi. Perilaku dan sikap yang dipertontonkan para ABG, remaja dan orang dewasa ini tidak lepas dari perilaku mencontoh. Dan, contoh-contoh buruk yang ditampilkan dalam tayangan televisi tersebut sangat menonjol pengaruhnya bagi mereka. "Kalau pembiaran tayangan televisi yang hanya mengejar rating saja ini terus berlanjut, tidak menutup kemungkinan generasi muda kita ke depan akan semakin jauh dari moral dan etika, sebab peran dan orang tua juga mulai diabaikan. Anak-anak lebih senang mencontoh perilaku artis di TV ketimbang nurut sama orang tuanya," tegas Psikolog dari Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Dr Diah Karmiyati. Apa yang mereka tahu dan apa yang mereka lihat dari tayangan televisi, katanya, akan membekas dan lebih berarti daripada "pitutur" orang tua. Bahkan, hal-hal yang menyimpang dari etika dan sopan santun nanti akan menjadi sesuatu yang biasa. Oleh karena itu, kata Direktur Program Studi Magister Psikologi UMM itu, peran orang tua harus mulai ditekankan kembali, meski anak-anak kadang justru meninggalkan televisi yang mereka tonton ketika didampingi orang tua. "Ini tidak masalah, dan harus dilakukan terus menerus agar anak-anak tidak sampai menonton tayangan yang tidak mendidik," katanya. Sementara Ketua Komisis Penyiaran Indonesia (KPI) Jawa Timur, Fajar Arifianto mengatakan, orang tua harus bisa memberikan pendampingan dan bisa mengarahkan tontonan anak-anak di televisi, bahkan orang tua harus mendominasi. Jadi, tegasnya, kalau tayangan di TV itu memang perlu dilihat, maka lihatlah seperlunya, dan jika sebaliknya, tidak perlu ditonton, maka alihkan salurannya (channel), bahkan bila perlu dimatikan saja. "Wong kita itu lo, lihat TV selama dua jam saja rasanya sudah capek, kalau nonton TV sudah dianggap tidak perlu lagi ya dimatikan saja. Kalau kita takut anak-anak terpengaruh dengan tayangan-tayangan yang tidak mendidik, ya dimatikan saja TV-nya agar lebih aman, beres kan," tegasnya. Sebenarnya, katanya, dampak baik dan buruknya tayangan TV itu sangat relatif dan tergantung dari yang menonton. "Kalau memang tidak suka dengan tayangan itu, ya pindah channel, bahkan matikan saja utnuk lebih amannya," tegasnya. Menurut dia, sebenarnya perubahan tingkah laku dan sikap masyarakat itu juga tidak lepas dari peran orang tua yang memberikan fasilitas lebih pada anak-anak mereka. Contohnya, fasilitas televisi, sekarang ini tidak hanya ada di ruang keluarga, tapi setiap kamar pun juga ada fasilitas itu, tak terkecuali di kamar anak-anak. Ketika sudah dalam area privat (kamar), lanjutnya, fungsi kontrol orang tua semakin minim dan orang tua tidak tahu apa yang anak-anak tonton. Belum lagi adanya fasilitas internet dari laptop atau note book, anak-anak semakin leluasa menikmati suguhan apapun dari layar monitor komputer jinjing tersebut. "Jadi, kita tidak bisa hanya menyalahkan tayangan TV saja, orang tua dan lingkungan keluarga pun juga punya andil besar dalam pembentukan karakter anak-anak. Mau di bawa kemana anak-anak ini nanti juga tidak lepas dari peran orang tua, karena kondisi keluarga dan orang tua peranannya sangat dominan, disamping lingkungan sekitar, termasuk sekolah," tegasnya. Ia mengakui, dalam beberapa tahun terakhir ini memang cukup banyak pengaduan masyarakat yang masuk ke KPI. Sejak tahun 2010 ada 1.335 pengaduan dan yang sudah disanksi sebanyak 35 kasus, akan tetapi masyarakat tidak cukup hanya mengadukan ke KPI, karena ranah KPI hanya mengawasi dan menindaklanjutinya ke KPI pusat. Yang berperan dominan dan penting dalam menyensor tayangan televisi, katanya, adalah kewenangan Lembaga Sensor Film (LSF). Sementara LSF sendiri sudah memiliki pedoman dan aturan terkait batasan-batasan tayangan mana yang boleh dan