Mengais rezeki di negeri orang dengan mendapatkan gaji yang lebih tinggi, tentu menjadi harapan semua calon tenaga kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di sejumlah negara tujuan dan mereka rela meninggalkan keluarga tercinta di kampung halaman.
Namun, harapan dan impian para buruh migran tersebut tidak semulus yang dibayangkan karena ancaman kekerasan dan penyiksaan baik secara psikis dan fisik selalu membayangi para pahlawan devisa itu, terutama bagi mereka yang bekerja di sektor informal seperti pembantu rumah tangga.
Kasus penembakan tiga TKI asal Nusa Tenggara Barat (NTB) yakni Herman, Abdul Kadir Jaelani dan Mad Noon oleh polisi Malaysia di daerah Port Dickson, karena mereka dianggap membahayakan dengan membawa parang dan menyerang polisi merupakan potret buram yang dialami buruh migran Indonesia.
Tentu, publik masih ingat dengan beberapa kasus penganiayaan terhadap TKW di Malaysia yang mendapat perhatian utama dari pemerintah seperti kasus kekerasan yang dialami TKW Siti Hajar asal Garut-Jawa Barat, Nirmala Bonat asal NTT, dan tewasnya Muntik Bin Hani asal Jember, karena disiksa.
Data Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) mencatat kasus yang menimpa TKI selama tahun 2010 sebanyak 60.399 kasus dan tahun 2011 sebanyak 44.573 kasus. Kendati tidak spesifik, Jatim sebagai daerah "kantong TKI" seperti halnya NTB, tentu memiliki banyak TKI yang bermasalah.
Sementara LSM Migrant Care mencatat sebanyak 5.314 kasus kekerasan yang dialami TKI di luar negeri selama kurun 2009-2010 dengan rincian Malaysia sebanyak 1.748 kasus, Arab Saudi 1.048 kasus, Yordania 1.004 kasus, Kuwait 784 kasus, Abu Dhabi 533 kasus, Taiwan 103 kasus, Hong Kong 78 kasus, dan Singapura 16 kasus.
Beberapa kasus kekerasan itu hanya mendapat simpati dari pemerintah dengan memberikan santunan kepada keluarga korban, namun kasus kekerasan yang dialami para pahlawan devisa tidak pernah kunjung usai.
Pemerintah terkesan lamban dalam menangani kasus kekerasan pelanggaran hukum dan HAM yang dialami buruh migran, karena sejumlah pejabat baru terpanggil mengurus masalah yang menimpa TKI, setelah menjadi opini nasional maupun internasional, atau menguntungkan secara politik.
Hal itu terjadi akibat lemahnya advokasi pemerintah yang belum menyentuh akar permasalahan untuk melindungi buruh migran dan diperparah dengan kurangnya daya tawar bangsa Indonesia terhadap negara tujuan tenaga kerja, sehingga membuat hak-hak TKI makin tidak dihormati sebagai pekerja.
Semua pihak tentu berharap kasus kekerasan yang dialami tiga TKI asal NTB merupakan kasus terakhir yang dialami buruh migran karena kasus kekerasan itu merupakan pelanggaran HAM.
Pemerintah seharusnya bisa bersikap tegas kepada Malaysia atau negara lain yang memperlakukan TKI dengan sewenang-wenang karena buruh migran itu juga memiliki hak untuk diperlakukan dengan layak sebagai pekerja.
Negaralah yang harus bertanggung jawab atas segala bentuk keteraniayaan yang dialami TKI, baik di dalam negeri maupun saat menjadi "pahlawan devisa" di negara lain, karena pemerintah tidak mampu memberikan lapangan pekerjaan bagi rakyatnya.
Pahlawan devisa itu menanti keseriusan pemerintah untuk membuat kebijakan dan aturan tentang perlindungan TKI, apabila tidak ada sistem hukum tersebut, maka kekerasan yang dialami buruh migran akan terus terjadi dan pelanggaran HAM akan dialami buruh migran Indonesia setiap saat.
Bukan janji-janji manis yang diharapkan TKI, satu hal yang lebih dinantikan adalah suatu sistem hukum yang memberikan perlindungan menyeluruh pada setiap buruh migran yang mengais rezeki di negeri orang.
Ya, suatu sistem hukum yang dihormati oleh negara pengirim dan penerima, kemudian dipahami sepenuhnya oleh setiap majikan dan pekerja serta otoritas terkait. (*) (zichavi@gmail.com)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2012
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2012