Diskusi panel nasional yang digelar Laboratorium Pengembangan Ekonomi Pembangunan, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga (LPEP-FEB Unair) terkait solusi industri hasil tembaku (IHT) di masa Pandemi COVID-19 menghasilkan sejumlah catatan dari sisi permintaan dan penawaran.
"Ada sejumlah catatan yang kami peroleh dari diskusi panel tersebut," kata Ketua LPEP-FEB Unair Bambang Afiatno melalui keterangannya, Sabtu.
Dari sisi permintaaan yang digambarkan oleh pola konsumsi masyarakat terhadap produk tembakau/ sigaret (karakteristik permintaan sigaret) menunjukkan bahwa:
1. Pandemi COVID-19 menurunkan keinginan membayar (WTP/ willingness to pay) sigaret/batang dari Rp2.109 ke Rp2.050 dan memperbanyak konsumen dengan kemampuan membeli (ATP/ ability to pay) di bawah harga jual eceran (HJE) dari 25 persen konsumen pada kondisi normal menjadi 48,06 persen konsumen.
2. Pandemi COVID-19 dan peningkatan harga sigaret secara bersama-sama menurunkan kesejahteraan rumah tangga konsumen, di mana perubahan harga sebagai kontributor utama.
3. Konsumsi sigaret per hari untuk kondisi normal adalah 19 batang, sementara saat pandemi pada tahun 2020 adalah 17 batang dan pandemi 2021 sebanyak 16 batang.
4. Alokasi belanja sigaret terhadap pengeluaran makanan-minuman relatif dominan di perkotaan dan kelompok rumah tangga menuju menengah, menengah, dan atas Kenaikan belanja sigaret sensitif [elastisitas >1] dalam merespon peningkatan pengeluaran makanan-minuman lain & kenaikan harga sigaret kurang mempengaruhi [-1 < elastisitas < 0] terhadap penurunan permintaan.
5. Sigaret merupakan produk komplementer sehingga naik/ turun harga sigaret akan memicu penurunan/ kenaikan belanja produk makanan dan minuman lain. Sigaret tergolong barang normal [0 < elastisitas < 1] sehingga naik/ turun konsumsi searah dg naik/ turun pendapatan dan bersifat substitusi antar-produk dan golongan sigaret.
6. Rata-rata harga sigaret per batang Rp1.081; pengeluaran sigaret Rp18.995/ hari. Harga sigaret di Indonesia menempati urutan ke-7 termahal di dunia pada 2020 (hampir sama dengan USA dan lebih mahal dari Rusia, Korea Selatan, China, dan Jepang).
Dari sisi penawaran terkait dengan produksi sigaret berdasarkan jenis sigaret dan golongan skala usaha terhadap kebijakan cukai hasil tembakau, HJE (harga jual eceran) yaitu:
1. Relaksasi terhadap kebijakan cukai hasil tembakau, Pemerintah diharapkan tidak menaikkan HJE (harga jual eceran) dan cukai HT pada 2022 dan tidak membebankan kenaikan tersebut pada 2023 dan atau 2024. Alternatif, menaikkan hanya cukai HT 2022 untuk jenis sigaret SKM (Sigaret Kretek Mesin) dan SPM (Sigaret Putih Mesin) dengan maksimum 5 persen.
Kenaikan HJE akan mempengaruhi terhadap permintaan dan penawaran sigaret-rokok, termasuk kemungkinan semakin bertambah unit usaha pabrik sigaret-rokok yang tutup/ bangkrut (kehilangan peluang bisnis/ nilai tambah dan penyerapan tenaga kerja).
2. Simplifikasi terhadap struktur cukai hasil tembakau menjadi 7 (tujuh) kelas (layer) (SKM-SPM digabung menjadi satu golongan dengan 3 kelas dan SKT/ Sigaret Kretek Tangan yaitu tetap 4 kelas).
3. Mengubah batasan produksi SKM-SPM kelas 1 menjadi lebih dari 4 miliar btg/th, kelas 2a antara 2–4 miliar btg/th, dan kelas 2b di bawah 2 miliar btg/th sedangkan SKT kelas 1a dan 1b menjadi lebih dari 3 miliar btg/th, kelas 2 antara 1–3 miliar btg/th, dan kelas 3 di bawah 1 miliar btg/th.
4. Menyeimbangkan HJE dan cukai HT untuk setiap jenis sigaret (SKM–SPM dengan 3 kelas dan SKT dengan 4 kelas) terhadap masing-masing golongan kelas agar dapat mengoptimalkan penerimaan cukai hasil tembakau.
5. Kebijakan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) yang berlaku adalah sebesar 2 persen terhadap cukai HT dan hal itu perlu diubah untuk ditingkatkan menjadi 10 persen (komitmen awal antara Pemerintah Pusat, DPR RI, dan Pemerintah Provinsi sekitar 2005).
6. Pengaturan DBHCHT ini juga perlu diubah dengan memasukkan indikator keberadaan perkebunan cengkih dalam pembagian kepada pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten). Realokasi DBHCHT untuk bidang kesejahteraan rakyat (petani tembakau-cengkih dan IHT, termasuk iptek, SDM, kelembagaan ekonomi) minimum sebesar 50 persen bidang penegakan hukum dan penataan kebijakan maksimum sebesar 25 persen, dan bidang kesehatan (seluruh penyakit) dialokasikan dari Pajak Rokok Daerah/ PRD minimum sebesar 50 persen.
Rektor Unair Prof. Mohammad Nasih mengapresiasi dan memberikan penghargaan setinggi-tingginya kepada semua yang berkontribusi dalam penyelenggaraan acara yang sangat strategis dan penuh makna tersebut.
Menurutnya hal tersebut sejalan dengan ikhtiar Unair untuk selalu hadir dalam setiap persoalan.
"Unair akan berupaya untuk selalu memberikan makna bagi kehidupan umat manusia menuju indonesia maju, adil, dan beradab. Mari kita perjuangkan kesejahteraan rakyat dan keberadaban umat manusia," katanya.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2021