Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Banyuwangi, Jawa Timur, memperketat pengurusan dispensasi nikah sebagai upaya mencegah pernikahan dini di daerah ini.
Untuk itu, Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan dan KB Kabupaten Banyuwangi bekerja sama dengan Dinas Kesehatan setempat.
"Kerja sama itu merupakan bagian dari program perlindungan anak dan peningkatan kualitas sumber daya manusia," kata Kepala Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan dan KB Kabupaten Banyuwangi Henik Setyorini dalam keterangannya di Banyuwangi, Kamis.
Menurut Henik, dalam kesepakatan itu tertuang dua syarat tambahan yang wajib dipenuhi sebelum seseorang mengajukan dispensasi nikah ke Pengadilan Agama.
Syarat pertama, yakni harus mengantongi surat rekomendasi kematangan psikologis dari psikolog yang telah ditunjuk Dinas Sosial PPKB dan rekomendasi tersebut bertujuan mengukur tingkat kematangan mental dari pemohon dispensasi nikah.
Syarat kedua, yakni melampirkan surat rekomendasi hasil pemeriksaan kesehatan dan kematangan reproduksi, dan pemeriksaan kesehatan itu nantinya difasilitasi oleh Dinas Kesehatan.
"Hasil asesmen nantinya akan menjadi pertimbangan hakim untuk menentukan pemohon layak diberi dispensasi nikah atau tidak," ujar Henik.
Ia menjelaskan bahwa tujuan utama dari upaya itu bukan dalam rangka mempersulit masyarakat, justru bertujuan untuk melindungi anak-anak dari risiko pernikahan dini.
"Pernikahan dini memiliki berbagai dampak negatif yang signifikan, baik dari segi fisik, mental, maupun sosial," ujarnya.
Henik menyampaikan bahwa remaja yang menikah dini seringkali belum siap secara fisik untuk kehamilan dan ini meningkatkan risiko komplikasi kehamilan dan melahirkan.
"Belum lagi perkara kesehatan mental, karena tanggung jawab rumah tangga yang berat di usia muda bisa menimbulkan tekanan mental, seperti kecemasan, depresi atau stres, yang ujungnya berakhir perceraian. Ini harus dihindari," katanya.
Ia menambahkan, pernikahan dini cenderung juga meningkatkan risiko kekerasan dalam rumah tangga, kurangnya pengalaman dan kedewasaan membuat mereka lebih rentan terhadap pengendalian atau eksploitasi dari pasangan.
"Secara ekonomi kalau belum matang, bisa saja mereka terjebak dalam siklus kemiskinan, yang dapat berlanjut hingga generasi berikutnya," ujarnya.
Melalui kerja sama ini, menurut dia, target perkawinan anak usia dini bisa ditekan serta angka perceraian, angka kematian ibu dan bayi, dan angka stunting juga bisa turun.
"Kami berkomitmen untuk terus memantau dan mengevaluasi efektivitas program yang dilaksanakan, demi tercapainya tujuan jangka panjang dalam melindungi anak dan remaja," kata Henik.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2024
Untuk itu, Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan dan KB Kabupaten Banyuwangi bekerja sama dengan Dinas Kesehatan setempat.
"Kerja sama itu merupakan bagian dari program perlindungan anak dan peningkatan kualitas sumber daya manusia," kata Kepala Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan dan KB Kabupaten Banyuwangi Henik Setyorini dalam keterangannya di Banyuwangi, Kamis.
Menurut Henik, dalam kesepakatan itu tertuang dua syarat tambahan yang wajib dipenuhi sebelum seseorang mengajukan dispensasi nikah ke Pengadilan Agama.
Syarat pertama, yakni harus mengantongi surat rekomendasi kematangan psikologis dari psikolog yang telah ditunjuk Dinas Sosial PPKB dan rekomendasi tersebut bertujuan mengukur tingkat kematangan mental dari pemohon dispensasi nikah.
Syarat kedua, yakni melampirkan surat rekomendasi hasil pemeriksaan kesehatan dan kematangan reproduksi, dan pemeriksaan kesehatan itu nantinya difasilitasi oleh Dinas Kesehatan.
"Hasil asesmen nantinya akan menjadi pertimbangan hakim untuk menentukan pemohon layak diberi dispensasi nikah atau tidak," ujar Henik.
Ia menjelaskan bahwa tujuan utama dari upaya itu bukan dalam rangka mempersulit masyarakat, justru bertujuan untuk melindungi anak-anak dari risiko pernikahan dini.
"Pernikahan dini memiliki berbagai dampak negatif yang signifikan, baik dari segi fisik, mental, maupun sosial," ujarnya.
Henik menyampaikan bahwa remaja yang menikah dini seringkali belum siap secara fisik untuk kehamilan dan ini meningkatkan risiko komplikasi kehamilan dan melahirkan.
"Belum lagi perkara kesehatan mental, karena tanggung jawab rumah tangga yang berat di usia muda bisa menimbulkan tekanan mental, seperti kecemasan, depresi atau stres, yang ujungnya berakhir perceraian. Ini harus dihindari," katanya.
Ia menambahkan, pernikahan dini cenderung juga meningkatkan risiko kekerasan dalam rumah tangga, kurangnya pengalaman dan kedewasaan membuat mereka lebih rentan terhadap pengendalian atau eksploitasi dari pasangan.
"Secara ekonomi kalau belum matang, bisa saja mereka terjebak dalam siklus kemiskinan, yang dapat berlanjut hingga generasi berikutnya," ujarnya.
Melalui kerja sama ini, menurut dia, target perkawinan anak usia dini bisa ditekan serta angka perceraian, angka kematian ibu dan bayi, dan angka stunting juga bisa turun.
"Kami berkomitmen untuk terus memantau dan mengevaluasi efektivitas program yang dilaksanakan, demi tercapainya tujuan jangka panjang dalam melindungi anak dan remaja," kata Henik.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2024