Perajin tempe di Sentra Industri Tempe dan Keripik Tempe Sanan, Kecamatan Blimbing, Kota Malang, Jawa Timur, mengeluhkan tingginya harga bahan baku kedelai yang berdampak pada penurunan produksi.

Salah seorang perajin tempe di kawasan Sanan, Handayani (50), di Kota Malang, Jumat, kepada ANTARA mengatakan bahwa dampak kenaikan harga kedelai membuat dirinya harus menaikkan harga jual tempe kepada para produsen keripik tempe.

"Karena bahan baku naik, mau tidak mau harga juga harus naik. Naiknya harga ini karena ukuran tempe tetap dan tidak diperkecil," kata Handayani.

Dalam kondisi sebelum harga bahan baku kedelai naik, lanjutnya, kebutuhan komoditas tersebut per hari mencapai 500 kilogram.

Saat ini, dengan harga kedelai mahal dan banyaknya pengusaha keripik tempe yang tidak berproduksi, kebutuhan kedelai anjlok menjadi 200 kilogram per hari.

"Dulu saya sehari bisa menghabiskan 500 kilogram kedelai per hari, sekarang paling bagus 200 kilogram. Kadang juga di bawah itu," ujarnya.

Tempe yang dipergunakan untuk kebutuhan produsen keripik tempe tersebut, lanjutnya, biasanya berbentuk bulat dengan ukuran kurang lebih sepanjang satu meter. Ia terpaksa menaikkan harga jual akibat harga kedelai yang sangat tinggi.

"Harga jual sebelum kedelai naik, untuk ukuran satu meter yang besar Rp24.000 sekarang menjadi Rp25.000, dan itu sekarang sudah sulit," katanya.

Meskipun kenaikan harga hanya sebesar Rp1.000, namun lanjutnya, serapan tempe dari produsen keripik tempe tidak terlalu baik. Bahkan, banyak pelaku usaha skala mikro, tidak memproduksi karena terdampak mahalnya bahan baku pembuatan keripik tempe.

Ia sangat berharap pemerintah bisa segera mengambil kebijakan untuk menurunkan harga kedelai. Ia berharap, kedelai untuk bahan baku tempe bisa diturunkan pada level Rp7.000 per kilogram, dimana saat ini harga melonjak menjadi Rp11.000 per kilogram.

"Harapannya bisa turun lagi, di harga Rp7.000 per kilogram, itu normal. Tidak murah, dan tidak mahal. Kalau sudah lebih dari Rp10.000, sudah terlalu tinggi," katanya.

Kenaikan harga kedelai tersebut, juga berdampak terhadap produsen keripik tempe yang ada di sentra industri tersebut. Tidak semua perajin tempe menaikkan harga, namun ada juga yang memilih untuk mengurangi ukuran dari tempe yang dipergunakan sebagai bahan baku keripik.

Pemilik usaha keripik tempe Kiky, Laili Afrida, mengatakan bahwa saat ini bahan baku tempe yang dipergunakan untuk usahanya masih belum mengalami kenaikan harga. Namun, pemasok tempe lebih memilih untuk memperkecil ukuran tempe.

Ia menambahkan kenaikan harga kedelai tersebut, lambat laun juga akan berpengaruh terhadap usaha keripik tempe miliknya. Dengan harga kedelai naik, harga tempe diperkirakan juga akan mengikuti, termasuk produk akhir berupa keripik tempe buatannya.

"Ukuran tempe sepertinya diperkecil, karena biasanya produksi bisa lebih banyak dengan jumlah bahan baku yang sama. Kedelai naik itu berpengaruh terhadap harga tempe, kemudian pada akhirnya saya juga harus menaikkan harga jual produk keripik tempe," katanya.

Saat ini, ia masih menjual produk keripik tempe miliknya dengan harga Rp5.000 per 100 gram. Namun, jika harga bahan baku berupa tempe mengalami kenaikan, maka kemungkinan besar harga keripik tempe juga akan ikut dinaikkan.

"Kalau bahan baku tempe naik, saya juga akan menaikkan menjadi Rp6.000 per bungkus, menjadi Rp60.000 per kilogram. Itu sebenarnya berat, karena saat ini juga masih sepi pembeli," katanya.

Kementerian Perdagangan menyatakan bahwa pemerintah terus berupaya untuk memastikan ketersediaan stok kedelai nasional aman meskipun komoditas tersebut mengalami kenaikan harga pada pasar internasional.

Kenaikan harga disinyalir akibat inflasi di negara produsen, yang kemudian berdampak pada harga masukan produksi, kekurangan tenaga kerja dan kenaikan biaya sewa lahan. Selain itu juga ada faktor ketidakpastian cuaca yang menyebabkan petani kedelai menaikkan harga.

Berdasarkan data Chicago Board of Trade (CBOT), harga kedelai pada minggu kedua Februari 2022 mencapai 15,77 dolar Amerika Serikat (AS) per bushels (gantang).

Harga itu diperkirakan akan naik hingga Mei hingga 17,79 dolar AS per bushels dan mulai mengalami penurunan pada Juni 2022 menjadi 15,74 dolar AS per bushels.

Pewarta: Vicki Febrianto

Editor : Didik Kusbiantoro


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2022