Anggota Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Bambang Harjo Soekartono menegaskan bahwa pihaknya memberikan dukungan dan siap mengawal kelangsungan hidup Industri Hasil Tembakau (IHT) yang mengkritisi Peraturan Pemerintah (PP) nomor 28/2024.
“Saya sangat konsisten dan siap untuk memberikan support terhadap kelangsungan hidup IHT. Saya siap untuk ikut dalam kajian. Saya di Baleg dan siap melakukan percepatan (RUU Pertembakauan) apalagi katanya sudah tujuh tahun diajukan di Baleg," kata Bambang dalam keterangan diterima di Surabaya, Selasa.
Ia juga mengkritisi adanya PP 28/2024 yang dinilai bisa merugikan IHT, termasuk di Jawa Timur. IHT, lanjutnya, memberikan serapan tenaga kerja sebanyak 5,9 juta orang.
"Padahal Pak Prabowo punya target serapan tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi naik 8 persen. Sehingga ini perlu dukungan dari industri," katanya dalam Focus Group Discussion dengan tema “Masa Depan Industri Hasil Tembakau di Era Prabowo-Gibran” yang digelar oleh Jurnalis Ekonomi-Bisnis Surabaya (JEBS).
Dalam kesempatan itu, Ketua Gabungan Pengusaha Rokok (Gapero) Surabaya Sulami Bahar mengatakan bahwa selama ini IHT telah memberikan kontribusi cukup besar terhadap perekonomian Indonesia.
Pada 2023, Penerimaan Cukai Hasil Tembakau (CHT) mencapai Rp210,29 triliun atau turun 3,81 persen dibanding 2022. Sementara hingga Oktober 2024, penerimaan mencapai Rp167,0 T atau 71,48 persen dari Target Penerimaan CHT dalam APBN 2024 sebesar Rp 230,4 triliun.
Ia menambahkan, IHT juga menghasilkan devisa ekspor pada 2023 sebesar 1,74 miliar dolar AS dengan surplus perdagangan 806,92 juta dolar AS.
"Selain itu IHT telah menjadi sumber nafkah bagi 5,98 juta orang yang terdiri dari petani, karyawan pabrik, pekerja ritel, pekerja logistik, dan pedagang eceran. Ini adalah sektor yang menyerap tenaga kerja yang paling besar,” kata Sulami.
Namun lanjutnya, karena banyaknya regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah, maka industri ini akhirnya terus mengalami penurunan. Menurutnya, saat ini ada sekitar 500 regulasi yang diterbitkan berbagai kementerian dan lembaga negara.
"Sebanyak 89,68 persen pengaturan IHT adalah pembatasan, sementara 9,19 persen berisi tentang pengaturan cukai. Dan PP 28/2024 ini akan menambah daftar panjang regulasi yang tidak berkeadilan, hanya melihat dari satu sisi saja yaitu kesehatan," katanya.
Menurut Sulami, PP 28/2024 dinilai mengancam keberlangsungan IHT di Indonesia. Adanya aturan kemasan polos yang ada dalam PP tersebut berdampak pada semakin banyaknya peredaran rokok ilegal.
Peredaran rokok ilegal ini tidak hanya merugikan IHT, tetapi juga merugikan pemerintah karena tidak ada cukai hasil tembakau (CHT) yang masuk.
Kepala Penelitian Kebijakan Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya Prof. Candra Fajri Ananda mengungkapkan bahwa PP 28/2024 mengatur tiga aspek, yaitu pembatasan kadar nikotin, standardisasi kemasan atau plain packaging dan larangan iklan dan promosi.
Ketiga aspek tersebut memberikan dampak negatif cukup besar terhadap IHT.
Pembatasan kadar tar dan nikotin yang cukup rendah misalnya, dapat berdampak buruk terhadap petani tembakau Indonesia, karena tembakau lokal umumnya memiliki kadar nikotin yang tinggi.
Akibatnya, industri harus mengimpor tembakau dengan kadar nikotin lebih rendah, yang dapat merugikan petani lokal.
Sedangkan kebijakan kemasan polos berpotensi mengurangi daya saing produk lokal dan membuka peluang bagi peningkatan peredaran rokok ilegal.
Tim Revitalisasi Tembakau Jatim Cipto Budiono menegaskan bahwa PP28/2024 ini tidak sejalan dengan program hilirisasi yang digaungkan di dalam negeri.
“IHT ini adalah contoh hilirisasi yang lengkap dan komplit yang sudah sangat lama dilakukan,” kata Cipto.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2024