Masyarakat Muslim di Indonesia, dalam beberapa hari terakhir mulai ramai menggelar kegiatan keagamaan untuk memperingati maulid atau hari lahir Nabi Muhammad SAW.
Meskipun catatan sejarah menunjukkan hari lahir nabi terakhir dalam ajaran agama-agama samawi adalah 12 Robiul Awal, namun Umat Islam di Indonesia bisa memeriahkan momen itu dalam satu bulan penuh secara bergantian.
Ulama berpaham "ahlussunah wal jama'ah" menegaskan bahwa peringatan maulid itu merupakan wujud cinta umat kepada junjungan dan teladan agungnya yang telah membawa jiwa dan peradaban umat dari keadaan gelap menuju cahaya atau "minaddzulumaati ilannuur".
Perwujudan cinta kepada teladan sempurna pembawa cahaya iman Islam itu sebetulnya tidak cukup hanya digali dan diperagakan saat bulan Rabiul Awwal dalam kalender Hijriah.
Sepanjang masa, semestinya kita memiliki tugas besar untuk terus menerus melanjutkan apa yang diajarkan dan dilakukan sebagai sikap keseharian Nabi Muhammad yang tidak pernah lepas dari niat atau motif penuh cinta.
Meminjam istilah David Ramon Hawkins, peneliti Ilmu Kesadaran, yang di Indonesia, ranah sains spiritual berbasis kajian ilmiah ini dipopulerkan oleh Bang Aswar, apa yang dipertontonkan oleh Nabi Muhammad dalam kehidupannya itu adalah ekspresi dari keadaan cinta tanpa syarat.
Secara umum, cinta itu selalu terselip motif di baliknya, yakni keinginan mendapatkan sesuatu. Misalnya, seorang laki-laki mencintai perempuan, bahkan hingga memasuki jenjang pernikahan, hampir pasti akan terselip syarat di dalamnya, seperti ingin diperlakukan dengan penuh hormat dan balasan cinta. Ketika motif itu tidak diwujudkan oleh orang yang dicintainya, biasanya akan menjadi sumber konflik.
Bahkan, cinta orang tua terhadap anak juga hampir selalu disertai dengan syarat, sehingga tidak jarang motif ini juga mengantarkan keadaan hubungan yang berkonflik
Dalam pemahaman Ilmu Kesadaran, seharusnya setiap orang tua dengan posisinya masing-masing sudah selesai dengan dirinya sendiri. Orang tua yang seperti ini akan menjalani peran pengasuhan dengan cinta kasih yang dalam tanpa mengembel-embeli syarat apapun pada anaknya.
Anak yang hidup dalam pola asuh yang diselimuti cinta tanpa syarat akan tumbuh menjadi pribadi yang merdeka dan kelak akan siap menjadi saluran cinta kasih tanpa syarat juga kepada siapapun dan apapun.
Cinta tanpa syarat, muncul dari jiwa yang sudah selesai dengan dirinya sendiri. Jiwa yang seperti ini akan total mengekspresikan cintanya tanpa berharap imbalan apapun dari yang dicintai.
Kembali kepada Rasulullah Muhammad SAW, ia adalah sosok paripurna yang jiwanya sudah suci, sehingga cintanya kepada siapapun tidak pernah dilatari oleh syarat atau imbalan.
Dalam satu kisah, Nabi Muhammad menunjukkan cinta tanpa syaratnya kepada seorang pengemis Yahudi yang buta. Setiap hari, Nabi mengunjungi pengemis itu dan menyuapi makanan dengan sikap lembut. Padahal, saat bersamaan, dari mulut orang itu muncul sumpah serapah dan caci maki kepala Muhammad.
Bahkan, pengemis itu mengingatkan si penyuap makanan agar menghindari bertemu dengan sosok bernama Muhammad. Pengemis itu tidak tahu kalau yang dengan telaten menyuapi dirinya itu adalah orang yang dia benci.
Sebagai pribadi yang jiwanya telah merdeka, Nabi Muhammad tidak tersinggung dan sakit hati mendengar perkataan pengemis Yahudi itu. Cintanya kepada orang lain tidak pupus hanya dengan caci maki kepada dirinya.
Cinta tanpa syarat memiliki energi keilahian yang dahsyat. Energi itu diam-diam menyelusup ke relung-relung jiwa, meskipun dampaknya, kadang memerlukan waktu.
Si pengemis buta itu baru merasakan efek cinta tanpa syarat dari pribadi sempurna Nabi Muhammad, setelah pembawa ajaran nilai "rahmatan lil 'aalamiin" (menjadi rahmat bagi seluruh alam) itu wafat.
Sahabat Nabi Muhammad kemudian menggantikan peran menyuapkan makanan itu. Di sela cerita tentang kebenciannya kepada nabi, ia protes kepada sahabat nabi karena cara menyuapinya berbeda, tidak selembut nabi.
Sahabat itu akhirnya memberi tahu bahwa yang setiap hari menyuapinya itu adalah Nabi Muhammad yang selalu dia pergunjingkan.
