Gurat kegembiraan terpancar di wajah Mg dan Gn, dua narapidana kasus terorisme, saat memasuki sel khusus untuk menjalani masa karantina atau masa pengenalan lingkungan (mapenaling) di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas IIB Tulungagung, Jawa Timur.
Mg yang asli Sukoharjo, Jawa Tengah, sekian tahun menjalani hukuman di Lapas Cikeas yang diperuntukkan narapidana terorisme di bawah pengawasan ketat tim Densus 88 POlri. Pemindahannya ke Lapas Kelas Tulungagung sudah dirasa Mg laiknya pulang ke rumah.
Sederhana saja yang dia rasakan. Di lingkungan pemasyarakatan yang baru ini, Mg tidak lagi sendirian di dalam sel, seperti saat masih di tahanan Lapas Cikeas. Ia, kini berdua dengan Gn, napiter asal Cililitan, Jakarta Selatan, yang terlibat dalam gerakan makar, pengembangan sel Negara Islam Indonesia (NII).
Lebih dari itu, yang paling membahagiakan Mg adalah bertemu para sipir (petugas jaga) yang hampir semuanya berbahasa Jawa.
Komunikasinya langsung akrab. Ia tidak lagi banyak diam, seperti saat masih di Lapas Cikeas. Itulah yang membuat napiter yang ditangkap karena terlibat dalam jaringan Jamaah Islamiyah (JI) ini serasa masuk ke rumah sendiri.
Hari-hari sejak ia resmi dipindah ke Lapas Kelas IIB Tulungagung pada Selasa (12/11/2024), dia jalani dengan lebih tenang dan nyaman.
Gambaran itu diceritakan apa adanya oleh Novis Setiawan, satu-satunya wali asuh atau pamong napiter yang mendampingi Mg dan Gn melanjutkan sisa masa hukuman di Lembaga Pemasyarakatan Tulungagung.
Tentu saja kegembiraan itu hanya secuil rasa. Bukan berarti mereka bahagia secara keseluruhan. Sebab bagaimanapun, hidup di dalam penjara dengan status berseberangan dengan negara, bukanlah cita-cita mereka. Bukan sesuatu yang mereka bayangkan bakal benar-benar terjadi hidup sebagai pesakitan.
Meski diakui, saat ikut kelompok yang memperjuangkan nilai yang seolah-olah sudah sangat Islam dalam kehidupan bernegara, mereka sadar akan berhadapan dengan aparat penegak hukum.
Kehidupan dalam penjara, sepertinya telah membuat hidup mereka serasa hancur. Terpisah dari keluarga dan tidak bisa menghidupi anak-istri, menjadi beban rasa dosa besar yang harus segera ditebus, selepas mereka bebas dari pemasyarakatan.
Menuju deradikalisasi
Kepala Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Tulungagung R. Budiman Kusumah menceritakan bahwa Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) telah memberikan status "hijau" kepada Mg dan Gn, sebelum dipindah ke Tulungagung.
Status ini menandakan bahwa tingkat keradikalan keduanya sudah mulai rendah, jauh menurun dibandingkan sebelum keduanya ditangkap oleh Densus 88/Antiteror Polri.
Hal itu tersirat sejak awal Mg ditangkap tim densus yang menyaru sebagai jamaah Shalat Subuh di sebuah mushala di daerah tempat tinggal dia di Sukoharjo pada 2018. Mg yang saat itu bertindak menjadi imam shalat, hanya bisa pasrah menyerah.
Ekspresi kaget dan menyesal saat penangkapan itu menunjukkan dia sadar yang telah dia lakoni sebagai komandan, sekaligus perekrut anggota JI di wilayahnya, adalah perbuatan salah, baik secara agama maupun dari sisi hukum negara.
Demikian pula dengan Gn bin AK yang ditangkap Densus 88, usai mengantar anaknya sekolah di daerah Cililitan, Jakarta, pada 2021. Meskipun sempat kaget, Gn hanya bisa pasrah saat anggota densus menangkapnya di tepi jalan, lalu membawanya ke Mako Brimob Kelapa Dua, Depok.
Rasa sesal dan bersalah itu pula yang terbersit, saat Mg dan Gn dibawa ke Lapas Kelas IIB Tulungagung pada Selasa (12/11/2024). Tiba sekitar pukul 13.00 WIB, masuk ke lingkungan lapas dengan tangan terborgol dan mata ditutup kain hitam, dikawal tim Densus, BNPT, dan personel Dirjen Pemasyarakatan.
Pihak lapas lebih dulu melakukan pemeriksaan administratif. Dicek berkas-berkasnya, legalitas berkas serta rujukan pembinaan dari densus yang menyatakan kedua napiter berstatus "hijau".
