Keluarga Bripda Ignatius Dwi Frisco Sirage atau Bripda IDF (20) mengaku kecewa dengan pernyataan polisi yang menyebutkan bahwa penyebab putranya tewas karena faktor kelalaian.
"Saya sudah komunikasi dengan keluarga bahwa beliau menyampaikan kekecewaannya terhadap pernyataan dari Direskrimum Polda Jabar yang mengatakan karena unsur-unsur kelalaian," kata kuasa hukum keluarga Bripda IDF, Jajang, dalam keterangannya di Bogor, Jawa Barat, Rabu.
Jajang menyebutkan bahwa keluarga Bripda IDF bersikukuh menduga peristiwa penembakan yang terjadi pada hari Minggu (23/7) di Rusun Polri, Cikeas, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, merupakan unsur kesengajaan dan terencana.
Dalam gelar perkara yang dilakukan Polres Bogor, Selasa (1/8), ada hal-hal yang merujuk pada unsur kesengajaan dan terencana, yakni adanya senjata api yang sudah disiapkan di dalam tas tersangka.
"Pelaku IMS yang meminta korban IDF melalui telepon milik saksi AN dengan nada kasar 'sini kau'," kata Jajang.
Menurut dia, keberadaan senjata api rakitan tersebut di lingkungan Polri tak dapat terbantahkan oleh tim penyidik.
Mengenai temuan dua botol minuman keras, pihak keluarga belum mendapatkan penjelasan secara perinci dari penyidik mengenai asal mulanya.
"Dari mana berasal? Dibeli di mana? Apakah pelaku dalam keadaan mabuk? Apakah boleh anggota Densus 88 Antiteror berprilaku buruk seperti itu?" ujarnya.
Ia mengungkapkan bahwa ada bukti bahwa Bripda IDF sudah terintimidasi sejak awal tahun 2023 oleh seniornya tersebut.
Sebelumnya, Direskrimum Polda Jawa Barat Kombes Pol. Surawan saat konferensi pers di Mapolres Bogor, Selasa (1/8), menyebutkan bahwa dari fakta-fakta yang ada, peristiwa tersebut merupakan kelalaian yang dilakukan oleh tersangka sehingga menyebabkan senjata api meletus dan mengenai Bripda IDF.
Menurut dia, korban dan tersangka yang merupakan junior dan senior di Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri diketahui saling berhubungan baik.
"Dari percakapan terakhir, tersangka itu mengeluarkan senjata (dari tas), 'saya punya senjata' tak sengaja dia menarik pelatuk," papar Surawan.
Namun, kata dia, tersangka sudah membawa senjata api di dalam tasnya ketika masuk ke kamar tempat tertembaknya Bripda IDF.
"Tidak ada kesengajaan. Mungkin dia lupa SOP senjata dimasukkan dalam tas, tetapi sudah terkokang. Ketika senjata diangkat secara tidak sengaja pelatuk tertarik dan meletus," ujarnya.
Bripda IDF tewas tertembak akibat kelalaian rekan kerjanya yang memperlihatkan senjata api rakitan ilegal pada hari Minggu (23/7) di Rusun Polri, Cikeas, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Dua anggota Polri dari Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri ditetapkan sebagai tersangka, yakni Bripda IMS dan Bripka IG. Keduanya dinyatakan melanggar kode etik kategori pelanggaran berat serta tindak pidana Pasal 338.
Bripda IMS dikenai Pasal 338 atau Pasal 359 KUHP dan/atau Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1951. Untuk tersangka Bripka IG, dikenai Pasal 338 juncto Pasal 56 dan/atau Pasal 359 KUHP jo. Pasal 56 KUHP dan/atau Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951.
Keduanya terancam pidana hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup atau hukuman penjara sementara setinggi-tingginya 20 tahun.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2023
"Saya sudah komunikasi dengan keluarga bahwa beliau menyampaikan kekecewaannya terhadap pernyataan dari Direskrimum Polda Jabar yang mengatakan karena unsur-unsur kelalaian," kata kuasa hukum keluarga Bripda IDF, Jajang, dalam keterangannya di Bogor, Jawa Barat, Rabu.
Jajang menyebutkan bahwa keluarga Bripda IDF bersikukuh menduga peristiwa penembakan yang terjadi pada hari Minggu (23/7) di Rusun Polri, Cikeas, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, merupakan unsur kesengajaan dan terencana.
Dalam gelar perkara yang dilakukan Polres Bogor, Selasa (1/8), ada hal-hal yang merujuk pada unsur kesengajaan dan terencana, yakni adanya senjata api yang sudah disiapkan di dalam tas tersangka.
"Pelaku IMS yang meminta korban IDF melalui telepon milik saksi AN dengan nada kasar 'sini kau'," kata Jajang.
Menurut dia, keberadaan senjata api rakitan tersebut di lingkungan Polri tak dapat terbantahkan oleh tim penyidik.
Mengenai temuan dua botol minuman keras, pihak keluarga belum mendapatkan penjelasan secara perinci dari penyidik mengenai asal mulanya.
"Dari mana berasal? Dibeli di mana? Apakah pelaku dalam keadaan mabuk? Apakah boleh anggota Densus 88 Antiteror berprilaku buruk seperti itu?" ujarnya.
Ia mengungkapkan bahwa ada bukti bahwa Bripda IDF sudah terintimidasi sejak awal tahun 2023 oleh seniornya tersebut.
Sebelumnya, Direskrimum Polda Jawa Barat Kombes Pol. Surawan saat konferensi pers di Mapolres Bogor, Selasa (1/8), menyebutkan bahwa dari fakta-fakta yang ada, peristiwa tersebut merupakan kelalaian yang dilakukan oleh tersangka sehingga menyebabkan senjata api meletus dan mengenai Bripda IDF.
Menurut dia, korban dan tersangka yang merupakan junior dan senior di Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri diketahui saling berhubungan baik.
"Dari percakapan terakhir, tersangka itu mengeluarkan senjata (dari tas), 'saya punya senjata' tak sengaja dia menarik pelatuk," papar Surawan.
Namun, kata dia, tersangka sudah membawa senjata api di dalam tasnya ketika masuk ke kamar tempat tertembaknya Bripda IDF.
"Tidak ada kesengajaan. Mungkin dia lupa SOP senjata dimasukkan dalam tas, tetapi sudah terkokang. Ketika senjata diangkat secara tidak sengaja pelatuk tertarik dan meletus," ujarnya.
Bripda IDF tewas tertembak akibat kelalaian rekan kerjanya yang memperlihatkan senjata api rakitan ilegal pada hari Minggu (23/7) di Rusun Polri, Cikeas, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Dua anggota Polri dari Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri ditetapkan sebagai tersangka, yakni Bripda IMS dan Bripka IG. Keduanya dinyatakan melanggar kode etik kategori pelanggaran berat serta tindak pidana Pasal 338.
Bripda IMS dikenai Pasal 338 atau Pasal 359 KUHP dan/atau Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1951. Untuk tersangka Bripka IG, dikenai Pasal 338 juncto Pasal 56 dan/atau Pasal 359 KUHP jo. Pasal 56 KUHP dan/atau Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951.
Keduanya terancam pidana hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup atau hukuman penjara sementara setinggi-tingginya 20 tahun.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2023