Surabaya - Putri sulung mantan Presiden Abdurrahman Wahid, yakni Alissa Qathrunnada Abdurrahman Wahid atau Alissa Wahid menilai rendahnya indeks pembangunan manusia (IPM) Indonesia itu, akibat pemerintah mengabaikan kebudayaan. "Kebudayaan itu sangat menentukan kemajuan suatu bangsa, karena itu IPM Indonesia sekarang lebih rendah dari Palestina yang dirundung konflik, karena kemajuan hanya dicapai dengan angka secara ekonomi tanpa akar kebudayaan yang berkembang di tengah-tengah masyarakat," katanya di Surabaya (23/11). Ia mengemukakan hal itu dalam orasi pada sarasehan bertajuk "Revitalisasi Budaya Nusantara" yang diadakan oleh Prodi Filsafat Politik Islam IAIN Sunan Ampel Surabaya bekerja sama dengan PP Lembaga Seniman dan Budayawan Muslim Indonesia (Lesbumi) NU di kampus setempat pada 23-24 November 2011. Menurut Alissa Wahid yang juga pegiat sosial dan psikolog keluarga itu, Jepang sudah membuktikan kemajuan yang dibangun dengan memegang teguh kebudayaan itu, bisa mengalahkan kemajuan yang dicapai negara lain yang tanpa akar kebudayaan. "Kebudayaan itu sangat menentukan, karena berkaitan dengan strategi kehidupan yang sangat fundamental. Apa yang dilakukan para Walisongo juga membuktikan bahwa pembangunan yang menggunakan pendekatan kebudayaan itu lebih lestari dan menampakkan situasi yang sesungguhnya," paparnya. Selain itu, katanya, jejak kejayaan yang dibangun nenek moyang sejak zaman kerajaan hingga proklamasi kemerdekaan mengejar pentingnya pembangunan yang bersumber dari kemajuan masyarakat, dan bukan kemajuan yang diukur secara ekonomi tapi terjadi kesenjangan di mana-mana. "Kita tahu bahwa dunia sekarang lebih banyak ditentukan kekuatan yang mengglobal, seperti penyanyi pop Korea yang disukai remaja Indonesia, penyanyi pop Amerika Lady GaGa yang menentukan gaya hidup 16 juta orang, atau bahkan Hizbut Tahrir yang menentukan ideologi global," tuturnya. Putri Gus Dur yang kini bermukim di Yogyakarta itu menyatakan, terpaan budaya secara global itu membuat masyarakat Indonesia mengarah pada humanisme "aku" dan bukan lagi humanisme "kita", sehingga kesukuan atau komunitas dalam bentuk global itu menjadi pola atau acuan baru. "Akhirnya, nilai-nilai kita yang moderat, sosial/kebersamaan, dan kearifan lokal pun mulai hilang. Contohnya, nilai kebersamaan dalam bentuk mendirikan tenda saat ada tetangga meninggal dunia di Yogyakarta memang masih ada, tapi nilai-nilai itu tidak diikuti anak-anak muda sekarang," ujarnya. Oleh karena itu, kebudayaan harus dikembalikan sebagai "patung" dari kehidupan politik, ekonomi, agama, dan sebagainya. "Kebudayaan itu bukan artefak, tapi kebudayaan adalah 'payung' dalam kehidupan yang berjalan secara dinamis," katanya. Ia mencontohkan demokrasi yang diterapkan di Indonesia saat ini. "Demokrasi adalah nilai universal yang bisa diterima di mana saja, tapi nilai universal itu harus didialogkan dengan kebudayaan masyarakat setempat, sehingga jangan dipaksakan, seperti Walisongo yang mengembangkan agama lewat budaya," tukasnya. Ditanya tentang cara memasyarakatkan kembali kebudayaan di Indonesia, ia mengaku tidak ada cara yang sama, namun kebudayaan harus disarangkan (menjadi sarang) dalam kehidupan dengan cara sesuai masyarakatnya, seperti pemerintah, masyarakat terdidik, anak-anak muda, dan sebagainya. "Kalau anak-anak muda, saya kira kita bisa menggunakan 'you tube' atau jejaring sosial lainnya. Jadi, cara mengembalikan Budaya Nusantara itu jangan represif. Kita juga bisa masuk lewat MPR yang saat ini sedang getol memasyarakatkan Empat Pilar Bangsa dan Negara. Caranya banyak dan semuanya dialogis," katanya. Senada dengan itu, Ketua PP Lesbumi NU Dr Ngatawi Al Zastrouw menegaskan bahwa Nusantara itu sebenarnya merupakan "puncak budaya" seperti dikatakan para Indonesianis, karena itu Budaya Nusantara harus digali dan disarangkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. "Untuk budaya memelihara lingkungan, kita bisa belajar kepada budaya masyarakat Bali yang selalu melakukan upacara untuk menanam atau menebang pohon. Kita jangan menuduh animisme, tapi nilai di balik itu adalah interaksi dengan lingkungan, karena itu kita harus menanam bila menebang," katanya. Untuk budaya wirausahawan, masyarakat bisa belajar kepada budaya masyarakat Madura atau Padang. "Budaya wirausaha orang Madura dan Padang adalah budaya bagaimana mengelola keuangan. Kalau dari orang Jawa, kita bisa belajar budaya toleransi," ucapnya. Namun, hal itu bukan berarti masyarakat Indonesia harus anti-Barat. "Contohlah bagaimana Bung Hatta menggali Sosialisme ala Eropa, tapi akhirnya disesuaikan dengan budaya kita menjadi ekonomi Kerakyatan. Atau, Bung Karno yang menggali nasionalisme ala Eropa menjadi Nasionalisme Indonesia," katanya. Oleh karena itu, Lesbumi NU menawarkan strategi "Afinitas Kultural" (memilin/memintal kebudayaan) untuk memajukan Indonesia. "Artinya, demokrasi, Hizbut Tahrir, atau apapun boleh-boleh saja masuk, tapi semuanya harus 'nyambung' dengan budaya lokal," katanya dalam sarasehan yang juga mengundang Radhar Panca Dahana, Taufik Rahzen, Damar Shashangka, Ray Sahetapy, Taufik Kindy, Agus Sunyoto, dan sebagainya.(*)

Pewarta:

Editor : Chandra Hamdani Noer


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2011