mana yang tidak. "Yang terpenting bagi kita ini kan bagaimana cara kita mengedukasi anak-anak agar tidak mencontoh perilaku apa yang mereka lihat dalam tayangan televisi tersebut, sebab itu bukan sikap dan perilaku yang baik bagi mereka," tegasnya. Pendidikan Karakter Dalam beberapa tahun terakhir ini, sekolah-sekolah maupun perguruan tinggi mulai menggaungkan pendidikan karakter bagi siswa-siswi maupun mahasiswanya, karena etika anak-anak dan generasi muda secara perlahan mulai luntur dan berganti dengan budaya barat yang mengabaikan sopan santun. "Latar belakang inilah yang membuat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mulai menggencarkan kembali pendidikan karakter di sekolah dan di perguruan tinggi (PT). Memang, pendidikan karakter yang sudah mulai digencarkan itu, hasilnya tidak bisa kita lihat dan kita rasakan sekarang," kata Diah Karmiyati. Untuk saat ini, kata Pembantu Rektor (PR) III UMM tersebut, jangan berharap banyak dulu anak-anak dan generasi yang sekarang bisa kembali seperti dulu, mereka memiliki etika, sopan santun dan hormat pada orang tua maupun guru. Sebab, lanjutnya, diakuai atau tidak, anak-anak sekarang lebih cerdas, lebih terbuka dan lebih ekspresif pada orang tua, guru dan teman sebaya mereka, bahkan hal-hal yang sebelumnya ditabukan menjadi hal yang biasa. Menurut dia, hasil dari pendidikan karakter yang mulai digencarkan di sekolah dan di PT itu baru bisa dilihat dan dirasakan pada generasi berikutnya (10-15 tahun). Memang, membutuhkan waktu cukup lama untuk membentuk pribadi dan sikap seseorang. Dan, katanya, pendidikan karakter tersebut juga tidak bisa diserahkan sepenuhnya pada guru (sekolah) maupun dosen (PT), tapi pola asuh dan peran orang tua di rumah juga masih mendominasi dalam pembentukan karakter anak. "Pola asuh orang tua di rumah dan pendidikan karakter di sekolah inilah yang menjadi kunci berhasil tidaknya dalam membentuk perilaku anak, sehingga apapun tayangan televisi, bahkan akhir-akhir ini juga menjadi kiblat yang ampuh bagi anak-anak dalam berperilaku, tidak akan menggoyahkan anak-anak, jika anak-anak sudah dibekali dengan karakter yang baik," tegasnya. Hanya saja, katanya, pendidikan karakter yang sudah dikembangkan tersebut tetap harus dievaluasi, baik metode maupun hasilnya demi memperbaiki kualitas ke depan. Ia mengakui, program pendidikan karakter tersebut saat ini sudah bagus, namun bagaimanapun juga harus tetap ada evaluasi. "Kita tidak memungkiri kok, kalau program pendidikan karakter ini merupakan satu bentuk kemajuan dari pengajaran etika dan moral, tapi kan harus ada evaluasi agar ke depan menjadi lebih baik dan sesegera mungkin bisa membentuk karakter anak lebih baik pula," ujarnya. Sementara itu Ketua Komisi D DPRD Kota Malang Christea Frisdiantara mengatakan, sebaiknya sekolah tidak hanya mengejar prestasi akademik saja, tapi pendidikan karakter juga harus terus digalakkan sebagai bekal moral dan etika bagi anak-anak dalam menghadapi berbagai macam godaan, termasuk tayangan televisi yang tidak mendidik. Politisi dari Partai Demokrat itu mengakui, sedikit banyak tayangan televisi akhir-akhir ini banyak berpengaruh terhadap perilaku anak-anak, baik hedonismenya, cara berpakaiannya, perilaku terhadap orang tua, bahkan tayangan kekerasannya juga seringkali mengisnpirasi perilaku kejahatan di Tanah Air. Tidak saja anak-anak, orang dewasa pun juga kena virusnya. "Oleh karena itu pendidikan karakter ini harus benar-benar ditanamkan pada anak-anak sebagai bekal ketika mereka dalam bertindak dan bersikap yang tidak melenceng dari 'pakem" adat ketimuran maupun agama yang diyakininya," tegasnya. (*)

Pewarta:

Editor : Edy M Yakub


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2012