Seorang ayah bercerita mengenai perilaku anak bungsunya yang selama ini belum sesuai harapan. Si ayah merasakan anaknya (umur sekitar 8 tahun) selalu membantah dan mendebat orang tuanya.
Sebagaimana kebanyakan orang tua, ia menginginkan anaknya "sempurna", menjadi penurut dan selalu patuh pada titah orang tua.
Si ayah menceritakan semua pengalaman menjadi orang tua itu pada seorang mentor, sebut saja Profesor A.
Prof A yang merupakan pakar teknik dan dalam beberapa tahun terakhir mendalami psikologi spiritual dan sekaligus pengamal tasawuf itu mencoba menggali informasi di kedalaman jiwa si ayah, khususnya pengalaman yang menimbulkan luka batin di masa kecil.
Dari cerita itu, Prof A menemukan poin keterjebakan jiwa si ayah pada kondisi "salah melulu" atau "selalu salah". Keyakinan pikiran bawah sadar bahwa si ayah "selalu salah" karena di masa kecil diproyeksikan menjadi anak soleh yang tidak boleh sedikitpun salah dari orang tuanya.
Tidak bermaksud bergibah mengenai pola pengasuhan orang tua yang salah dari si ayah, Prof A berupaya menggali secara detail pengalaman masa kecil di ayah dengan orang tuanya untuk menemukan luka batin yang membekas itu, bahkan sudah berurat nadi hingga membelenggu jiwa.
Ketika sudah ditemukan momen luka batin di masa kecil itu, Prof A mengajak si ayah untuk mentransformasi jiwanya agar bertumbuh. Sejatinya, jiwa seorang ayah, termasuk seorang ibu, seringkali terjebak dalam jiwa masih anak-anak, meskipun secara umur sudah dewasa. "Jiwa belia" itu terjebak dalam tubuh orang dewasa. Ibarat mesin dengan centimeter cubic (CC) kecil, digunakan untuk menggerakkan bodi mobil jenis CC besar, tentu berat untuk melaju dengan kencang.
Seperti diketahui, CC mencerminkan ukuran volume ruang bakar pada mesin. Setiap kendaraan selalu dilengkapi dengan ruang bakar biasanya berbentuk tabung yang dapat dihitung menggunakan rumus tabung.
Karena itu, kalau keterjebakan jiwa seseorang tidak disadari dan disembuhkan, akan berdampak pada kehidupan nyata di masa dewasanya, seperti masalah relasi di keluarga, relasi sosial, relasi profesional dan finansial, termasuk kesehatan.
Ada seorang ayah atau ibu yang mudah tersinggung dengan sikap anaknya, karena si orang tua tidak menyadari bahwa jiwanya masih terjebak sebagai jiwa anak-anak. Maka yang terjadi adalah seringnya terjadi "pertengkaran" antara anak dengan orang tua.
"Pertengkaran" anak dengan orang tua itu digerakkan oleh ego bahwa orang tua adalah penentu masa depan anak dan baik-buruk kehidupan si anak. Relasi kuasa orang tua terhadap anak menemukan panggungnya untuk diekspresikan.
Dalam keadaan seperti ini, orang tua tidak sadar bahwa jiwanya sendiri bermasalah, sehingga harus disembuhkan agar menjadi layak menduduki "maqam" (posisi) sebagai orang tua. Orang tua juga tidak sadar bahwa dalam jiwa si anak ada ruh Ilahi yang berasal dari Mahasumber, sehingga harus dihormati.
Demikian juga dengan kondisi finansial yang dalam jiwa seseorang sudah terbentuk pemahaman bahwa "hidup itu susah". Informasi bahwa "hidup itu susah", diperoleh dari pola pengasuhan yang tidak disadari oleh orang tua terhadap anak. Misalnya, orang tua tidak sadar setiap saat bercerita tentang masalah keuangan yang sulit kepada atau di depan anak-anaknya.
Cerita itu, diam-diam masuk ke pikiran bawah sadar si anak yang kemudian dijadikan "pendasaran keyakinan" (illah) dalam kehidupan selanjutnya. Si anak, hingga dewasa hidupnya susah dan selalu sulit untuk mengakses keberlimpahan ekonomi.
"Jiwa Anda terjebak pada keadaan 'ilusi kemahasempurnaan' dari orang tua Anda. Ini tidak bermaksud menyalahkan orang tua Anda, tapi untuk menyelamatkan jiwa Anda sendiri ya," kata Prof A memberi pemahaman pada si ayah yang sedari tadi termenung dalam kelana pikiran ke masa kecilnya.
Kalau pola pengasuhan beserta dampaknya ini tidak disembuhkan, maka anak dari si ayah dan si ibu yang terjebak dalam rasa hidup yang susah akan terus berlanjut pada keturunan (generasi) berikutnya.
