Wakil ketua Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) Prof Keri Lestari mengemukakan obat sirop masih memungkinkan untuk diresepkan kepada pasien tertentu selama pertimbangan risiko dan manfaatnya dalam pantauan dokter.
"Tentu dengan mempertimbangkan antara risiko dan kemanfaatan obat. Setiap kita memilih obat, pasti mempertimbangkan tindakan itu, karena obat itu sifatnya racun sehingga diberikan dalam kondisi yang betul-betul memang bermanfaat," katanya dihubungi di Jakarta, Kamis.
Ia mengatakan resep obat sirop yang diresepkan kepada pasien perlu dipastikan tidak boleh melebihi dosisnya supaya tidak terjadi efek samping usai dikonsumsi pasien.
Di tengah kehati-hatian pemerintah dengan menyetop sementara pemberian obat sirop karena proses investigasi kasus gagal ginjal akut, kata Keri, ternyata ada sebagian besar pasien anak yang belum patuh dan tidak nyaman saat mengonsumsi obat puyer maupun jenis lainnya.
Baca juga: Penjualan obat sirup dihentikan sementara selama investigasi
Menurut apoteker dari Fakultas Farmasi Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung, Jawa Barat itu, ada batas nilai toleransi obat sirop yang tidak menimbulkan efek merugikan bagi pasien.
Ia menambahkan meski, senyawa etilen glikol dan dietilen glikol yang diduga kuat penyebab gagal ginjal akut misterius tidak digunakan dalam formulasi obat, tapi dimungkinkan keberadaannya dalam bentuk kontaminan pada bahan tambahan sediaan sirop dengan nilai toleransi 0,1 persen pada gliserin dan propilen glikol, serta 0,25 persen pada polietilen glikol.
"Namanya bayi, misalnya anak di bawah usia 5 tahun, apalagi sulit kita memaksakan untuk obat puyer, makanya ada alternatif obat sirop," katanya.
Selama obat-obatan yang sudah biasa dipakai tidak ada masalah dan di bawah pantauan dan kendali dokter, kata Keri, maka apoteker dengan mempertimbangkan keberhasilan terapi dan juga keselamatan pasien, dimungkinkan untuk memberikan obat sirop dengan terus memantau kondisi pasien.
Menurut dia Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) telah merekomendasikan agar penggunaan obat sirop dihindari selama belum muncul konklusi tunggal perihal penyebab kasus gagal ginjal akut misterius.
"Sekarang IDAI sudah menarik lebih dini terkait dengan risiko ini. Artinya, tidak terjadi gagal ginjal, tapi kalau terjadi gangguan ginjal sesudah diterapi dan treatment, berkurang volume urinenya, kita langsung melakukan terapi, kita berikan obatnya, kita selamatkan yang bisa atasi kondisi yang tidak menguntungkan seperti itu," katanya.
Kalangan apoteker hingga saat ini masih menantikan hasil telisik Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) bersama Kemenkes perihal merek obat sirop apa saja yang terbukti secara klinis melampaui ambang batas.
"Kami sedang menunggu juga dan menghargai aspek kehati-hatian dari Kemenkes. Kita juga sedang menunggu hasil telisik dari BPOM merek apa aja sih yang di atas ambang batasnya," demikian Keri Lestari .(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2022
"Tentu dengan mempertimbangkan antara risiko dan kemanfaatan obat. Setiap kita memilih obat, pasti mempertimbangkan tindakan itu, karena obat itu sifatnya racun sehingga diberikan dalam kondisi yang betul-betul memang bermanfaat," katanya dihubungi di Jakarta, Kamis.
Ia mengatakan resep obat sirop yang diresepkan kepada pasien perlu dipastikan tidak boleh melebihi dosisnya supaya tidak terjadi efek samping usai dikonsumsi pasien.
Di tengah kehati-hatian pemerintah dengan menyetop sementara pemberian obat sirop karena proses investigasi kasus gagal ginjal akut, kata Keri, ternyata ada sebagian besar pasien anak yang belum patuh dan tidak nyaman saat mengonsumsi obat puyer maupun jenis lainnya.
Baca juga: Penjualan obat sirup dihentikan sementara selama investigasi
Menurut apoteker dari Fakultas Farmasi Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung, Jawa Barat itu, ada batas nilai toleransi obat sirop yang tidak menimbulkan efek merugikan bagi pasien.
Ia menambahkan meski, senyawa etilen glikol dan dietilen glikol yang diduga kuat penyebab gagal ginjal akut misterius tidak digunakan dalam formulasi obat, tapi dimungkinkan keberadaannya dalam bentuk kontaminan pada bahan tambahan sediaan sirop dengan nilai toleransi 0,1 persen pada gliserin dan propilen glikol, serta 0,25 persen pada polietilen glikol.
"Namanya bayi, misalnya anak di bawah usia 5 tahun, apalagi sulit kita memaksakan untuk obat puyer, makanya ada alternatif obat sirop," katanya.
Selama obat-obatan yang sudah biasa dipakai tidak ada masalah dan di bawah pantauan dan kendali dokter, kata Keri, maka apoteker dengan mempertimbangkan keberhasilan terapi dan juga keselamatan pasien, dimungkinkan untuk memberikan obat sirop dengan terus memantau kondisi pasien.
Menurut dia Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) telah merekomendasikan agar penggunaan obat sirop dihindari selama belum muncul konklusi tunggal perihal penyebab kasus gagal ginjal akut misterius.
"Sekarang IDAI sudah menarik lebih dini terkait dengan risiko ini. Artinya, tidak terjadi gagal ginjal, tapi kalau terjadi gangguan ginjal sesudah diterapi dan treatment, berkurang volume urinenya, kita langsung melakukan terapi, kita berikan obatnya, kita selamatkan yang bisa atasi kondisi yang tidak menguntungkan seperti itu," katanya.
Kalangan apoteker hingga saat ini masih menantikan hasil telisik Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) bersama Kemenkes perihal merek obat sirop apa saja yang terbukti secara klinis melampaui ambang batas.
"Kami sedang menunggu juga dan menghargai aspek kehati-hatian dari Kemenkes. Kita juga sedang menunggu hasil telisik dari BPOM merek apa aja sih yang di atas ambang batasnya," demikian Keri Lestari .(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2022