Saat itu, Kepala Lapas Budiman Kusumah, wali asuh napiter Novis Setiawan, dan petugas khusus juga berkesempatan wawancara singkat atau mengukur psikologis kedua napiter itu. Hasilnya, respons maupun tanggapan Mg dan Gn cukup positif.
Dari wawancara itu disimpulkan bahwa status "hijau" keduanya terkonfirmasi betul-betul hijau. Wawancara itu dilakukan, sebelum keduanya dimasukkan ke dalam sel khusus untuk menjalani isolasi khusus dalam tahap mapenaling selama dua pekan atau 14 hari, terhitung sejak mereka masuk pada 12 November 2024.
Isolasi ke integrasi
Novis yang sehari-hari paling intens berinteraksi dengan kedua napiter, mengaku cukup optimistis proses deradikalisasi terhadap Mg maupun Gn berjalan ke arah positif.
Rasa menyesal yang kini membebani pikiran Mg dan Gn, menjadi modal penting. Pekerjaan si wali asuh juga akan menjadi lebih mudah dalam melayani ataupun mendampingi keduanya.
Selaku pamong napiter, tugas Novis kini tinggal membuat keduanya nyaman menjalani proses akhir di penjara. Bertegur sapa dalam setiap kesempatan, memastikan ketersediaan logistik konsumsi setiap hari, pemenuhan sarana-prasarana untuk ibadah selama dalam sel tahanan, hingga interaksi komunikasi pada momen-momen tertentu.
Pembicaraan pun bisa macam-macam, saat mendampingi mereka, namun biasanya hanya pembicaraan ringan dengan aksen bahasa lokal kepada Mg, dan kadang bahasa campuran dengan Gn yang hanya sedikit menguasai Bahasa Jawa.
Kesempatan interaksi itulah yang biasanya digunakan Novis, maupun Kalapas Tulungagung yang sesekali menyempatkan waktu mengontrol kedua napiter untuk menyelipkan isu-isu ringan terkait wawasan kebangsaan.
Selain petugas lapas yang melakukan pendampingan selama masa karantina ini, personel BNPT secara terjadwal juga melakukan pembinaan terhadap kedua napiter, baik secara langsung maupun tidak langsung, seperti melalui panggilan video di telepon seluler.
Jika proses pendampingan dan pembinaan yang dilakukan wali asuh napiter dan BNPT mengarah ke hasil deradikalisasi, pihak lapas akan mengajukan permintaan ke Balai Pemasyarakatan (Bapas) Kediri untuk melakukan penelitian pemasyarakatan (litmas) terhadap keduanya.
Hasil penilaian dari tiga unsur kelembagaan inilah, jika statusnya sama-sama "hijau" atau tingkat risiko (radikalisasi) rendah, yang nantinya dijadikan dasar bagi lapas untuk mengajukan program ikrar kesetiaan NKRI ke Direktorat Jenderal Pemasyarakatan.
Sebaliknya jika hasil pendampingan dan penilaian dari wali asuh, BNPT dan Bapas menunjukkan status napiter mengarah ke kuning, atau, bahkan merah, keputusan penanganan napiter bersangkutan akan dievaluasi ulang oleh Ditjen Pemasyarakatan.
Merujuk penanganan enam napiter yang pernah masuk ke Lapas Kelas IIB Tulungagung sebelumnya, napiter yang berstatus merah ada yang dipindahkan ke lembaga pemasyarakatan dengan tingkat keamanan lebih ketat (premium) dan ada pula yang dipertahankan di Lapas Tulungagung, namun dengan pengawasan ketat.
Selama ini, ada dua napiter lain yang pernah mendekam di Lapas Kelas IIB Tulungagung, yakni Ar dan Wd yang statusnya telah "hijau" dan telah menjalani ikrar kesetiaan kepada NKRI.
Terhadap napiter yang sudah menjalani ikrar kesetiaan NKRI ini, hak-haknya sebagai warga binaan dikembalikan, seperti hak untuk dibezuk keluarga, berbaur dengan warga binaan lain, berjamaah di masjid bersama yang lain, hingga hak remisi tahunan.
Kita semua berharap, dua napiter yang baru masuk ini, baik Mg maupun Gn, juga bisa segera melaksanakan ikrar kesetiaan kepada NKRI, termasuk para napiter lainnya segera menyusul.
Kisah penyesalan dua napiter ini diharapkan menjadi pelajaran besar bagi pelaku terorisme maupun mereka yang memahami agama dengan cara radikal untuk segera kembali kepada ajaran agama yang rahmatan lil 'aalamiin alias "menjadi rahmat bagi seluruh alam".