Mendengar itu, si pengemis tersebut menangis, menyesali perkataannya selama ini. Ia telah membenci Muhammad, sosok yang ceritanya hanya ia terima dari orang lain. Ternyata cerita yang ia terima tentang Muhammad justru berbeda 180 derajat dari faktanya. Muhammad adalah sosok yang lembut, penuh cinta kasih.
Sesaat setelah itu, si pengemis itu menyatakan beriman dan menjadi pengikut ajaran Nabi Muhammad.
Kisah lain, Nabi pernah berdakwah ke Kota Thaif, di luar Makkah. Ia berangkat ke kota itu bersama sahabat Zaid bin Haritsah. Bukannya diterima dengan baik, di kota itu Nabi Muhammad justru diusir dan dilempari dengan batu hingga berdarah.
Mendapatkan perlakuan itu, Nabi Muhammad tidak memiliki dendam. Bahkan, ketika melaikat menawari untuk membalas kekejaman tokoh dan penduduk Kota Thaif kepada Nabi Muhammad, Rasulullah justru menolaknya.
Nabi justru berdoa kepada Allah, kalau saat ini mereka belum menerima ajaran luhur tersebut, suatu saat nanti, anak cucu mereka akan beriman. Saat ini, seluruh penduduk asli "kota mawar" itu telah menjadi Muslim. Cinta tanpa syarat selalu membuahkan kebaikan dan keindahan.
Karena itu, Nabi Muhammad selalu menekankan nilai-nilai cinta ini untuk diterapkan oleh umatnya kepada siapapun dan apapun di Bumi.
Dalam satu hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, Nabi Muhammad menekankan makna cinta itu, yang artinya, "Salah seorang di antara kalian tidaklah beriman (dengan iman sempurna), hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri."
Cinta itu biasanya diekspresikan dengan perilaku atau akhlak. Karena alasan akhlak itu pula mengapa Allah menurunkan Nabi Muhammad untuk menebarkan ajaran Ilahiah di Bumi. "Innamaa buitstu liutammima makaarimal akhlaq", yang artinya, "Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.
Karena itu, sudah selayaknya dan seharusnya, umat Islam menjadi pelopor kelembutan dan kebaikan akhlak, bahkan menjadi rahmat bagi siapapun di Bumi. Umat Islam Indonesia yang biasa meramaikan peringatan Maulid Nabi dengan bacaan selawat, juga harus mengejawantahkan kecintaan pada Nabi itu dengan juga mencintai sesama dengan akhlak yang baik dan lembut.
Menjaga kerukunan dan ketenteraman di masyarakat adalah salah satu wujud dari mencintai Nabi Muhammad SAW.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2024
Meskipun catatan sejarah menunjukkan hari lahir nabi terakhir dalam ajaran agama-agama samawi adalah 12 Robiul Awal, namun Umat Islam di Indonesia bisa memeriahkan momen itu dalam satu bulan penuh secara bergantian.
Ulama berpaham "ahlussunah wal jama'ah" menegaskan bahwa peringatan maulid itu merupakan wujud cinta umat kepada junjungan dan teladan agungnya yang telah membawa jiwa dan peradaban umat dari keadaan gelap menuju cahaya atau "minaddzulumaati ilannuur".
Perwujudan cinta kepada teladan sempurna pembawa cahaya iman Islam itu sebetulnya tidak cukup hanya digali dan diperagakan saat bulan Rabiul Awwal dalam kalender Hijriah.
Sepanjang masa, semestinya kita memiliki tugas besar untuk terus menerus melanjutkan apa yang diajarkan dan dilakukan sebagai sikap keseharian Nabi Muhammad yang tidak pernah lepas dari niat atau motif penuh cinta.
Meminjam istilah David Ramon Hawkins, peneliti Ilmu Kesadaran, yang di Indonesia, ranah sains spiritual berbasis kajian ilmiah ini dipopulerkan oleh Bang Aswar, apa yang dipertontonkan oleh Nabi Muhammad dalam kehidupannya itu adalah ekspresi dari keadaan cinta tanpa syarat.
Secara umum, cinta itu selalu terselip motif di baliknya, yakni keinginan mendapatkan sesuatu. Misalnya, seorang laki-laki mencintai perempuan, bahkan hingga memasuki jenjang pernikahan, hampir pasti akan terselip syarat di dalamnya, seperti ingin diperlakukan dengan penuh hormat dan balasan cinta. Ketika motif itu tidak diwujudkan oleh orang yang dicintainya, biasanya akan menjadi sumber konflik.
Bahkan, cinta orang tua terhadap anak juga hampir selalu disertai dengan syarat, sehingga tidak jarang motif ini juga mengantarkan keadaan hubungan yang berkonflik
Dalam pemahaman Ilmu Kesadaran, seharusnya setiap orang tua dengan posisinya masing-masing sudah selesai dengan dirinya sendiri. Orang tua yang seperti ini akan menjalani peran pengasuhan dengan cinta kasih yang dalam tanpa mengembel-embeli syarat apapun pada anaknya.
