Eka Hospital mengedukasi masyarakat untuk lebih mengenali dan mewaspadai Aritmia yang dapat menyebabkan henti jantung melalui seminar awam medis di Shangri-La Hotel Surabaya, pada 15-16 Juli.

"Yang namanya Aritmia itu, adalah denyut jantungnya tidak normal, denyut jantung normal itu kalau 60 sampai 100 kali dalam kondisi istirahat. Jadi kalau denyutnya kurang dari 60 atau denyutnya lebih dari 100, atau bahkan loncat-loncat tidak beraturan itu yang biasa disebut Aritmia," kata Konsultan Aritmia Elektrofisiologi Eka Hospital, dr. Ignatius Yansen, Sp.JP (K), FIHA, FASCC, Sabtu (16/7).

Aritmia atau henti jantung merupakan penyakit gangguan irama jantung yang dapat diderita semua golongan umur dan gender tertentu.

Menurut survei 2,6 juta penduduk mengalami aritmia dan 2,2 juta penduduk menderita Aritmia jenis Atrial Fibrilasi, 40 persen dari jumlah ini berisiko mengalami stroke apabila tidak segera mendapat penanganan medis.

"Penyebabnya banyak, sebagian karena faktor bawaan, keturunan, banyak kita temukan Aritmia dalam usia muda termasuk anaknya Bu Nurul Arifin, itu meninggal usia muda. Ada faktor lain, seperti serangan jantung, hipertensi, diabetes itu juga bisa menjadi gangguan irama jantung," ungkapnya.

Aritmia merupakan salah satu masalah kesehatan yang perlu dianggap serius, karena diperkirakan 87 persen pasien yang meninggal mendadak disebabkan oleh penyakit tersebut. 

Dengan kata lain, lanjut Ignatius, Aritmia adalah adanya "korsleting" pada jantung sehingga detak jantung tidak normal, bahkan parahnya lagi, penderita bisa meninggal begitu saja.

"Intinya adalah, ada korslet di irama jantungnya, makanya jadi tak normal. Risiko terberat adalah pasiennya henti jantung, kalau baca berita Ivana Trump meninggal henti jantung," katanya.

"Banyak yang tanya, jadi henti jantung itu tidak sama dengan serangan jantung. Jadi henti jantung itu jantung berhenti, dan penyebabnya banyak, bisa serangan jantung, Aritmia dan penyebab-penyebab lainnya," ujarnya, menambahkan.

Namun untuk mencoba menanggulangi permasalahan Aritmia jantung, Ignatius mengimbau pada warga untuk melakukan cek medis berkala, termasuk rekam jantung.

"Mencegah paling bagus tentu saja medical check up, kalau ada kelainan bawaan, jadi kalau ada keluhan berdebar-debar kita perlu ke dokter jantung untuk pemeriksaan EKG, rekam jantung paling basic. Kemudian juga USG jantung, treadmill untuk memastikan itu,” ucapnya.

Lebih lanjut, dia mengatakan kalau memang ada indikasi gangguan irama jantung, golden standarnya harus lakukan pemeriksaan listrik jantung atau elektro fisiologis.

"Jadi kayak kateter, ada kateter kecil beberapa titik kita periksakan, masuk ke jantung kita periksa secara detail korsletnya sebelah mana," katanya.

Ignatius juga memberikan keterangan, jika para pasien yang menderita Aritmia jantung bisa tertolong, seperti yang dilakukan oleh Christian Eriksen, yang sempat dipasang alat ICD.

"Kalau sudah tau kelainannya dimana baru kita lakukan kateter ablasi dan sebagian besar pasien bisa sembuh, kalau tidak bisa sembuh kita pasangin alat seperti Christian Eriksen, Euro 2020, itu dia kolaps juga di usia muda, kemudian dipasang ICD alat untuk membantu. Jadi kalau sewaktu-waktu terjadi henti jantung lagi, bisa dibantu pakai ICD," ujar Ignatius memberikan contoh.

Selain itu, ada terapi khusus untuk para penderita, sehingga bisa terbebas dari Aritmia jantung yang sudah menghantuinya hampir seumur hidup penderita.

"Terapi ablasi ada banyak macam, pertama pasti dari obat-obatan, kemudian kita lakukan tindakan kateter ablasi, tujuannya Aritmia tidak muncul lagi, dan ternyata pasien dengan Aritmia ini bisa sembuh sempurna," katanya. (*)

Pewarta: Willy Irawan

Editor : Slamet Hadi Purnomo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2022