Nilai Islam yang sesungguhnya adalah menjunjung tinggi perdamaian dan ketenteraman. Islam melarang umatnya melakukan perusakan di Bumi.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2024
Mg yang asli Sukoharjo, Jawa Tengah, sekian tahun menjalani hukuman di Lapas Cikeas yang diperuntukkan narapidana terorisme di bawah pengawasan ketat tim Densus 88 POlri. Pemindahannya ke Lapas Kelas Tulungagung sudah dirasa Mg laiknya pulang ke rumah.
Sederhana saja yang dia rasakan. Di lingkungan pemasyarakatan yang baru ini, Mg tidak lagi sendirian di dalam sel, seperti saat masih di tahanan Lapas Cikeas. Ia, kini berdua dengan Gn, napiter asal Cililitan, Jakarta Selatan, yang terlibat dalam gerakan makar, pengembangan sel Negara Islam Indonesia (NII).
Lebih dari itu, yang paling membahagiakan Mg adalah bertemu para sipir (petugas jaga) yang hampir semuanya berbahasa Jawa.
Komunikasinya langsung akrab. Ia tidak lagi banyak diam, seperti saat masih di Lapas Cikeas. Itulah yang membuat napiter yang ditangkap karena terlibat dalam jaringan Jamaah Islamiyah (JI) ini serasa masuk ke rumah sendiri.
Hari-hari sejak ia resmi dipindah ke Lapas Kelas IIB Tulungagung pada Selasa (12/11/2024), dia jalani dengan lebih tenang dan nyaman.
Gambaran itu diceritakan apa adanya oleh Novis Setiawan, satu-satunya wali asuh atau pamong napiter yang mendampingi Mg dan Gn melanjutkan sisa masa hukuman di Lembaga Pemasyarakatan Tulungagung.
Tentu saja kegembiraan itu hanya secuil rasa. Bukan berarti mereka bahagia secara keseluruhan. Sebab bagaimanapun, hidup di dalam penjara dengan status berseberangan dengan negara, bukanlah cita-cita mereka. Bukan sesuatu yang mereka bayangkan bakal benar-benar terjadi hidup sebagai pesakitan.
Meski diakui, saat ikut kelompok yang memperjuangkan nilai yang seolah-olah sudah sangat Islam dalam kehidupan bernegara, mereka sadar akan berhadapan dengan aparat penegak hukum.
Kehidupan dalam penjara, sepertinya telah membuat hidup mereka serasa hancur. Terpisah dari keluarga dan tidak bisa menghidupi anak-istri, menjadi beban rasa dosa besar yang harus segera ditebus, selepas mereka bebas dari pemasyarakatan.
Menuju deradikalisasi
Kepala Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Tulungagung R. Budiman Kusumah menceritakan bahwa Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) telah memberikan status "hijau" kepada Mg dan Gn, sebelum dipindah ke Tulungagung.
Status ini menandakan bahwa tingkat keradikalan keduanya sudah mulai rendah, jauh menurun dibandingkan sebelum keduanya ditangkap oleh Densus 88/Antiteror Polri.
Hal itu tersirat sejak awal Mg ditangkap tim densus yang menyaru sebagai jamaah Shalat Subuh di sebuah mushala di daerah tempat tinggal dia di Sukoharjo pada 2018. Mg yang saat itu bertindak menjadi imam shalat, hanya bisa pasrah menyerah.
Ekspresi kaget dan menyesal saat penangkapan itu menunjukkan dia sadar yang telah dia lakoni sebagai komandan, sekaligus perekrut anggota JI di wilayahnya, adalah perbuatan salah, baik secara agama maupun dari sisi hukum negara.
Demikian pula dengan Gn bin AK yang ditangkap Densus 88, usai mengantar anaknya sekolah di daerah Cililitan, Jakarta, pada 2021. Meskipun sempat kaget, Gn hanya bisa pasrah saat anggota densus menangkapnya di tepi jalan, lalu membawanya ke Mako Brimob Kelapa Dua, Depok.
Rasa sesal dan bersalah itu pula yang terbersit, saat Mg dan Gn dibawa ke Lapas Kelas IIB Tulungagung pada Selasa (12/11/2024). Tiba sekitar pukul 13.00 WIB, masuk ke lingkungan lapas dengan tangan terborgol dan mata ditutup kain hitam, dikawal tim Densus, BNPT, dan personel Dirjen Pemasyarakatan.
Pihak lapas lebih dulu melakukan pemeriksaan administratif. Dicek berkas-berkasnya, legalitas berkas serta rujukan pembinaan dari densus yang menyatakan kedua napiter berstatus "hijau".
