Oleh Abd Malik Malang - Mengkonsumsi buah Apel bagi sebagian warga Kota Batu, Jawa Timur, merupakan sebuah kebanggaan tersendiri. Tidak jelas apa alasannya, namun hal itu terlihat ketika buah yang juga menjadi maskot kota tersebut diberikan secara cuma-cuma kepada warga dalam acara peresmian alun-alun (pusat kota) Kota Batu pada 4 Mei 2011. Dalam acara itu, sejumlah warga berebut mengambil apel yang dibagikan oleh Kelompok Tani Apel Makmur Abadi yang berlokasi di kawasan Wisata Apel Selecta. Salah Satu Anggota kelompok tani, Pramono mengatakan, pembagian satu ton spel secara cuma-cuma kepada warga yang menghadiri peresmian alun-alun itu bertujuan mengukur minat warga Batu terhadap potensi apel lokal. Awalnya, Pramono beranggapan jika warga Batu tidak suka mengkonsumsi buah Apel yang juga merupakan komoditas unggulan di daerah itu, sebab selama puluhan tahun menjadi petani apel, serapan produksi apel ke daerah Batu dan Malang sangat minim dibanding dengan daerah lain. Pramono mencontohkan, dari sekitar 1 kwintal perhari, 60 persen diserap daerah lain seperti Surabaya, Bandung, Jakarta serta Bali, dan 40 persen masuk ke pasaran lokal Malang Raya yang meliputi Kota Batu, Kota Malang dan Kabupaten Malang. Serapan yang minim itu diperkuat dengan serangan sejumlah komoditas buah impor yang harganya lebih murah dibanding buah lokal, seperti halnya apel impor yang harganya mencapai kisaran dibawah Rp14 ribu perkilogramnya, sedangkan apel lokal mencapai diatas Rp15 ribu perkilogramnya. "Memang, apel impor di Kota Batu lebih murah dibanding apel lokal, dengan selisih harga antara seribu hingga tiga ribu perkilogramnya," papar Pramono. Namun, anggapan tersebut mampu ditepis oleh warga Batu, sebab dalam kegiatan pembagian 1 ton apel secara cuma-cuma itu, sekitar 15 menit seluruh Apel habis diambil warga, sementara apel impor yang turut dibagikan dalam kegiatan itu masih menyisahkan beberapa bagian. "Cuma 15 menit, apel jenis lokal seperti Manalagi habis dalam pembagian tersebut, hal ini menunjukan warga Kota Batu masih berminat terhadap komoditas buah lokal daripada buah impor," ucapnya. Dari kegiatan itu pula, Pramono berkesimpulan jika minimnya serapan apel lokal ke wilayah Malang Raya bukan menjadi ukuran minimnya konsumsi warga Batu terhadap apel, sebab seandainya harga apel lokal lebih murah dibanding apel impor maka serapan apel lokal akan lebih banyak ke wilayah Malang Raya daripada ke daerah lain. "Apel lokal mungkin masih terlihat eksklusif bagi sebagian warga, ini disebabkan harganya yang mahal, sehingga warga menganggap apel lokal adalah barang yang istimewa," tutur Pramono, menduga. Salah satu penjual apel di Pasar Batu, Sukimun mengatakan, mahalnya harga apel lokal itu akibat minimnya panen para petani, ditambah dengan banyaknya permintaan dari luar daerah. Sehingga pasar lokal yang mempunyai potensi besar menyerap buah lokal tersebut, tidak bisa maksimal memanfaatkannya. "Kalau panen apel para petani melimpah maka apel impor tidak akan masuk ke pasar lokal. Selain itu, harga apel lokal juga akan murah, sehingga nantinya bisa diukur minat pasar lokal terhadap Apel masih tinggi," ujarnya. Sukimun yang telah menggeluti penjualan apel selama 20 tahun tersebut mengakui, jika masih sering terjadi tarik ulur antara kebutuhan luar daerah dengan pasar lokal, hal itu akibat minimnya hasil panen para petani. Tidak Layak Guru besar Bidang Ilmu Budi daya Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya (UB) Malang, Prof Sudiarso mengatakan, minimnya hasil panen petani apel di Kota Batu, akibat sejumlah lahan yang sebelumnya ditanami apel mulai rusak atau tidak layak lagi ditanami apel, menyusul penggunaan pupuk kimia yang secara terus menerus. Dengan rusaknya lahan tersebut, membuat hasil panen minim dan tidak sedikit petani memilih jalan praktis dengan menjual lahannya dan memilih lahan baru yang dinilai lebih kondusif tanahnya. Sementara itu, Pakar Ilmu Tanah dari Fakultas Pertanian UB Malang, Dr Sudarto mengatakan, dengan adanya lahan yang rusak, sejumlah petani apel di wilayah Batu mulai menggeser (mengalihkan) lahannya ke wilayah yang lebih tinggi, antara 800 meter di atas permukaan laut (mdpl) hingga 1.250 mdpl yang berada di wilayah Tulungrejo hingga Sumberbrantas maupun wilayah lain seperti Kecamatan Pujon, Kabupaten Malang. Bahkan, kini para pedagang apel di Batu mencari pasokan komoditas tersebut di daerah Nongkojajar (Tutur) Kabupaten Pasuruan. Pasalnya, produksi apel di kaki Gunung Bromo tersebut secara kualitas dan kuantitas lebih unggul dibandingkan produksi asli Batu. "Apel produksi petani di sini (Nongkojajar), sebagian besar di borong oleh para pedagang dari Batu dan di pasaran ke berbagai daerah di Tanah Air, " ucap Musyawir, salah seorang petani apel di Nongkojajar. Namun, strategi pemasaran, apel "made in" Nongkojajar tersebut tetap diberi label "Apel Batu". Menurut dia, nama Apel Batu sudah menjadi "trade mark" tersendiri, sehingga wajar bila para pedagang menamai komoditas ini Apel Batu, walaupun aslinya produksi Nongkojajar, Pasuruan. "Kan Apel Batu sudah terkenal. Saya sendiri kalau memasarkan ke berbagai daerah di Pulau Jawa, ya saya sebut Apel Batu, bukan Apel Nongkojajar," tutur Musyawir, sambil terbahak. Lebih lanjut Sudarto menuturkan, dulu tanaman apel di Batu bisa hidup dan berproduksi dengan baik pada lahan sekitar 700 mdpl. Namun sekarang, kondisi suhu di Batu yang terus meningkat, dan membuat petani harus menanam apel pada lahan yang lebih dingin. Oleh karena itu, pihaknya berharap, petani di wilayah Batu bisa kembali memanfaatkan pupuk organik untuk menjaga kestabilan tanah, sehingga bisa meningkatkan produksi Apel di wilayah Batu, dan mampu memenuhi kebutuhan pasar yang cukup tinggi tersebut.

Pewarta:

Editor : Chandra Hamdani Noer


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2011