Tahun kedua pandemi COVID-19 masih membawa dampak negatif bagi industri fesyen di seluruh dunia. Industri di sektor ini dituntut harus memutar ulang strategi produksi hingga pemasaran agar bisnis dapat pulih dan tetap berlangsung hingga pandemi usai.
Sebagian perusahaan mampu mempertahankan dan menyelamatkan bisnis dari guncangan pandemi, meski terdapat kerugian dan penurunan daya beli. Namun, sebagian perusahaan fesyen harus menutup tokonya karena beban finansial, termasuk mereka yang menangguhkan bisnis, menjual, hingga menutup toko dan cabangnya secara permanen.
Berikut adalah lima merek fesyen besar yang menutup tokonya sepanjang 2021, dirangkum ANTARA dari berbagai sumber.
1. Fenty Fashion House
Fenty Fashion House merupakan lini bisnis fesyen yang dirilis Rihanna bersama merek mode premium LVMH pada 2019. Fenty House memproduksi pakaian, sepatu, dan berbagai aksesori premium.
Pendirian label fesyen tersebut membawa sejarah baru di industri fesyen sebagai merek mewah pertama yang dijalankan oleh perempuan kulit hitam.
Pada awalnya Fenty House diluncurkan sebagai toko pop-up di Paris hingga selanjutnya dibuka di seluruh dunia sebagai toko online pada akhir Mei 2019.
Sayangnya, lini fesyen ini tidak sesukses bisnis Fenty yang lain, seperti lini kosmetik Fenty Beauty dan lini pakaian dalam Savage X Fenty. Pada Februari tahun ini, Fenty Fashion House mengumumkan penutupan bisnisnya dan akan ditangguhkan dalam jangka waktu tidak terbatas.
Sebelum tutup, Fenty House sempat mengeluarkan koleksi sepatunya pada November 2020, berkolaborasi bersama desainer Amina Muaddi.
2. Christopher & Banks
Perusahaan ritel asal Amerika yang memproduksi pakaian perempuan ini mengajukan kebangkrutan pada Januari dan semua tokonya ditutup pada Februari. Kondisi pandemi COVID-19 yang tidak stabil disebut berdampak pada kerugian finansial perusahaan.
Mulanya perusahaan ini didirikan dengan nama Braun's Fashions pada 1956, merujuk pada nama sang pendiri Gil Braun. Bisnis ini kemudian berubah menjadi perusahaan publik pada 1992 dan mengganti nama mereknya dengan Christopher & Banks pada 2000.
Christopher & Banks memiliki 320 toko di 27 negara bagian AS. Perusahaan mengkhususkan diri dalam memproduksi pakaian untuk perempuan kisaran usia 35 hingga 55 tahun dengan harga terjangkau.
3. Debenhams
Setelah 243 tahun berdiri, jaringan department store ikonik Inggris Debenhams menutup 124 toko fisik di Inggris tahun ini. Perusahaan yang didirikan pada 1778 ini selama beberapa tahun terakhir menghadapi kesulitan finansial, diperparah dengan kondisi pandemi COVID-19.
Pada Januari, Debenhams telah menutup 6 toko di Inggris secara permanen. Masih pada bulan yang sama, perusahaan mengumumkan bahwa Boohoo telah membeli merek dan situs web Debenhams seharga 55 juta pound atau sekitar Rp1 triliun. Boohoo kemudian meluncurkan kembali situs web merek tersebut dengan nama Debenhams.com pada April.
Meski demikian, usaha penyelamatan bisnis itu tidak mampu mempertahankan 118 toko yang tersisa. Penutupan ratusan toko tersebut menyebabkan 12.000 orang kehilangan pekerjaan.
4. Eddie Bauer Jepang
Merek fesyen kasual asal Amerika ini mengumumkan penutupan semua toko fisik yang berjumlah 60 toko dan situs belanja daring di Jepang pada akhir Desember.
Pengumuman tersebut menandakan merek Eddie Bauer akan keluar dari pasar Jepang. Produk Eddie Bauer diperkenalkan di Jepang pada 1990-an.
Perusahaan ritel ini didirikan oleh Eddie Bauer di Seattle, AS, pada 1920. Merek fesyen ini menjual jaket bulu angsa pertama di AS. Pada 1942 saat perang dunia kedua, Eddie Bauer merancang jaket khusus untuk Angkatan Darat AS.
5. MUJI Indonesia
Setelah lebih dari 12 tahun hadir di Indonesia, merek fesyen dan retail asal Jepang ini menutup toko terakhirnya di Mall Grand Indonesia dan menghentikan seluruh operasional perusahaan pada Maret. Toko MUJI di Indonesia pertama kali dibuka di Plaza Indonesia pada Oktober 2009.
