Legislator dari Komisi IV DPR RI Firman Soebagyo menyatakan kelapa sawit sebagai komoditas Indonesia unggulan dan penghasil devisa yang cukup besar, sehingga pemerintah atau negara perlu hadir dengan menerbitkan Undang-undang Komoditas Strategis.
"Devisa dari komoditas kelapa sawit ini sebesar Rp600 triliun, sehingga sangat patut mendapatkan perhatian dan perlindungan hukum melalui penerbitan Undang-Undang khusus komoditas strategis," kata Anggota Komisi IV DPR RI Firman pada seminar bertajuk "Peluang dan Tantangan Sawit Sebagai Industri Strategis Penjaga Ketahanan Pangan dan Energi" yang digelar Ikatan Alumni Universitas Brawijaya (UB) di Malang, Kamis.
Menurut Firman, Indonesia sangat perlu menerbitkan Undang-Undang tentang Komoditas Strategis sebagai upaya menjaga ketersediaan pangan dan energi, sekaligus tulang punggung perekonomian nasional.
Lebih lanjut Firman mengatakan Indonesia patut meniru beberapa negara lain dalam melindungi produk unggulan dan strategis mereka. Misalnya, Turki memiliki UU perlindungan tembakau, Jepang untuk komoditas beras, Amerika Serikat melindungi komoditas kedelai, kapas, jagung, dan gandum.
"Bahkan Malaysia telah lama memiliki lembaga khusus sebagai pengelola kelapa sawit secara komprehensif," ujarnya.
Baca juga: UB perkuat kerja sama penelitian pertanian tropis
Sementara itu Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis UB, Abdul Ghofar mengemukakan kelapa sawit merupakan tanaman penghasil minyak paling produktif dibanding minyak nabati lainnya.
"Dari luas area untuk perkebunan tanaman penghasil minyak nabati, kelapa sawit hanya menggunakan 10 persen saja. Namun, produksi kepala sawit mencapai 39 persen dari total produksi minyak nabati dunia," ucapnya.
Hingga 2022, katanya, perkebunan kelapa sawit dunia seluas 24,259 juta hektare dan perkebunan kedelai seluas 132,8 juta hektare. Sedangkan rasio produksi minyak yang dihasilkan kelapa sawit sebesar 3,2 ton/hektare dibanding kedelai yang hanya 0,5 ton/hektare.
Dari data perbandingan tersebut, lanjutnya, tidaklah adil jika menuduh perkebunan kelapa sawit sebagai pelaku utama deforestasi. "Justru kelapa sawit bisa menjadi jawaban untuk mengurangi emisi karbon. Pohon sawit disebut-sebut mampu menyerap karbon maksimal dibandingkan pohon jenis lain," ucapnya.
Menurut dia, kelapa sawit berperan penting dalam memastikan pemenuhan kebutuhan pangan dan energi. Kunci utama kedaulatan sebuah negara adalah ketersediaan pangan dan energi bagi rakyat dan bangsanya.
"Tanpa ada kepastian ketersediaan pangan dan energi, negara tersebut sangat tergantung pada negara lain dan rentan akan kedaulatanya," kata Abdul Ghofar.
Selain menghadirkan Dekan FEB UB dan anggota Komisi IV DPR RI, narasumber dalam seminar tersebut, juga menghadirkan perwakilan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Ahmad Maulizal Sutawijaya, dan Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Eddy Martono.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2023
"Devisa dari komoditas kelapa sawit ini sebesar Rp600 triliun, sehingga sangat patut mendapatkan perhatian dan perlindungan hukum melalui penerbitan Undang-Undang khusus komoditas strategis," kata Anggota Komisi IV DPR RI Firman pada seminar bertajuk "Peluang dan Tantangan Sawit Sebagai Industri Strategis Penjaga Ketahanan Pangan dan Energi" yang digelar Ikatan Alumni Universitas Brawijaya (UB) di Malang, Kamis.
Menurut Firman, Indonesia sangat perlu menerbitkan Undang-Undang tentang Komoditas Strategis sebagai upaya menjaga ketersediaan pangan dan energi, sekaligus tulang punggung perekonomian nasional.
Lebih lanjut Firman mengatakan Indonesia patut meniru beberapa negara lain dalam melindungi produk unggulan dan strategis mereka. Misalnya, Turki memiliki UU perlindungan tembakau, Jepang untuk komoditas beras, Amerika Serikat melindungi komoditas kedelai, kapas, jagung, dan gandum.
"Bahkan Malaysia telah lama memiliki lembaga khusus sebagai pengelola kelapa sawit secara komprehensif," ujarnya.
Baca juga: UB perkuat kerja sama penelitian pertanian tropis
Sementara itu Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis UB, Abdul Ghofar mengemukakan kelapa sawit merupakan tanaman penghasil minyak paling produktif dibanding minyak nabati lainnya.
"Dari luas area untuk perkebunan tanaman penghasil minyak nabati, kelapa sawit hanya menggunakan 10 persen saja. Namun, produksi kepala sawit mencapai 39 persen dari total produksi minyak nabati dunia," ucapnya.
Hingga 2022, katanya, perkebunan kelapa sawit dunia seluas 24,259 juta hektare dan perkebunan kedelai seluas 132,8 juta hektare. Sedangkan rasio produksi minyak yang dihasilkan kelapa sawit sebesar 3,2 ton/hektare dibanding kedelai yang hanya 0,5 ton/hektare.
Dari data perbandingan tersebut, lanjutnya, tidaklah adil jika menuduh perkebunan kelapa sawit sebagai pelaku utama deforestasi. "Justru kelapa sawit bisa menjadi jawaban untuk mengurangi emisi karbon. Pohon sawit disebut-sebut mampu menyerap karbon maksimal dibandingkan pohon jenis lain," ucapnya.
Menurut dia, kelapa sawit berperan penting dalam memastikan pemenuhan kebutuhan pangan dan energi. Kunci utama kedaulatan sebuah negara adalah ketersediaan pangan dan energi bagi rakyat dan bangsanya.
"Tanpa ada kepastian ketersediaan pangan dan energi, negara tersebut sangat tergantung pada negara lain dan rentan akan kedaulatanya," kata Abdul Ghofar.
Selain menghadirkan Dekan FEB UB dan anggota Komisi IV DPR RI, narasumber dalam seminar tersebut, juga menghadirkan perwakilan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Ahmad Maulizal Sutawijaya, dan Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Eddy Martono.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2023