Pimpinan DPRD Kota Surabaya menyatakan untuk mengatasi masih adanya kasus putus sekolah di Kota Pahlawan, Jawa Timur, harus dilakukan dari hulu ke hilir.
"Jika ada anak Surabaya pada tanggal 17 Juli belum bisa masuk sekolah, baik SD, SMP, SMA/SMK karena biaya, saya selaku Pimpinan DPRD Surabaya akan mengunjungi rumahnya. Tugas kami sebagai unsur penyelenggara pemerintah daerah menjamin pendidikan wajib belajar 12 tahun," kata Wakil Ketua DPRD Surabaya Reni Astuti di Surabaya, Selasa.
Reni mengaku prihatin Kota Surabaya yang merupakan kota terbesar nomor dua se-Indonesia, namun di era modernisasi masih ada anak yang putus sekolah karena faktor biaya. Hal ini yang membuat Reni terenyuh melihat anak yang putus sekolah di Surabaya.
Reni mengaku sudah mengunjungi anak di Jalan Lontar RT 1 RW 2 Gang Makam, Sambikerep, Surabaya yang sudah dua tahun tidak mengenyam pendidikan. Reni tak kuasa menahan tangis ketika melihat kehidupan yang serba terbatas dialami keluarga tersebut.
"Ya ada laporan dari warga terkait anak putus sekolah karena kondisi ekonomi. Padahal, anak tersebut harusnya sudah kelas XII (SMA kelas 3)," kata Reni.
Reni sebelumnya juga sempat mendatangi keluarga Choirul-Yuyun di Jalan Bulak Rukem Timur II No 14-B Surabaya pada Juni. Keempat anak Choirul-Yuyun putus sekolah karena faktor kemiskinan. Reni melihat kondisi rumah yang hanya 2x3 meter, hanya satu petak untuk ruang tamu, tempat tidur, dan dapur.
Melihat kondisi anak yang putus sekolah di kota metropolis membuat Reni khawatir masih banyak anak di Surabaya yang putus sekolah lantaran tak mempunyai biaya. Apalagi, pada penerimaan peserta didik baru (PPDB) daya tampung sekolah negeri di Surabaya terbatas. Misalnya, lulusan SD terdapat 40.000 siswa, sementara daya tampung SMP Negeri hanya 20.000.
"Di Kota yang sebesar dan semaju ini, masih saja ada anak putus sekolah. Sesuai amanah konstitusi UUD 1945 bahwa fakir miskin dan anak telantar dipelihara negara," kata Reni.
Ia juga meminta semua kelurahan untuk aktif dengan menjemput bola saat mendata warga yang miskin. Karena Surabaya harus zero terhadap anak-anak yang putus sekolah, itu harus terwujud.
"Terlebih, Kota Surabaya memiliki visi besar, yakni Gotong Royong menuju Surabaya Kota Dunia yang Maju, Humanis, dan Berkelanjutan. Dengan visi besar itu, jika masih ada anak putus sekolah, sangat ironis. Itu tentu tidak humanis," ujarnya.
Pada kesempatan itu, Reni menjelaskan pendidikan menjadi amanah Undang-Undang Dasar dan Kota Surabaya mempunyai Perda Nomor 16 tahun 2012 tentang penyelenggaraan pendidikan di Surabaya yang wajib belajar 12 tahun.
Lewat perda itu, Pemkot Surabaya memiliki kewajiban untuk memperhatikan pendidikan anak-anak. Meski tingkat SMA dan SMK dikelola Pemprov Jawa Timur, Pemkot Surabaya masih punya tanggung jawab.
Reni mendorong pemkot untuk segera berkoordinasi dengan Pemprov Jatim agar bisa memastikan anak-anak di Surabaya mendapat pendidikan berkualitas. Jangan sampai ada berita tentang pemkot membantu siswa yang ijazahnya ditahan, siswa yang tidak bisa ikut ujian, atau tidak bisa ambil rapor. Itu semua, merupakan hilir. Pemkot harus bisa mengatasi masalah di hulunya.
"Harus ada sistem untuk memperbaiki hulu. Kalau di Surabaya ada kategori pramiskin, miskin, dan miskin esktrem. Sebenarnya lewat kategori itu, Pemkot sudah bisa memantau warga miskin yang anaknya masuk SMP atau SMA. Untuk hal ini, pejabat daerah atau kelurahan harus proaktif melihat warganya. Didata siapa yang kesulitan, lalu dikoordinasikan dengan Pemkot," katanya.
