Kupang - Sejumlah nelayan di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) terserang penyakit "aneh" berupa peradangan kulit dan pembengkakan di leher dan tangan setelah menyelam mencari teripang dan ikan dasar di wilayah perairan Laut Timor. "Saya sempat melihat para nelayan tersebut, dan mengajurkan kepada mereka untuk berobat ke dokter spesialis kulit dan penyakit dalam, sekaligus melakukan pemeriksaan di laboratorium guna mengetahui sebab penyakit tersebut," kata Ketua Tim Dokter dari Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) dr Hermanus Man di Kupang, Rabu. YPTB pimpinan Ferdi Tanoni ini merupakan satu-satunya lembaga non-pemerintah di Indonesia yang mengajukan pengaduan kepada Komisi Penyelidik Montara bentukan pemerintah Australia, terkait dengan pencemaran minyak di Laut Timor akibat meledaknya sumur minyak Montara di Blok Atlas Barat Laut Timor pada 21 Agustus 2009. Hermanus Man mengaku selama menjalankan tugas dan profesinya sebagai seorang dokter, dirinya baru pertama kali menemukan model penyakit yang dialami para nelayan Kupang tersebut, sehingga menyebutnya sebagai penyakit "aneh". "Atas dasar itu, saya menganjurkan mereka untuk berobat ke dokter spesialis, sekaligus melakukan pemeriksaan di laboratorium untuk mengetahui virus penyakit yang menyerang tubuh mereka," ucap mantan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Kupang dan mantan Direktur RSUD TC Hillers Maumere di Kabupaten Sikka, Pulau Flores. Ketika ditanya soal dampak dari pencemaran minyak di Laut Timor serta zat beracun dispersant jenis "Corexit 9500" yang digunakan oleh Otorita Keselamatan Maritim Australia (AMSA) untuk menemgelamkan tumpahan minyak ke dasar laut, sehingga membawa dampak buruk terhadap kesehatan manusia, Hermanus Man memilih untuk tidak menjawabnya. "Saya akan menjawabnya, jika sudah ada hasil analisis secara ilmiah melalui laboratorium terhadap para nelayan yang terkena penyakit aneh setelah menyelam di Laut Timor untuk mencari ikan dasar dan teripang," ujarnya, menegaskan. Ketua YPTB yang juga pemerhati masalah Laut Timor Ferdi Tanoni telah memotret sekitar empat nelayan asal Kupang yang terkena penyakit "aneh" tersebut, ketika bersama dr Hermanus Man mengunjungi para nelayan tersebut di perkampungan nelayan Oesapa, Kupang. Foto-foto tersebut telah disebarkan ke sejumlah media di dalam negeri dan beberapa media terkenal di Australia serta pejabat-pejabat terkait di Indonesia dan Australia. Tanoni yang juga mantan agen Imigrasi Kedubes Australia itu menduga, penyakit "aneh" yang menyerang para nelayan Kupang itu akibat tingginya zat beracun dispersant jenis Corexit 9500 yang disemprotkan AMSA untuk menemgelamkan tumpahan minyak Montara ke dasar Laut Timor. Ia mengemukakan ini mengacu pada tragedi tumpahan minyak di Laut Alaska pada 1989, di mana penyakit "aneh" yang sebelumnya tidak pernah ada, menyerang masyarakat setempat beberapa tahun kemudian setelah tragedi Exxon Valdes itu. "Antara Alaska dan Laut Timor memiliki kemiripan, tetapi hal itu memang membutuhkan adanya penelitian ilmiah seperti yang dikatakan dr Hermanus Man," tutur penulis buku "Skandal Laut Timor, Sebuah Barter Ekonomi Politik Canberra-Jakarta" itu. Sebelumnya, Tanoni juga sempat menunjukkan foto bawah laut hasil olahan para ahli dari Institut Teknologi 10 November (ITS) Surabaya, tentang kehancuran terumbu karang di dasar Laut Timor pasca-tragedi Montara. Ia mengatakan zat beracun dispersant jenis Corexit 9500 yang digunakan AMSA untuk menemgelamkan tumpahan minyak ke dasar laut itu berjumlah ratusan ribu bahkan jutaan liter, sehingga tidak mengherankan jika kemudian membawa dampak buruk terhadap kesehatan manusia serta rusaknya terumbu karang di dasar Laut Timor. Sejak awal terjadinya petaka Montara, yayasan yang dipimpinnya berulang kali meminta Pemerintah Indonesia dan Australia untuk melakukan sebuah penelitian ilmiah yang patut, menyeluruh, kredibel, komprehensif, transparan dan independen terhadap dampak petaka Montara di Laut Timor. Penelitian tersebut meliputi tiga bidang utama yakni dampaknya terhadap kehidupan sosial masyarakat, kesehatan masyarakat dan lingkungan. "Kami terus berteriak meminta hal itu, namun Jakarta dan Canberra sampai saat ini masih terus membisu. Sampai kapankah Canberra dan Jakarta membisu dan membiarkan masyarakat Timor Barat dan kepulauan sekitarnya di NTT terus menjadi korban?" katanya dalam nada tanya.(*)

Pewarta:

Editor : Chandra Hamdani Noer


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2011