Saat itu, Kepala Lapas Budiman Kusumah, wali asuh napiter Novis Setiawan, dan petugas khusus juga berkesempatan wawancara singkat atau mengukur psikologis kedua napiter itu. Hasilnya, respons maupun tanggapan Mg dan Gn cukup positif.
Dari wawancara itu disimpulkan bahwa status "hijau" keduanya terkonfirmasi betul-betul hijau. Wawancara itu dilakukan, sebelum keduanya dimasukkan ke dalam sel khusus untuk menjalani isolasi khusus dalam tahap mapenaling selama dua pekan atau 14 hari, terhitung sejak mereka masuk pada 12 November 2024.
Isolasi ke integrasi
Novis yang sehari-hari paling intens berinteraksi dengan kedua napiter, mengaku cukup optimistis proses deradikalisasi terhadap Mg maupun Gn berjalan ke arah positif.
Rasa menyesal yang kini membebani pikiran Mg dan Gn, menjadi modal penting. Pekerjaan si wali asuh juga akan menjadi lebih mudah dalam melayani ataupun mendampingi keduanya.
Selaku pamong napiter, tugas Novis kini tinggal membuat keduanya nyaman menjalani proses akhir di penjara. Bertegur sapa dalam setiap kesempatan, memastikan ketersediaan logistik konsumsi setiap hari, pemenuhan sarana-prasarana untuk ibadah selama dalam sel tahanan, hingga interaksi komunikasi pada momen-momen tertentu.
Pembicaraan pun bisa macam-macam, saat mendampingi mereka, namun biasanya hanya pembicaraan ringan dengan aksen bahasa lokal kepada Mg, dan kadang bahasa campuran dengan Gn yang hanya sedikit menguasai Bahasa Jawa.
Kesempatan interaksi itulah yang biasanya digunakan Novis, maupun Kalapas Tulungagung yang sesekali menyempatkan waktu mengontrol kedua napiter untuk menyelipkan isu-isu ringan terkait wawasan kebangsaan.
Selain petugas lapas yang melakukan pendampingan selama masa karantina ini, personel BNPT secara terjadwal juga melakukan pembinaan terhadap kedua napiter, baik secara langsung maupun tidak langsung, seperti melalui panggilan video di telepon seluler.
Jika proses pendampingan dan pembinaan yang dilakukan wali asuh napiter dan BNPT mengarah ke hasil deradikalisasi, pihak lapas akan mengajukan permintaan ke Balai Pemasyarakatan (Bapas) Kediri untuk melakukan penelitian pemasyarakatan (litmas) terhadap keduanya.
Hasil penilaian dari tiga unsur kelembagaan inilah, jika statusnya sama-sama "hijau" atau tingkat risiko (radikalisasi) rendah, yang nantinya dijadikan dasar bagi lapas untuk mengajukan program ikrar kesetiaan NKRI ke Direktorat Jenderal Pemasyarakatan.
Sebaliknya jika hasil pendampingan dan penilaian dari wali asuh, BNPT dan Bapas menunjukkan status napiter mengarah ke kuning, atau, bahkan merah, keputusan penanganan napiter bersangkutan akan dievaluasi ulang oleh Ditjen Pemasyarakatan.
Merujuk penanganan enam napiter yang pernah masuk ke Lapas Kelas IIB Tulungagung sebelumnya, napiter yang berstatus merah ada yang dipindahkan ke lembaga pemasyarakatan dengan tingkat keamanan lebih ketat (premium) dan ada pula yang dipertahankan di Lapas Tulungagung, namun dengan pengawasan ketat.
Selama ini, ada dua napiter lain yang pernah mendekam di Lapas Kelas IIB Tulungagung, yakni Ar dan Wd yang statusnya telah "hijau" dan telah menjalani ikrar kesetiaan kepada NKRI.
Terhadap napiter yang sudah menjalani ikrar kesetiaan NKRI ini, hak-haknya sebagai warga binaan dikembalikan, seperti hak untuk dibezuk keluarga, berbaur dengan warga binaan lain, berjamaah di masjid bersama yang lain, hingga hak remisi tahunan.
Kita semua berharap, dua napiter yang baru masuk ini, baik Mg maupun Gn, juga bisa segera melaksanakan ikrar kesetiaan kepada NKRI, termasuk para napiter lainnya segera menyusul.
Kisah penyesalan dua napiter ini diharapkan menjadi pelajaran besar bagi pelaku terorisme maupun mereka yang memahami agama dengan cara radikal untuk segera kembali kepada ajaran agama yang rahmatan lil 'aalamiin alias "menjadi rahmat bagi seluruh alam".
Nilai Islam yang sesungguhnya adalah menjunjung tinggi perdamaian dan ketenteraman. Islam melarang umatnya melakukan perusakan di Bumi.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2024