Sampai saat ini data demografi penduduk Surabaya yang produktif mencapai 70 persen, sedangkan yang non-produktif 30 persen. Oleh karena itu, Reni meminta Pemkot Surabaya untuk segera memenuhi kebutuhan dasar, yakni pendidikan.
Meski demikian, Reni mengakui bahwa pemkot sudah menunjukkan atensinya pada siswa tingkat SMA atau SMK. Mereka yang berasal dari keluarga miskin, diberikan bantuan beasiswa Pemuda Tangguh. Pemkot menyalurkan bantuan Rp200 ribu per bulan serta seragam dan sepatu. Bantuan itu berasal dari APBD Kota Surabaya.
"Tapi, kalau untuk sekolah swasta masih ada biaya lain yang tidak bisa tercukupi dengan bantuan Rp200 ribu itu. Hal inilah yang menyulitkan warga miskin untuk bisa memberikan pendidikan berkualitas pada anak-anaknya," kata Reni.
Sedangkan data kemiskinan ekstrem saat ini mencapai 23.530 orang, 219.427 orang masuk daftar miskin dan 248.299 orang masuk dalam pra-miskin. Adanya anak putus sekolah itu juga bisa menjadi ancaman bagi masa depan keluarga.
Mendapati hal itu, Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi mengajak istrinya yang juga Ketua TP PKK Surabaya Rini Indriyani beserta sejumlah pejabat di lingkungan Pemkot Surabaya untuk mendatangi langsung rumah keluarga Choirul-Yuyun yang empat anaknya putus sekolah di Jalan Bulak Rukem Timur II No 14-B Surabaya akhir Juni lalu.
Kedatangan mereka tidak lain memberikan motivasi dan semangat kepada anak-anak Choirul agar mau kembali sekolah sekaligus Pemkot Surabaya memberikan intervensi kepada keluarga tersebut.
Adapun intervensi yang diberikan berupa beasiswa sekolah, pekerjaan untuk bapaknya, dua unit sepeda buat anaknya, lemari, kasur, paket sembako hingga beras. Tak hanya itu, kondisi rumah keluarga Choirul yang memprihatinkan juga tidak luput dari usulan perbaikan.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Pimpinan DPRD Surabaya: Atasi putus sekolah harus dari hulu ke hilir
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2023
"Jika ada anak Surabaya pada tanggal 17 Juli belum bisa masuk sekolah, baik SD, SMP, SMA/SMK karena biaya, saya selaku Pimpinan DPRD Surabaya akan mengunjungi rumahnya. Tugas kami sebagai unsur penyelenggara pemerintah daerah menjamin pendidikan wajib belajar 12 tahun," kata Wakil Ketua DPRD Surabaya Reni Astuti di Surabaya, Selasa.
Reni mengaku prihatin Kota Surabaya yang merupakan kota terbesar nomor dua se-Indonesia, namun di era modernisasi masih ada anak yang putus sekolah karena faktor biaya. Hal ini yang membuat Reni terenyuh melihat anak yang putus sekolah di Surabaya.
Reni mengaku sudah mengunjungi anak di Jalan Lontar RT 1 RW 2 Gang Makam, Sambikerep, Surabaya yang sudah dua tahun tidak mengenyam pendidikan. Reni tak kuasa menahan tangis ketika melihat kehidupan yang serba terbatas dialami keluarga tersebut.
"Ya ada laporan dari warga terkait anak putus sekolah karena kondisi ekonomi. Padahal, anak tersebut harusnya sudah kelas XII (SMA kelas 3)," kata Reni.
Reni sebelumnya juga sempat mendatangi keluarga Choirul-Yuyun di Jalan Bulak Rukem Timur II No 14-B Surabaya pada Juni. Keempat anak Choirul-Yuyun putus sekolah karena faktor kemiskinan. Reni melihat kondisi rumah yang hanya 2x3 meter, hanya satu petak untuk ruang tamu, tempat tidur, dan dapur.
Melihat kondisi anak yang putus sekolah di kota metropolis membuat Reni khawatir masih banyak anak di Surabaya yang putus sekolah lantaran tak mempunyai biaya. Apalagi, pada penerimaan peserta didik baru (PPDB) daya tampung sekolah negeri di Surabaya terbatas. Misalnya, lulusan SD terdapat 40.000 siswa, sementara daya tampung SMP Negeri hanya 20.000.
