Surabaya - Puluhan pustakawan yang tergabung dalam Yayasan Pengembangan Perpustakaan Indonesia (YPPI) dan Forum Perpustakaan Perguruan Tinggi Indonesia (FPPTI) Jawa Timur membedah buku "The Key Word: Perpustakaan di Mata Masyarakat." "Buku itu berisi pandangan dari budayawan Gus Mus (KH Mustofa Bisri), Komaruddin Hidayat (cendekiawan Muslim), cerpenis, penulis buku anak-anak, pustakawan, dan sebagainya," kata editor buku 'Perpustakaan di Mata Masyarakat' itu, Labibah Zain MLIS, di Surabaya, Senin. Dalam bedah buku di aula Perpustakaan UK Petra Surabaya dengan pembanding Lan Fang (penulis novel), dosen Jurusan Ilmu Perpustakaan dan Informasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta itu menjelaskan buku itu bermula dari diskusi melalui "twitter" tentang rendahnya minat baca bangsa Indonesia. "Saya membantah pandangan tentang rendahnya minat baca bangsa Indonesia, karena saya kira minat baca bangsa Indonesia masih bagus, karena tukang becak saja suka baca koran, bahkan masyarakat kita di pantura Jawa dan Lombok masih suka baca buku yang sudah lusuh," katanya. Ia menilai minat baca bangsa Indonesia tidak rendah, tapi "dibuat" rendah akibat faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal antara lain dukungan pemerintah pada fasilitas perpustakaan dan buku yang belum maksimal. "Kalau buku nggak ada, apanya yang dibaca," katanya. Untuk faktor internal, katanya, terkait dengan kondisi pustakawan yang tidak inovatif, buku yang tersedia hanya "teksbook", dan bahasa buku yang terlalu teknis, apalagi lokasi perpustakaan yang berdekatan dengan toilet, sehingga keberadaan perpustakaan yang tidak menarik menjadi sempurna. "Kalau bukunya teksbook dan bahasanya susah dimengerti karena terlalu teknis, maka masyarakat tidak tertarik, tapi karena buku teksbook yang susah itu diwajibkan untuk bisa lulus ujian, maka masyarakat menjadi trauma dengan budaya baca, sehingga budaya baca menjadi tidak menyenangkan," katanya. Kondisi itu, kata penggagas "Blog Family" itu, diperparah dengan posisi kepala perpustakaan atau penjaga perpustakaan yang merupakan "orang-orang buangan" sehingga tidak heran bila kondisi perpustakaan saat ini masih menyedihkan. "Solusinya, fungsi perpustakaan harus dimaksimalkan untuk mendorong minat baca semakin besar, karena itu saya menggagas buku tentang perpustakaan yang berisi pandangan banyak pihak, melakukan gerakan sobat perpustakaan dan gerakan kumpul buku," katanya. Bahkan, katanya, 60 persen hasil penjualan buku yang dipromosikan lewat blogfam.com dan halamanmoeka.com itu akan disumbangkan untuk membantu koleksi buku pada sejumlah perpustakaan. Sementara itu, sastrawan Jatim, Lan Fang, menyatakan pengembangan perpustakaan itu berkaitan erat dengan perubahan "mindset" (pola pikir) masyarakat dan pustakawan tentang buku. "Buku bukan sekadar kumpulan tulisan, tapi buku adalah pengembangan peradaban suatu bangsa, karena itu buku harus disikapi secara kreatif. Misalnya, buku di taman bacaan di kawasan lokalisasi Dolly, di rumah susun Sombo yang dihuni warga miskin, dan di kawasan Rungkut yang dihuni warga yang mapan, maka buku yang ada di perpustakaan pada tiga kawasan itu harus berbeda," katanya. Selain itu, perpustakaan juga dapat dibangun secara spesifik, seperti perpustakaan perangko yang disandingkan dengan museum perangko, perpustakaan Surabaya yang berisi koleksi tentang Surabaya dan disandingkan dengan museum Surabaya, dan sebagainya. "Kalau perlu, perpustakaan itu memiliki komunitas yang menyukai tema tertentu, meski anggotanya hanya 20 orang, karena yang terpenting ada dialog dan pencerahan pemikiran tentang satu topik tertentu," kata penulis novel 'Ciuman di Bawah Hujan' itu.

Pewarta:

Editor : Endang Sukarelawati


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2011