Presiden Joko Widodo berencana membentuk Kementerian Investasi dalam perombakan kabinet yang kabarnya akan dilakukan dalam waktu tidak lama lagi dan DPR RI juga telah menyetujui pembentukan Kementerian Investasi sebagai lembaga baru hasil pengembangan dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).

Mengenai teka-teka siapa yang bakal menjadi menteri investasi terus mengemuka. Sejumlah nama disebut, mulai dari Kepala BKPM Bahlil Lahadalia, politisi NasDem Rapsel Ali, hingga Ketua Serikat Nelayan Nahdlatul Ulama (SNNU) Witjaksono.

Anggota Komisi VI DPR RI yang membidang investasi, Mufti Anam, mengatakan pembentukan lembaga baru Kementerian Investasi patut didukung sebagai upaya mengakselerasi pertumbuhan sektor investasi yang terjaga cukup baik di masa pandemi Covid-19.

"Pandemi ibarat jeda sejenak, negara mana yang kemudian berlari lebih cepat dalam menggerakkan ekonomi melalui investasi, itu pemenangnya," ujar Mufti saat dihubungi di Surabaya, Selasa.

Soal siapa sosok yang layak menduduki posisi menteri investasi, politisi PDI Perjuangan itu menegaskan bahwa penunjukan menteri kabinet merupakan wewenang penuh Presiden Joko Widodo. Namun, Mufti menyebut ada sejumlah kriteria yang bisa dijadikan pertimbangan oleh Presiden Jokowi.

"Kalau soal nama, itu hak prerogatif presiden. Tapi, saya yakin presiden memilih sosok yang memang punya kriteria tertentu. Pertama, kompeten di sektor pengembangan investasi. Kedua, punya track record, terbukti bisa bekerja dan mau turun ke lapangan menyelesaikan masalah. Ketiga, mampu bekerja cepat karena kita memang membutuhkan banyak percepatan agar investasi bisa terus tumbuh membuka lapangan kerja,” jelas politisi muda itu.

Mufti Anam menjelaskan salah satu kunci pemulihan ekonomi di masa pandemi ini adalah meningkatnya investasi.

Pada tahun 2020, realisasi investasi di Tanah Air cukup baik meski kondisi masih pandemi, yaitu sekitar Rp826,3 triliun yang berarti naik dari tahun sebelumnya sejumlah Rp809,6 triliun. Investasi itu terdiri atas PMA (asing) 48,9 persen dan PMDN (dalam negeri) 50,1 persen.
 
Hal yang juga perlu menjadi catatan adalah mulai meratanya sasaran penanaman modal. Berdasarkan data BKPM, sepanjang 2016 hingga 2020, investasi di luar Jawa terus menggeliat.

Pada 2016, proporsi realisasi investasi di Jawa mencapai 53,6 persen, sedangkan di luar Jawa 46,4 persen. Dari tahun ke tahun, proporsi investasi di Jawa dan luar Jawa semakin seimbang, bahkan mulai terjadi pembalikan.

Pada 2020, investasi di luar Jawa tercatat 50,5 persen, sementara di Jawa mencapai 49,5 persen.

"Ke depan, ini harus terus dijaga, demi pemerataan ekonomi, demi lahirnya sentra-sentra baru pertumbuhan ekonomi, dan demi gagasan besar Indonesia Sentris, bukan Jawa Sentris yang dikumandangkan Presiden Jokowi," jelas politisi asal daerah pemilihan Pasuruan-Probolinggo, Jatim, tersebut.

Pewarta: Fiqih Arfani/DK

Editor : Didik Kusbiantoro


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2021