Pemerintah Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur, saat ini memiliki layanan terpadu satu atap (LTSA) yang menjadi pusat layanan dan pengaduan segala permasalahan terkait dengan ketenagakerjaan pekerja migran di luar negeri.
Peresmian LTSA ini dilakukan bersamaan dengan peluncuran Migrant Worker Center (MRC) yang didukung oleh Organisasi Buruh Internasional atau ILO di Pendopo Kongas Arum Kusumaning Bongso, Tulungagung, Jumat.
"Dengan program ini, PMI (pekerja migran Indonesia) akan lebih mudah mengadukan permasalahan hukum yang dialaminya ketika di luar negeri," kata Bupati Tulungagung Maryoto Birowo usai kegiatan.
Ia menjelaskan program LTSA dan MRC implementasi dari program Safe and Fair (SAF), Realizing Women Migrant Workers' Rights and Opportunities in the ASEAN Region yang merupakan bagian dari Global Spotlight yang diinisiasi oleh Uni Eropa dan PBB.
Selain MRC, ada juga BP2MI (Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia).
Kepala Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Tulungagung Agus Santoso menjelaskan kedua lembaga itu meski sama-sama menangani isu buruh migran, namun memiliki peranan berbeda.
Meski BP2MI juga menangani kasus-kasus yang dilaporkan ke BP2MI. "Tentu ditindaklanjuti oleh MRC,” kata Agus.
Ia mencontohkan dalam periode 2017--2019, BP2MI menerima sebanyak 12.508 aduan dari pekerja migran. Paling akhir adalah kasus kekerasan yang diterima pekerja migran di Brunei Darussalam.
Pekerja migran berjenis kelamin perempuan ini dipaksa untuk dinikahi oleh majikannya. Lantaran menolak, pekerja migran itu mendapat penganiayaan dari majikannya.
“Kasus itu segera ada laporan dari ILO di Brunei, maka bisa segera kita carikan penasehat hukum di sana,” katanya.
Data di Disnaker Tulungagung mencatat jumlah pekerja migran asal daerah itu selama kurun 2019 hingga Maret 2022 tercatat sebanyak 3.799 orang berjenis kelamin perempuan dengan negara tujuan Malaysia, Singapura, Brunei, Hong Kong, Taiwan, Timur Tengah, dan Eropa.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2022
Peresmian LTSA ini dilakukan bersamaan dengan peluncuran Migrant Worker Center (MRC) yang didukung oleh Organisasi Buruh Internasional atau ILO di Pendopo Kongas Arum Kusumaning Bongso, Tulungagung, Jumat.
"Dengan program ini, PMI (pekerja migran Indonesia) akan lebih mudah mengadukan permasalahan hukum yang dialaminya ketika di luar negeri," kata Bupati Tulungagung Maryoto Birowo usai kegiatan.
Ia menjelaskan program LTSA dan MRC implementasi dari program Safe and Fair (SAF), Realizing Women Migrant Workers' Rights and Opportunities in the ASEAN Region yang merupakan bagian dari Global Spotlight yang diinisiasi oleh Uni Eropa dan PBB.
Selain MRC, ada juga BP2MI (Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia).
Kepala Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Tulungagung Agus Santoso menjelaskan kedua lembaga itu meski sama-sama menangani isu buruh migran, namun memiliki peranan berbeda.
Meski BP2MI juga menangani kasus-kasus yang dilaporkan ke BP2MI. "Tentu ditindaklanjuti oleh MRC,” kata Agus.
Ia mencontohkan dalam periode 2017--2019, BP2MI menerima sebanyak 12.508 aduan dari pekerja migran. Paling akhir adalah kasus kekerasan yang diterima pekerja migran di Brunei Darussalam.
Pekerja migran berjenis kelamin perempuan ini dipaksa untuk dinikahi oleh majikannya. Lantaran menolak, pekerja migran itu mendapat penganiayaan dari majikannya.
“Kasus itu segera ada laporan dari ILO di Brunei, maka bisa segera kita carikan penasehat hukum di sana,” katanya.
Data di Disnaker Tulungagung mencatat jumlah pekerja migran asal daerah itu selama kurun 2019 hingga Maret 2022 tercatat sebanyak 3.799 orang berjenis kelamin perempuan dengan negara tujuan Malaysia, Singapura, Brunei, Hong Kong, Taiwan, Timur Tengah, dan Eropa.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2022