Sejumlah kiai dan pengasuh pondok pesantren di eks wilayah Mataraman mulai dari Nganjuk, Kediri, Tulungagung, Blitar dan Trenggalek menggelar diskusi demokrasi tentang pendidikan pemilih di kalangan santri agar mereka lebih "melek" politik dan bisa menggunakan hak pilihnya yang tepat pada gelaran Pemilu 2024.

Digelar di aula Ponpes Hidayah Al-Falah, Desa Trenceng Tulungagung, Sabtu, puluhan kiai, gus hingga santri mengikuti diskusi demokrasi tersebut. 

Diskusi itu lebih banyak me-review dinamika politik menjelang gelaran pilpres, mulai dari polemik putusan Mahkamah Konstitusi terkait batasan usia capres-cawapres, netralitas ASN (aparatur sipil negara dan APH (aparat penegak hukum) , serta peranan atau kontribusi kalangan pondok pesantren dalam ikut mewarnai perkembangan demokrasi di Tanah Air. 

"Jadi kami ingin agar para santri ini tidak sekadar ikut-ikutan, tetapi memang ada upaya pendekatan ilmiah. Tentunya harus tahu kriteria calon yang akan dipilih atau sejarah rekam jejak seseorang yang akan dipilih," kata salah satu pengasuh Ponpes Hidayah Al Falah Trenceng, Agus M Alwi Hasan dikonfirmasi usai kegiatan.

Dosen Universitas Islam Kadiri (UNISKA) Moch Wakhid Hasyim yang hadir menjadi pemateri utama  memberikan pengertian terkait simpang siur putusan MK. 

Namun secara hukum, kata dia, hasil putusan MK harus dipahami tetap sah dan legal. 

Pasalnya, mengacu pada amanah konstitusi di UU pasal 24 ayat 1 menyatakan bahwa MK itu pengadilan tingkat pertama dan terakhir, sehingga tidak ada upaya hukum yang lain. 

Dengan begitu, apapun produk hukum yang dihasilkan dari hasil putusan MK sudah dianggap final dan mengikat.

Pewarta: Destyan H. Sujarwoko

Editor : Fiqih Arfani


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2023