Terkait anak sebagai cermin dari jiwa orang tuanya, kata Prof A, pada momen seperti itulah sebetulnya Tuhan hadir untuk "menyapa" si ayah atau si ibu di dalam keluarga. Di situlah perintah "iqra" (bacalah), dalam ayat pertama yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad Saw, menemukan makna sesungguhnya.
Si ayah mulai manggut-manggut di hadapan si profesor muda itu, seraya berucap, terima kasih, "alhamdulilah", yang kemudian dipungkasi dengan kata "shadaqallaahul 'adziim" (Maha benar Allah, dengan segala firman-NYA).
Tak lupa ia juga mengucapkan terima kasih kepada pada si anak bungsunya yang telah mewakili gejolak jiwa si ayah yang selama ini belum merdeka sebagai manusia. Lebih tepatnya belum menduduki maqam spiritual "manusia seutuhnya".
Sebagai praktisi tasawuf, Prof A kemudian mengajak si ayah untuk mengenali kehadiran Tuhan lewat interaksi atau perilaku anaknya dan kejadian-kejadian lain di keseharian.
"Coba selalu rasakan dan temukan bahwa Tuhan sedang 'hadir' untuk dikenali lewat sikap-sikap anak. Dari pengalaman saya dengan anak saya, ketika terus disadari ada 'kehadiran' Tuhan di setiap momen, maka lambat laun dan pasti, sikap anak berubah. Ketika jiwa Anda merdeka dari beban luka batin, maka anak tidak lagi memikul beban untuk mengekspresikan jiwa Anda. Merdeka jiwa Anda, maka semua di sekitar kita akan berubah," kata Prof A.
Si ayah semakin tersadar dan kembali berterima kasih pada si anak bungsunya. Meskipun tidak diucapkan di depan si anak, energi terima kasih itu merambat ke relung batin anak bungsunya.
Ia juga tersentak dengan ungkapan Prof A bahwa di semua keadaan atau kejadian, sejatinya ada ayat-ayat Tuhan untuk menuntun kita kembali pada-Nya atau selalu mengingat-Nya.
Profesor yang spiritualis itu kemudian mengingatkan si ayah tentang Ayat 125 Surat Al Baqarah, yang artinya, "Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap, di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui".
Meskipun penelusuran ke dalam diri ini bisa dilakukan oleh semua orang lewat proses kontemplasi, Prof A menyarankan orang untuk mencari mentor ahli, sehingga betul-betul bisa merdeka dari jerat luka batin itu.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2023
Sebagaimana kebanyakan orang tua, ia menginginkan anaknya "sempurna", menjadi penurut dan selalu patuh pada titah orang tua.
Si ayah menceritakan semua pengalaman menjadi orang tua itu pada seorang mentor, sebut saja Profesor A.
Prof A yang merupakan pakar teknik dan dalam beberapa tahun terakhir mendalami psikologi spiritual dan sekaligus pengamal tasawuf itu mencoba menggali informasi di kedalaman jiwa si ayah, khususnya pengalaman yang menimbulkan luka batin di masa kecil.
Dari cerita itu, Prof A menemukan poin keterjebakan jiwa si ayah pada kondisi "salah melulu" atau "selalu salah". Keyakinan pikiran bawah sadar bahwa si ayah "selalu salah" karena di masa kecil diproyeksikan menjadi anak soleh yang tidak boleh sedikitpun salah dari orang tuanya.
Tidak bermaksud bergibah mengenai pola pengasuhan orang tua yang salah dari si ayah, Prof A berupaya menggali secara detail pengalaman masa kecil di ayah dengan orang tuanya untuk menemukan luka batin yang membekas itu, bahkan sudah berurat nadi hingga membelenggu jiwa.
Ketika sudah ditemukan momen luka batin di masa kecil itu, Prof A mengajak si ayah untuk mentransformasi jiwanya agar bertumbuh. Sejatinya, jiwa seorang ayah, termasuk seorang ibu, seringkali terjebak dalam jiwa masih anak-anak, meskipun secara umur sudah dewasa. "Jiwa belia" itu terjebak dalam tubuh orang dewasa. Ibarat mesin dengan centimeter cubic (CC) kecil, digunakan untuk menggerakkan bodi mobil jenis CC besar, tentu berat untuk melaju dengan kencang.
Seperti diketahui, CC mencerminkan ukuran volume ruang bakar pada mesin. Setiap kendaraan selalu dilengkapi dengan ruang bakar biasanya berbentuk tabung yang dapat dihitung menggunakan rumus tabung.
Karena itu, kalau keterjebakan jiwa seseorang tidak disadari dan disembuhkan, akan berdampak pada kehidupan nyata di masa dewasanya, seperti masalah relasi di keluarga, relasi sosial, relasi profesional dan finansial, termasuk kesehatan.
