Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) Jawa Timur bekerja sama dengan Uni Eropa membina petani kakao di lima kabupaten di Jawa Timur untuk mendorong peningkatan perekonomian petani.

Ketua GPEI Jatim, Isdarmawan Asrikan di Surabaya, Senin, mengatakan penanaman kakao mampu meningkatkan perekonomian masyarakat perdesaan, karena buah kakao bisa dipanen dua kali per bulan dan penjualannya mudah, seiring besarnya kebutuhan bahan baku biji kakao di kalangan industri pemrosesan komoditas tersebut.

"Banyak pedagang pengumpul di sentra kakao rakyat dengan harga sekitar Rp25.000/kg biji kering non-fermentasi, dan yang sudah fermentasi berkisar Rp30.000-Rp35.000/kg," katanya.

Baca juga: Angkat potensi Banyuwangi penghasil cokelat terbaik di dunia lewat festival

Lima kabupaten di Jatim yang dikembangkan masing-masing Kabupaten Bondowoso, Kabupaten Malang, Kabupaten Blitar, Kabupaten Trenggalek, serta Kabupaten Pacitan, melalui program Sustainability Cacao Development Programme (SCDP) dengan luasan 10 hektare per kabupaten.

"Melalui program tersebut, GPEI Jatim memberikan bantuan bibit unggul, pendampingan budi daya dan perawatan tanaman kakao serta bimbingan pascapanen, dengan membentuk satuan tugas (Satgas) yang melibatkan Dinas Perkebunan di tiap-tiap kabupaten," kata Isdarmawan yang juga dikenal sebagai tokoh perkebunan Jatim itu.

Program SCDP dimulai sejak tahun 2016, dimana pada tahun ketiga penanaman kakao sudah mulai panen dengan volume 1 ton biji kering per hektare, atau lebih tinggi dibandingkan rata-rata kakao rakyat di Jatim. Kegiatan tersebut, juga ditangani para petani muda, selain para wanita yang memproses biji kakao menjadi produk setengah jadi dalam bentuk puder/bubuk maupun kue guna memperoleh nilai tambah tinggi.

Baca juga: Menikmati perkebunan kakao di Kampung Coklat Blitar

Menurut dia, di Jatim terdapat sejumlah industri pemroses kakao antara lain dua perusahaan besar yang merelokasi pabrik dari Malaysia ke Gresik yakni PT Cargill Indonesia dan PT JeBe Koko dengan kebutuhan biji kakao ribuan ton per bulan.

“Pabrikan kakao di Jatim lebih banyak mengimpor bahan baku biji kakao dari Afrika maupun dari Indonesia Timur akibat minimnya pasokan dari Pulau Jawa. Potensi lahan kakao rakyat di Jatim cukup luas, tetapi selama ini belum dioptimalkan, maka kami menggandeng Uni Eropa untuk mengembangkannya,” ujarnya.

Baca juga: Gubernur Khofifah harapkan pembukaan PCTC tingkatkan produktivitas kakao Jatim

Data di Dinas Perkebunan Jatim menunjukkan, areal existing tanaman kakao di Jatim pada tahun 2021 seluas 57.020 hektare terdiri dari perkebunan rakyat seluas 40.184 hektare, perkebunan negara seluas 12.229 hektare, dan perkebunan besar swasta 4.608 hektare.

Sementara produksinya pada 2021 tercatat 34.988,85 ton (perkebunan rakyat sebanyak 20.558,10 ton, perkebunan besar negara 11.201,9 ton, dan perkebunan besar swasta 3.211,75 ton.

Isdarmawan menambahkan, prospek kakao rakyat sangat bagus dibandingkan perkebunan kakao skala besar yang dikelola perusahaan, mengingat petani kakao lebih intens merawat tanamannya karena milik sendiri. Areal kakao perkebunan besar di Jatim akhir-akhir ini terus menyusut.

"Perkebunan besar kakao kurang feasible karena membutuhkan banyak tenaga kerja dengan upah yang cukup besar pula, sehingga harga pokok produksi (HPP) nya menjadi tinggi. Lagi pula cari pekerja pun tidak mudah sebab kaum muda (angkatan kerja produktif) saat ini lebih tertarik kerja di sektor industri manufaktur maupun jasa dan perdagangan,” tuturnya.

Baca juga: Menggairahkan kembali budi daya kakao rakyat


Pewarta: A Malik Ibrahim

Editor : Didik Kusbiantoro


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2022