Cuaca cerah dan terik sinar Matahari menghiasi langit Kota Sacheon, Provinsi Gyeongsang, Korea Selatan, siang itu, cuaca yang ideal untuk menerbangkan pesawat.
Sekitar pukul 14.00, rombongan peserta Indonesian Next Generation Journalist on Korea tiba di markas Korea Aerospace Industries (KAI), Jumat (2/6). Tidak sampai 10 menit setelah kedatangan, tuan rumah memberi tahu bahwa sebentar lagi akan ada uji terbang purwarupa KF-21 Boramae Nomor 4.
Di hanggar itu, tersimpan dua pesawat KF-21 Boramae, yakni Nomor 4 dan Nomor 5. Jet tempur KF-21 Boramae Nomor 4 perlahan keluar dari hanggar, kemudian mengitari pangkalan udara.
Dua pilot yang berada di cockpit melambaikan tangan kepada orang-orang yang menonton di sekitar pangkalan udara, yang dibalas dengan lambaian tangan yang tidak kalah antusias dari para jurnalis, yang baru pertama kali melihat langsung KF-21 Boramae.
Demi kerahasiaan dan keamanan, orang-orang yang melihat langsung uji terbang KF-21 Boramae di Sacheon siang itu tidak diizinkan mengambil gambar dan merekam video.
Senior Manager and Chief KFX Joint Development Management Team KAI Lee Sung-il mengatakan siang itu Letnan Kolonel Pnb. Ferrel "Venom" Rigonald dari TNI Angkatan Udara yang berada di balik kemudi KF-21 Boramae. Dia terbang tandem bersama salah seorang pilot dari Korea Selatan.
"Untuk uji coba (hingga saat ini), ada dua pilot dari Indonesia," kata Lee.
Pertengahan Mei lalu, Kolonel Pnb. Muhammad "Mammoth" Sugiyanto dari TNI AU berhasil menerbangkan purwarupa pesawat KF-21 Boramae di lokasi yang sama.
Di badan pesawat KF-21 Boramae Nomor 4 yang berwarna abu-abu itu, di bawah kokpit, terdapat gambar bendera Indonesia dan Korea Selatan, yang menjadi simbol proyek kerja sama kedua negara dalam pembuatan jet tempur tersebut.
Tidak lama setelah keluar dari hangar dan mengitari landasan, gemuruh suara mesin terdengar semakin keras. Boramae, sang Elang Tempur, pun lepas landas ke langit Sacheon, siang itu.
Manfaat ekonomi untuk Indonesia
Pengembangan KF-21 Boramae saat ini berada pada tahap engineering and manufacturing development (EDM), yang diperkirakan berlangsung hingga 2026. Setelah itu, jet tempur akan masuk ke tahap produksi massal.
Selain dua pilot, KAI mengatakan ada 28 insinyur dari PT Dirgantara Indonesia yang terlibat pada pengerjaan purwarupa jet tempur itu.
KAI menilai KF-21 Boramae bisa mendatangkan nilai ekonomi hingga miliaran dolar Amerika Serikat bagi Indonesia jika sudah masuk ke tahap produksi massal.
"Secara total ada dampak ekonomi sekitar 10 miliar dolar AS," kata Lee.
Lee mengutip laporan yang dilaporkan PwC pada 2023, produksi massal KF-21 Boramae bisa menyediakan sekitar 27.000 pekerjaan di Indonesia untuk produksi 48 unit jet tempur siluman itu.
Indonesia berencana membeli 48 unit KF-21 Boramae dalam program gabungan tersebut, sementara Korea Selatan membeli 120 unit.
Produksi KF-21 Boramae juga bisa memberikan efek terhadap bidang penerbangan dan sekitarnya senilai 1,9 miliar dolar AS, efek production inducement senilai 3,3 miliar dolar AS, nilai tambah 4,9 miliar dolar AS serta nilai tambah bruto 3,4 miliar dolar AS.
Total investasi untuk KF-21 Boramae adalah senilai 8,8 triliun won, atau sekitar Rp100 triliun dengan skema pembiayaan 60 persen dari pemerintah Korea Selatan, 20 persen KAI, dan 20 persen Pemerintah Indonesia.