Ada seorang ayah atau ibu yang mudah tersinggung dengan sikap anaknya, karena si orang tua tidak menyadari bahwa jiwanya masih terjebak sebagai jiwa anak-anak. Maka yang terjadi adalah seringnya terjadi "pertengkaran" antara anak dengan orang tua.
"Pertengkaran" anak dengan orang tua itu digerakkan oleh ego bahwa orang tua adalah penentu masa depan anak dan baik-buruk kehidupan si anak. Relasi kuasa orang tua terhadap anak menemukan panggungnya untuk diekspresikan.
Dalam keadaan seperti ini, orang tua tidak sadar bahwa jiwanya sendiri bermasalah, sehingga harus disembuhkan agar menjadi layak menduduki "maqam" (posisi) sebagai orang tua. Orang tua juga tidak sadar bahwa dalam jiwa si anak ada ruh Ilahi yang berasal dari Mahasumber, sehingga harus dihormati.
Demikian juga dengan kondisi finansial yang dalam jiwa seseorang sudah terbentuk pemahaman bahwa "hidup itu susah". Informasi bahwa "hidup itu susah", diperoleh dari pola pengasuhan yang tidak disadari oleh orang tua terhadap anak. Misalnya, orang tua tidak sadar setiap saat bercerita tentang masalah keuangan yang sulit kepada atau di depan anak-anaknya.
Cerita itu, diam-diam masuk ke pikiran bawah sadar si anak yang kemudian dijadikan "pendasaran keyakinan" (illah) dalam kehidupan selanjutnya. Si anak, hingga dewasa hidupnya susah dan selalu sulit untuk mengakses keberlimpahan ekonomi.
"Jiwa Anda terjebak pada keadaan 'ilusi kemahasempurnaan' dari orang tua Anda. Ini tidak bermaksud menyalahkan orang tua Anda, tapi untuk menyelamatkan jiwa Anda sendiri ya," kata Prof A memberi pemahaman pada si ayah yang sedari tadi termenung dalam kelana pikiran ke masa kecilnya.
Kalau pola pengasuhan beserta dampaknya ini tidak disembuhkan, maka anak dari si ayah dan si ibu yang terjebak dalam rasa hidup yang susah akan terus berlanjut pada keturunan (generasi) berikutnya.
Terkait anak sebagai cermin dari jiwa orang tuanya, kata Prof A, pada momen seperti itulah sebetulnya Tuhan hadir untuk "menyapa" si ayah atau si ibu di dalam keluarga. Di situlah perintah "iqra" (bacalah), dalam ayat pertama yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad Saw, menemukan makna sesungguhnya.
Si ayah mulai manggut-manggut di hadapan si profesor muda itu, seraya berucap, terima kasih, "alhamdulilah", yang kemudian dipungkasi dengan kata "shadaqallaahul 'adziim" (Maha benar Allah, dengan segala firman-NYA).
Tak lupa ia juga mengucapkan terima kasih kepada pada si anak bungsunya yang telah mewakili gejolak jiwa si ayah yang selama ini belum merdeka sebagai manusia. Lebih tepatnya belum menduduki maqam spiritual "manusia seutuhnya".
Sebagai praktisi tasawuf, Prof A kemudian mengajak si ayah untuk mengenali kehadiran Tuhan lewat interaksi atau perilaku anaknya dan kejadian-kejadian lain di keseharian.
"Coba selalu rasakan dan temukan bahwa Tuhan sedang 'hadir' untuk dikenali lewat sikap-sikap anak. Dari pengalaman saya dengan anak saya, ketika terus disadari ada 'kehadiran' Tuhan di setiap momen, maka lambat laun dan pasti, sikap anak berubah. Ketika jiwa Anda merdeka dari beban luka batin, maka anak tidak lagi memikul beban untuk mengekspresikan jiwa Anda. Merdeka jiwa Anda, maka semua di sekitar kita akan berubah," kata Prof A.
Si ayah semakin tersadar dan kembali berterima kasih pada si anak bungsunya. Meskipun tidak diucapkan di depan si anak, energi terima kasih itu merambat ke relung batin anak bungsunya.
Ia juga tersentak dengan ungkapan Prof A bahwa di semua keadaan atau kejadian, sejatinya ada ayat-ayat Tuhan untuk menuntun kita kembali pada-Nya atau selalu mengingat-Nya.
Profesor yang spiritualis itu kemudian mengingatkan si ayah tentang Ayat 125 Surat Al Baqarah, yang artinya, "Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap, di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui".
Meskipun penelusuran ke dalam diri ini bisa dilakukan oleh semua orang lewat proses kontemplasi, Prof A menyarankan orang untuk mencari mentor ahli, sehingga betul-betul bisa merdeka dari jerat luka batin itu.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2023