Anak yang hidup dalam pola asuh yang diselimuti cinta tanpa syarat akan tumbuh menjadi pribadi yang merdeka dan kelak akan siap menjadi saluran cinta kasih tanpa syarat juga kepada siapapun dan apapun.
Cinta tanpa syarat, muncul dari jiwa yang sudah selesai dengan dirinya sendiri. Jiwa yang seperti ini akan total mengekspresikan cintanya tanpa berharap imbalan apapun dari yang dicintai.
Kembali kepada Rasulullah Muhammad SAW, ia adalah sosok paripurna yang jiwanya sudah suci, sehingga cintanya kepada siapapun tidak pernah dilatari oleh syarat atau imbalan.
Dalam satu kisah, Nabi Muhammad menunjukkan cinta tanpa syaratnya kepada seorang pengemis Yahudi yang buta. Setiap hari, Nabi mengunjungi pengemis itu dan menyuapi makanan dengan sikap lembut. Padahal, saat bersamaan, dari mulut orang itu muncul sumpah serapah dan caci maki kepala Muhammad.
Bahkan, pengemis itu mengingatkan si penyuap makanan agar menghindari bertemu dengan sosok bernama Muhammad. Pengemis itu tidak tahu kalau yang dengan telaten menyuapi dirinya itu adalah orang yang dia benci.
Sebagai pribadi yang jiwanya telah merdeka, Nabi Muhammad tidak tersinggung dan sakit hati mendengar perkataan pengemis Yahudi itu. Cintanya kepada orang lain tidak pupus hanya dengan caci maki kepada dirinya.
Cinta tanpa syarat memiliki energi keilahian yang dahsyat. Energi itu diam-diam menyelusup ke relung-relung jiwa, meskipun dampaknya, kadang memerlukan waktu.
Si pengemis buta itu baru merasakan efek cinta tanpa syarat dari pribadi sempurna Nabi Muhammad, setelah pembawa ajaran nilai "rahmatan lil 'aalamiin" (menjadi rahmat bagi seluruh alam) itu wafat.
Sahabat Nabi Muhammad kemudian menggantikan peran menyuapkan makanan itu. Di sela cerita tentang kebenciannya kepada nabi, ia protes kepada sahabat nabi karena cara menyuapinya berbeda, tidak selembut nabi.
Sahabat itu akhirnya memberi tahu bahwa yang setiap hari menyuapinya itu adalah Nabi Muhammad yang selalu dia pergunjingkan.
Mendengar itu, si pengemis tersebut menangis, menyesali perkataannya selama ini. Ia telah membenci Muhammad, sosok yang ceritanya hanya ia terima dari orang lain. Ternyata cerita yang ia terima tentang Muhammad justru berbeda 180 derajat dari faktanya. Muhammad adalah sosok yang lembut, penuh cinta kasih.
Sesaat setelah itu, si pengemis itu menyatakan beriman dan menjadi pengikut ajaran Nabi Muhammad.
Kisah lain, Nabi pernah berdakwah ke Kota Thaif, di luar Makkah. Ia berangkat ke kota itu bersama sahabat Zaid bin Haritsah. Bukannya diterima dengan baik, di kota itu Nabi Muhammad justru diusir dan dilempari dengan batu hingga berdarah.
Mendapatkan perlakuan itu, Nabi Muhammad tidak memiliki dendam. Bahkan, ketika melaikat menawari untuk membalas kekejaman tokoh dan penduduk Kota Thaif kepada Nabi Muhammad, Rasulullah justru menolaknya.
Nabi justru berdoa kepada Allah, kalau saat ini mereka belum menerima ajaran luhur tersebut, suatu saat nanti, anak cucu mereka akan beriman. Saat ini, seluruh penduduk asli "kota mawar" itu telah menjadi Muslim. Cinta tanpa syarat selalu membuahkan kebaikan dan keindahan.
Karena itu, Nabi Muhammad selalu menekankan nilai-nilai cinta ini untuk diterapkan oleh umatnya kepada siapapun dan apapun di Bumi.
Dalam satu hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, Nabi Muhammad menekankan makna cinta itu, yang artinya, "Salah seorang di antara kalian tidaklah beriman (dengan iman sempurna), hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri."
Cinta itu biasanya diekspresikan dengan perilaku atau akhlak. Karena alasan akhlak itu pula mengapa Allah menurunkan Nabi Muhammad untuk menebarkan ajaran Ilahiah di Bumi. "Innamaa buitstu liutammima makaarimal akhlaq", yang artinya, "Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.
Karena itu, sudah selayaknya dan seharusnya, umat Islam menjadi pelopor kelembutan dan kebaikan akhlak, bahkan menjadi rahmat bagi siapapun di Bumi. Umat Islam Indonesia yang biasa meramaikan peringatan Maulid Nabi dengan bacaan selawat, juga harus mengejawantahkan kecintaan pada Nabi itu dengan juga mencintai sesama dengan akhlak yang baik dan lembut.
Menjaga kerukunan dan ketenteraman di masyarakat adalah salah satu wujud dari mencintai Nabi Muhammad SAW.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2024