Pertukaran teknologi
Indonesia beberapa kali bekerja sama dengan Korea Selatan pada bidang alat utama sistem pertahanan (alutsista), antara lain, kapal selam Changbogo dan kapal cepat rudal KRI Mandau untuk TNI Angkatan Laut serta pesawat latih ringan KT1-B, dan pesawat latih tempur Golden Eagle untuk TNI Angkatan Udara.
Korea Selatan juga pernah membeli sembilan unit pesawat CBN-235 untuk digunakan oleh Angkatan Udara mereka.
Setelah beberapa kali mengadakan kerja sama pengadaan alutsista, Indonesia dan Korea Selatan sepakat untuk bekerja sama untuk pengembangan jet tempur.
Proyek itu bermula dari nota kedua negara pada tahun 2009 yang menyatakan ketertarikan untuk mengembangkan pesawat tempur. Pada 2011, Kementerian Pertahanan Republik Indonesia dan Badan Akuisisi Pertahanan (DAPA) Kementerian Pertahanan Nasional Republik Korea menandatangani nota kesepahaman pengembangan jet tempur KFX/IFX.
Tahun 2014, pemerintah RI dan Korea Selatan menyepakati tahap EMD untuk KFX/IFX. Pada tahun yang sama, PT DI ditunjuk sebagai peserta industri dari Indonesia untuk proyek tersebut.
Tahun 2016, tahap EMD untuk jet tempur itu pun dimulai. Seiring dengan perkembangan program, jet tempur itu kemudian diberi nama KF-21 Boramae, jet tempur generasi 4,5 dengan kemampuan semi-stealth.
Kerja sama pengembangan KF-21 Boramae bisa dikatakan istimewa karena kedua negara bisa bertukar pengetahuan dan teknologi, tidak hanya jual-beli semata.
Riset dari IHS Janes tentang pasar KFX/IFX pada 2012 menunjukkan jumlah kebutuhan pesawat tempur yang dapat diserap di negara-negara yang termasuk prioritas, paling rendah sebanyak 160 unit dan paling tinggi 596 unit. Pada pasar prioritas menengah, peluang bagi KF-21 Boramae adalah 160-368 unit.
Editor: Achmad Zaenal M
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2023
Sekitar pukul 14.00, rombongan peserta Indonesian Next Generation Journalist on Korea tiba di markas Korea Aerospace Industries (KAI), Jumat (2/6). Tidak sampai 10 menit setelah kedatangan, tuan rumah memberi tahu bahwa sebentar lagi akan ada uji terbang purwarupa KF-21 Boramae Nomor 4.
Di hanggar itu, tersimpan dua pesawat KF-21 Boramae, yakni Nomor 4 dan Nomor 5. Jet tempur KF-21 Boramae Nomor 4 perlahan keluar dari hanggar, kemudian mengitari pangkalan udara.
Dua pilot yang berada di cockpit melambaikan tangan kepada orang-orang yang menonton di sekitar pangkalan udara, yang dibalas dengan lambaian tangan yang tidak kalah antusias dari para jurnalis, yang baru pertama kali melihat langsung KF-21 Boramae.
Demi kerahasiaan dan keamanan, orang-orang yang melihat langsung uji terbang KF-21 Boramae di Sacheon siang itu tidak diizinkan mengambil gambar dan merekam video.
Senior Manager and Chief KFX Joint Development Management Team KAI Lee Sung-il mengatakan siang itu Letnan Kolonel Pnb. Ferrel "Venom" Rigonald dari TNI Angkatan Udara yang berada di balik kemudi KF-21 Boramae. Dia terbang tandem bersama salah seorang pilot dari Korea Selatan.
"Untuk uji coba (hingga saat ini), ada dua pilot dari Indonesia," kata Lee.
Pertengahan Mei lalu, Kolonel Pnb. Muhammad "Mammoth" Sugiyanto dari TNI AU berhasil menerbangkan purwarupa pesawat KF-21 Boramae di lokasi yang sama.
Di badan pesawat KF-21 Boramae Nomor 4 yang berwarna abu-abu itu, di bawah kokpit, terdapat gambar bendera Indonesia dan Korea Selatan, yang menjadi simbol proyek kerja sama kedua negara dalam pembuatan jet tempur tersebut.
