Seorang yang pernah terlibat dalam peristiwa bom Bali tahun 2002 silam, Ali Fauzi Manzi, memberikan materi tentang deradikalisme di hadapan para mahasiswa baru Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Selasa.
Pria yang kini aktif sebagai seorang ustaz ini berbagi pengalaman hidupnya agar tidak diikuti oleh para generasi muda saat ini melalui materi utama tentang Moderasi Beragama
"Saya dulu dikenal sebagai ahli perakit bom. Saya pernah satu kelompok dengan Abu Bakar Ba’asyir di Malaysia," ungkap pendiri Yayasan Lingkar Perdamaian ini.
Ali yang sudah terasimilasi ini menyebutkan, pada tahun 2015 - 2022 lebih dari 3.000 orang terduga teroris telah ditangkap. Jumlah ini bahkan melebihi jumlah penangkapan pada periode 2002 – 2014 lalu.
Ia membeberkan hasil riset Marc Sageman yang menunjukkan faktor terbesar orang untuk bergabung dengan jaringan radikalisme dikarenakan faktor friendship dan kinship (pertemanan dan kekeluargaan).
"Saya dulu bersama saudara saya dalam menjalankan pengalaman menyedihkan ini," tutur Ali yang juga merupakan adik kandung Amrozi, pelaku bom Bali yang telah dihukum mati.
Ali menjelaskan, radikalisasi bukanlah sebuah produk dari keputusan yang singkat, tetapi hasil dari sebuah proses panjang.
Menurut pengalamannya, proses ini terjadi dengan perlahan-lahan mendorong seseorang untuk berkomitmen pada aksi kekerasan atas nama Tuhan. Namun alasan yang membuat anggotanya tetap tinggal yakni, adanya dukungan sesama anggota.
Lebih dalam, Ali mengungkapkan bahwa pada dasarnya komunitas teroris itu menyediakan dua support kepada para anggotanya.
Pertama adalah support moral, hal ini dapat terbentuk melalui pemberian pemahaman radikal kepada para anggotanya dengan pengajian, idad, rihlah, mukhoyamah, dan sebagainya.
Kedua adalah support material seperti halnya bantuan pendidikan, lapangan kerja, bantuan kesehatan, dan lain-lain.
Hadirnya kedua support itu yang mengikat para anggotanya, sehingga nyaman dan sulit untuk keluar. Namun, jika keluar mereka tidak punya teman, dikucilkan, dimusuhi bahkan diancam pembunuhan.
Oleh karenanya, sangat penting membentuk sebuah komunitas baru yang memberikan support serupa tetapi bersifat positif.
"Seperti cinta negara, cinta polisi/TNI, cinta perdamaian, toleransi, menjunjung Islam yang ramah bukan marah," kata Ali, mencontohkan
Lebih lanjut, ia mengibaratkan terorisme itu seperti penyakit komplikasi. Oleh karena itu, cara penanganannya juga tidak bisa dilakukan dengan metode tunggal.
Harus banyak aspek, perspektif dan metodologi. Perlu adanya dokter spesialis dan juga kampanye pencegahan dari orang yang pernah sembuh dari penyakitnya, seperti dirinya saat ini.
"Sekarang saya sudah sembuh setelah mengalami penyakitnya bertahun-tahun, di sini saya bantu mencegahnya," ujar Ali.
Penyebaran paham radikalisme dapat melalui berbagai media. Salah satunya adalah perguruan tinggi, di mana mahasiswanya berasal dari latar belakang yang berbeda-beda.
Karena itu, Ali senang dengan adanya acara PSB ini. Menurutnya langkah yang diambil oleh ITS sudah tepat sekali dalam mencegah bibit radikalisme terutama pada generasi muda.
"Kalian juga harus berhati-hati dalam memilih teman, jangan sampai terpengaruh paham radikalisme," ujarnya mengingatkan.
Sementara itu, Ketua Pelaksana Pelatihan Spiritual dan Kebangsaan (PSB) 2022 Ir. Arief Abdurrakhman S.T., MT., mengaku sangat senang dengan adanya penyampaian materi tentang deradikalisme ini.
Dengan adanya pemberian pemahaman langsung dari narasumber, diharapkan maba dapat memahami materi ini lebih dalam dan mampu menghindari paparan radikalisme.
"Semoga mahasiswa baru ITS dapat memiliki pondasi karakter yang kuat dalam menjalani kuliah mereka ke depan," katanya. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2022