Perusahaan yang didirikan pada 1980 ini dikenal dengan produk-produk bergaya minimalis. Selain mengembangkan produk fesyen, MUJI juga mengeluarkan produk gaya hidup lainnya seperti peralatan rumah tangga, peralatan dapur, perabotan, kosmetik, alat tulis, elektronik, dan makanan.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2021
Sebagian perusahaan mampu mempertahankan dan menyelamatkan bisnis dari guncangan pandemi, meski terdapat kerugian dan penurunan daya beli. Namun, sebagian perusahaan fesyen harus menutup tokonya karena beban finansial, termasuk mereka yang menangguhkan bisnis, menjual, hingga menutup toko dan cabangnya secara permanen.
Berikut adalah lima merek fesyen besar yang menutup tokonya sepanjang 2021, dirangkum ANTARA dari berbagai sumber.
1. Fenty Fashion House
Fenty Fashion House merupakan lini bisnis fesyen yang dirilis Rihanna bersama merek mode premium LVMH pada 2019. Fenty House memproduksi pakaian, sepatu, dan berbagai aksesori premium.
Pendirian label fesyen tersebut membawa sejarah baru di industri fesyen sebagai merek mewah pertama yang dijalankan oleh perempuan kulit hitam.
Pada awalnya Fenty House diluncurkan sebagai toko pop-up di Paris hingga selanjutnya dibuka di seluruh dunia sebagai toko online pada akhir Mei 2019.
Sayangnya, lini fesyen ini tidak sesukses bisnis Fenty yang lain, seperti lini kosmetik Fenty Beauty dan lini pakaian dalam Savage X Fenty. Pada Februari tahun ini, Fenty Fashion House mengumumkan penutupan bisnisnya dan akan ditangguhkan dalam jangka waktu tidak terbatas.
Sebelum tutup, Fenty House sempat mengeluarkan koleksi sepatunya pada November 2020, berkolaborasi bersama desainer Amina Muaddi.
2. Christopher & Banks
Perusahaan ritel asal Amerika yang memproduksi pakaian perempuan ini mengajukan kebangkrutan pada Januari dan semua tokonya ditutup pada Februari. Kondisi pandemi COVID-19 yang tidak stabil disebut berdampak pada kerugian finansial perusahaan.
Mulanya perusahaan ini didirikan dengan nama Braun's Fashions pada 1956, merujuk pada nama sang pendiri Gil Braun. Bisnis ini kemudian berubah menjadi perusahaan publik pada 1992 dan mengganti nama mereknya dengan Christopher & Banks pada 2000.
Christopher & Banks memiliki 320 toko di 27 negara bagian AS. Perusahaan mengkhususkan diri dalam memproduksi pakaian untuk perempuan kisaran usia 35 hingga 55 tahun dengan harga terjangkau.
3. Debenhams
Setelah 243 tahun berdiri, jaringan department store ikonik Inggris Debenhams menutup 124 toko fisik di Inggris tahun ini. Perusahaan yang didirikan pada 1778 ini selama beberapa tahun terakhir menghadapi kesulitan finansial, diperparah dengan kondisi pandemi COVID-19.
Pada Januari, Debenhams telah menutup 6 toko di Inggris secara permanen. Masih pada bulan yang sama, perusahaan mengumumkan bahwa Boohoo telah membeli merek dan situs web Debenhams seharga 55 juta pound atau sekitar Rp1 triliun. Boohoo kemudian meluncurkan kembali situs web merek tersebut dengan nama Debenhams.com pada April.
Meski demikian, usaha penyelamatan bisnis itu tidak mampu mempertahankan 118 toko yang tersisa. Penutupan ratusan toko tersebut menyebabkan 12.000 orang kehilangan pekerjaan.
4. Eddie Bauer Jepang
Merek fesyen kasual asal Amerika ini mengumumkan penutupan semua toko fisik yang berjumlah 60 toko dan situs belanja daring di Jepang pada akhir Desember.
Pengumuman tersebut menandakan merek Eddie Bauer akan keluar dari pasar Jepang. Produk Eddie Bauer diperkenalkan di Jepang pada 1990-an.
Perusahaan ritel ini didirikan oleh Eddie Bauer di Seattle, AS, pada 1920. Merek fesyen ini menjual jaket bulu angsa pertama di AS. Pada 1942 saat perang dunia kedua, Eddie Bauer merancang jaket khusus untuk Angkatan Darat AS.
5. MUJI Indonesia
Setelah lebih dari 12 tahun hadir di Indonesia, merek fesyen dan retail asal Jepang ini menutup toko terakhirnya di Mall Grand Indonesia dan menghentikan seluruh operasional perusahaan pada Maret. Toko MUJI di Indonesia pertama kali dibuka di Plaza Indonesia pada Oktober 2009.
Perusahaan yang didirikan pada 1980 ini dikenal dengan produk-produk bergaya minimalis. Selain mengembangkan produk fesyen, MUJI juga mengeluarkan produk gaya hidup lainnya seperti peralatan rumah tangga, peralatan dapur, perabotan, kosmetik, alat tulis, elektronik, dan makanan.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2021