"Di Kota yang sebesar dan semaju ini, masih saja ada anak putus sekolah. Sesuai amanah konstitusi UUD 1945 bahwa fakir miskin dan anak telantar dipelihara negara," kata Reni.
Ia juga meminta semua kelurahan untuk aktif dengan menjemput bola saat mendata warga yang miskin. Karena Surabaya harus zero terhadap anak-anak yang putus sekolah, itu harus terwujud.
"Terlebih, Kota Surabaya memiliki visi besar, yakni Gotong Royong menuju Surabaya Kota Dunia yang Maju, Humanis, dan Berkelanjutan. Dengan visi besar itu, jika masih ada anak putus sekolah, sangat ironis. Itu tentu tidak humanis," ujarnya.
Pada kesempatan itu, Reni menjelaskan pendidikan menjadi amanah Undang-Undang Dasar dan Kota Surabaya mempunyai Perda Nomor 16 tahun 2012 tentang penyelenggaraan pendidikan di Surabaya yang wajib belajar 12 tahun.
Lewat perda itu, Pemkot Surabaya memiliki kewajiban untuk memperhatikan pendidikan anak-anak. Meski tingkat SMA dan SMK dikelola Pemprov Jawa Timur, Pemkot Surabaya masih punya tanggung jawab.
Reni mendorong pemkot untuk segera berkoordinasi dengan Pemprov Jatim agar bisa memastikan anak-anak di Surabaya mendapat pendidikan berkualitas. Jangan sampai ada berita tentang pemkot membantu siswa yang ijazahnya ditahan, siswa yang tidak bisa ikut ujian, atau tidak bisa ambil rapor. Itu semua, merupakan hilir. Pemkot harus bisa mengatasi masalah di hulunya.
"Harus ada sistem untuk memperbaiki hulu. Kalau di Surabaya ada kategori pramiskin, miskin, dan miskin esktrem. Sebenarnya lewat kategori itu, Pemkot sudah bisa memantau warga miskin yang anaknya masuk SMP atau SMA. Untuk hal ini, pejabat daerah atau kelurahan harus proaktif melihat warganya. Didata siapa yang kesulitan, lalu dikoordinasikan dengan Pemkot," katanya.
Sampai saat ini data demografi penduduk Surabaya yang produktif mencapai 70 persen, sedangkan yang non-produktif 30 persen. Oleh karena itu, Reni meminta Pemkot Surabaya untuk segera memenuhi kebutuhan dasar, yakni pendidikan.
Meski demikian, Reni mengakui bahwa pemkot sudah menunjukkan atensinya pada siswa tingkat SMA atau SMK. Mereka yang berasal dari keluarga miskin, diberikan bantuan beasiswa Pemuda Tangguh. Pemkot menyalurkan bantuan Rp200 ribu per bulan serta seragam dan sepatu. Bantuan itu berasal dari APBD Kota Surabaya.
"Tapi, kalau untuk sekolah swasta masih ada biaya lain yang tidak bisa tercukupi dengan bantuan Rp200 ribu itu. Hal inilah yang menyulitkan warga miskin untuk bisa memberikan pendidikan berkualitas pada anak-anaknya," kata Reni.
Sedangkan data kemiskinan ekstrem saat ini mencapai 23.530 orang, 219.427 orang masuk daftar miskin dan 248.299 orang masuk dalam pra-miskin. Adanya anak putus sekolah itu juga bisa menjadi ancaman bagi masa depan keluarga.
Mendapati hal itu, Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi mengajak istrinya yang juga Ketua TP PKK Surabaya Rini Indriyani beserta sejumlah pejabat di lingkungan Pemkot Surabaya untuk mendatangi langsung rumah keluarga Choirul-Yuyun yang empat anaknya putus sekolah di Jalan Bulak Rukem Timur II No 14-B Surabaya akhir Juni lalu.
Kedatangan mereka tidak lain memberikan motivasi dan semangat kepada anak-anak Choirul agar mau kembali sekolah sekaligus Pemkot Surabaya memberikan intervensi kepada keluarga tersebut.
Adapun intervensi yang diberikan berupa beasiswa sekolah, pekerjaan untuk bapaknya, dua unit sepeda buat anaknya, lemari, kasur, paket sembako hingga beras. Tak hanya itu, kondisi rumah keluarga Choirul yang memprihatinkan juga tidak luput dari usulan perbaikan.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Pimpinan DPRD Surabaya: Atasi putus sekolah harus dari hulu ke hilir
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2023