Tidak lama setelah keluar dari hangar dan mengitari landasan, gemuruh suara mesin terdengar semakin keras. Boramae, sang Elang Tempur, pun lepas landas ke langit Sacheon, siang itu.
Manfaat ekonomi untuk Indonesia
Pengembangan KF-21 Boramae saat ini berada pada tahap engineering and manufacturing development (EDM), yang diperkirakan berlangsung hingga 2026. Setelah itu, jet tempur akan masuk ke tahap produksi massal.
Selain dua pilot, KAI mengatakan ada 28 insinyur dari PT Dirgantara Indonesia yang terlibat pada pengerjaan purwarupa jet tempur itu.
KAI menilai KF-21 Boramae bisa mendatangkan nilai ekonomi hingga miliaran dolar Amerika Serikat bagi Indonesia jika sudah masuk ke tahap produksi massal.
"Secara total ada dampak ekonomi sekitar 10 miliar dolar AS," kata Lee.
Lee mengutip laporan yang dilaporkan PwC pada 2023, produksi massal KF-21 Boramae bisa menyediakan sekitar 27.000 pekerjaan di Indonesia untuk produksi 48 unit jet tempur siluman itu.
Indonesia berencana membeli 48 unit KF-21 Boramae dalam program gabungan tersebut, sementara Korea Selatan membeli 120 unit.
Produksi KF-21 Boramae juga bisa memberikan efek terhadap bidang penerbangan dan sekitarnya senilai 1,9 miliar dolar AS, efek production inducement senilai 3,3 miliar dolar AS, nilai tambah 4,9 miliar dolar AS serta nilai tambah bruto 3,4 miliar dolar AS.
Total investasi untuk KF-21 Boramae adalah senilai 8,8 triliun won, atau sekitar Rp100 triliun dengan skema pembiayaan 60 persen dari pemerintah Korea Selatan, 20 persen KAI, dan 20 persen Pemerintah Indonesia.
Pertukaran teknologi
Indonesia beberapa kali bekerja sama dengan Korea Selatan pada bidang alat utama sistem pertahanan (alutsista), antara lain, kapal selam Changbogo dan kapal cepat rudal KRI Mandau untuk TNI Angkatan Laut serta pesawat latih ringan KT1-B, dan pesawat latih tempur Golden Eagle untuk TNI Angkatan Udara.
Korea Selatan juga pernah membeli sembilan unit pesawat CBN-235 untuk digunakan oleh Angkatan Udara mereka.
Setelah beberapa kali mengadakan kerja sama pengadaan alutsista, Indonesia dan Korea Selatan sepakat untuk bekerja sama untuk pengembangan jet tempur.
Proyek itu bermula dari nota kedua negara pada tahun 2009 yang menyatakan ketertarikan untuk mengembangkan pesawat tempur. Pada 2011, Kementerian Pertahanan Republik Indonesia dan Badan Akuisisi Pertahanan (DAPA) Kementerian Pertahanan Nasional Republik Korea menandatangani nota kesepahaman pengembangan jet tempur KFX/IFX.
Tahun 2014, pemerintah RI dan Korea Selatan menyepakati tahap EMD untuk KFX/IFX. Pada tahun yang sama, PT DI ditunjuk sebagai peserta industri dari Indonesia untuk proyek tersebut.
Tahun 2016, tahap EMD untuk jet tempur itu pun dimulai. Seiring dengan perkembangan program, jet tempur itu kemudian diberi nama KF-21 Boramae, jet tempur generasi 4,5 dengan kemampuan semi-stealth.
Kerja sama pengembangan KF-21 Boramae bisa dikatakan istimewa karena kedua negara bisa bertukar pengetahuan dan teknologi, tidak hanya jual-beli semata.
Riset dari IHS Janes tentang pasar KFX/IFX pada 2012 menunjukkan jumlah kebutuhan pesawat tempur yang dapat diserap di negara-negara yang termasuk prioritas, paling rendah sebanyak 160 unit dan paling tinggi 596 unit. Pada pasar prioritas menengah, peluang bagi KF-21 Boramae adalah 160-368 unit.
Editor: Achmad Zaenal M
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2023