Surabaya - Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) menolak Papua merdeka, karena segala bentuk gerakan separatisme dan intervensi asing yang akan memisahkan Papua dari wilayah Indonesia itu haram hukumnya. Juru bicara HTI Muhammad Ismail Yusanto dalam siaran pers yang diterima ANTARA dari DPD HTI Jatim di Surabaya, Jumat, mencatat salah satu sumber gejolak di Papua hingga saat ini adalah upaya memisahkan atau memerdekakan Papua dari NKRI. Upaya itu dilakukan melalui tiga elemen yang bergerak saling bahu membahu, yakni elemen gerakan bersenjata yaitu TPN/OPM (Tentara Pembebasan Nasional/Organisasi Papua Merdeka). Dua elemen lain, elemen diplomatik di luar negeri terutama dua organisasi yaitu ILWP (International Lawyer for West Papua) dan IPWP (International Parliament for West Papua), dan elemen politik dalam negeri baik LSM-LSM atau organisasi yang menguatkan tuntutan referendum melalui demonstrasi, seminar, atau lainnya. Menurut HTI, TPN OPM selama ini melakukan berbagai penyerangan dan kontak senjata di Papua, termasuk beberapa penyerangan pada akhir-akhir ini seperti yang diakui oleh OPM sendiri. Sementara itu, ILWP dan IPWP yang bermarkas di Eropa (Inggris) dan diinisiasi serta dimotori oleh organisasi yang dipimpin oleh Beny Wenda, yaitu FWPC (Free West Papua Campaign) itu diberi mandat TPN/OPM dan didukung oleh KNPB untuk memperjuangkan kemerdekaan Papua melalui internasionalisasi masalah Papua dan mendorong PBB untuk membahasnya, baik dalam Majelis Umum atau dalam Komite Kolonialisasi. Untuk elemen politik dalam negeri, baik LSM-LSM atau organisasi yang selalu menguatkan tuntutan referendum melalui berbagai cara, di antaranya aksi demontrasi pada 1 Agustus 2011 yang dimotori oleh KNPB (Komita Nasional Papua Barat) di Jayapura, Nabire, Timika dan Manokwari guna mendukung kemerdekaan Papua dan dimaksudkan sebagai dukungan terhadap konferensi yang dilakukan di London oleh ILWP. Menurut studi yang dilakukan LIPI, ada empat akar masalah yang membuat Papua terus bergejolak yakni masalah sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia yang bagi sebagian orang Papua dianggap belum benar. Masalah kedua adalah masalah operasi militer yang berlangsung sejak tahun 1965 menimbulkan trauma dan luka kolektif di masyarakat Papua tentang kekerasan negara dan pelanggaran HAM. Masalah ketiga, diskriminasi dan marjinalisasi masyarakat Papua oleh berbagai kebijakan yang dibuat Pemerintah. Masalah keempat, kegagalan pembangunan Papua, khususnya pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. Dalam catatan HTI ada satu lagi yang tidak bisa dilepaskan, yakni intervensi negara asing, khususnya Amerika Serikat (AS), yang memang sangat berkepentingan terhadap Papua mengingat di sana bekerja sejumlah perusahaan milik AS, khususnya Freeport. "Sedemikian penting posisi Papua, sehingga dalam waktu yang relatif singkat soal ini disinggung oleh tiga pejabat tinggi AS, yakni Menhan AS Leon Panetta dalam kunjungan kehormatan kepada Presiden SBY di Nusa Dua, Bali (24/10/2011)," demikian catatan HTI. Berikutnya, menjelang kunjungan Presiden AS Obama, Menlu AS Hillary Clinton angkat suara mengenai konflik di Papua. Hillary menyampaikan kekhawatiran akan kondisi HAM di Papua. Ia menyerukan adanya dialog untuk memenuhi aspirasi rakyat di wilayah konflik tersebut (AFP, 11/11/2011). Obama dalam pembicaraan dengan Presiden SBY di Bali juga menyinggung masalah Papua. Oleh karena itu, HTI menolak segala bentuk gerakan separatisme dan intervensi asing yang akan memisahkan Papua dari wilayah Indonesia, karena secara syar'iy bahwa pemisahan suatu wilayah dari sebuah negeri yang saat ini sudah terpecah belah adalah haram. Selain itu, HTI menilai penyelesaian tuntas masalah Papua hanya bisa dilakukan dengan pembangunan yang adil dan merata sehingga terpenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar seperti sandang, papan, pangan dan infrastruktur ekonomi, pendidikan dan kesehatan. Untuk itu, sistem ekonomi Islam yang menjadikan distribusi kekayaan secara adil merupakan fokus yang harus dilaksanakan, tidak bisa dengan sistem ekonomi kapitalisme seperti yang terjadi selama ini. Tidak kalah pentingnya adalah harus dilakukan integrasi masyarakat di Papua menjadi satu kesatuan masyarakat, baik secara politik, ekonomi maupun sosial - budaya, yang di dalamnya tidak ada diskriminasi dan marjinalisasi. "Hanya dengan cara itu kerahmatan Islam yang telah dijanjikan Allah SWT untuk semesta alam, termasuk untuk warga Papua itu akan terwujud," kata Ismail Yusanto dalam siaran persnya. (*)

Pewarta:

Editor : Slamet Hadi Purnomo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2011