Permohonan perselisihan hasil Pilkada Surabaya yang diajukan pasangan Machfud Arifin dan Mujiaman tidak diterima Mahkamah Konstitusi karena tidak memenuhi persyaratan ambang batas selisih perolehan suara.
Dalam sidang pengucapan putusan dan ketetapan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa, yang disiarkan secara daring, Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul menyebutkan jumlah perbedaan perolehan suara antara pemohon dan pasangan calon peraih suara terbanyak adalah paling banyak 0,5 persen atau sebanyak 14.795 suara.
Sementara itu, selisih perolehan suara antara Machfud Arifin-Mujiaman dan Eri Cahyadi-Armuji adalah 145.746 suara atau sebesar 13,89 persen.
"Dengan demikian, selisih perolehan suara pemohon dengan peraih suara terbanyak, yaitu pasangan calon nomor urut 01 melebihi persentase sebagaimana dipersyaratkan dalam Pasal 158 Ayat (2) huruf d UU 10/2016," ujar Manahan M.P. Sitompul.
Selain itu, Mahkamah Konstitusi berpendapat dalil dan alat bukti milik Machfud Arifin dan Mujiaman tidak cukup memberikan keyakinan kepada majelis hakim untuk menyimpangi ketentuan pasal itu dan meneruskan ke pembuktian.
Untuk itu, walaupun permohonan yang diajukan merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi dan diajukan masih dalam tenggang waktu pengajuan permohonan, permohonan tidak dapat diterima karena pemohon tidak memiliki kedudukan hukum.
Adapun dalam permohonannya, pemohon menyebut terjadi pelanggaran yang dilakukan Pemerintah dan Wali Kota Surabaya untuk memenangkan pasangan calon nomor urut 01.
Kecurangan yang disebut pemohon, antara lain Tri Rismaharini yang saat itu masih menjabat sebagai wali kota seolah menjadi simbol pemenangan pasangan Eri Cahyadi-Armuji dengan menggunakan bantuan sosial pemerintah pusat untuk pemenangan serta memobilisasi rukun tetangga dan rukun warga melalui pembagian penghargaan.
Sementara itu, Pemerintah Kota Surabaya didalilkan di antaranya melakukan perbaikan terhadap fasilitas yang diajukan oleh warga pendukung pasangan Eri Cahyadi-Armuji, melakukan program pemberian makan gratis untuk pemilih lanjut usia dan memobilisasi aparatur sipil negara.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2021
Dalam sidang pengucapan putusan dan ketetapan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa, yang disiarkan secara daring, Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul menyebutkan jumlah perbedaan perolehan suara antara pemohon dan pasangan calon peraih suara terbanyak adalah paling banyak 0,5 persen atau sebanyak 14.795 suara.
Sementara itu, selisih perolehan suara antara Machfud Arifin-Mujiaman dan Eri Cahyadi-Armuji adalah 145.746 suara atau sebesar 13,89 persen.
"Dengan demikian, selisih perolehan suara pemohon dengan peraih suara terbanyak, yaitu pasangan calon nomor urut 01 melebihi persentase sebagaimana dipersyaratkan dalam Pasal 158 Ayat (2) huruf d UU 10/2016," ujar Manahan M.P. Sitompul.
Selain itu, Mahkamah Konstitusi berpendapat dalil dan alat bukti milik Machfud Arifin dan Mujiaman tidak cukup memberikan keyakinan kepada majelis hakim untuk menyimpangi ketentuan pasal itu dan meneruskan ke pembuktian.
Untuk itu, walaupun permohonan yang diajukan merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi dan diajukan masih dalam tenggang waktu pengajuan permohonan, permohonan tidak dapat diterima karena pemohon tidak memiliki kedudukan hukum.
Adapun dalam permohonannya, pemohon menyebut terjadi pelanggaran yang dilakukan Pemerintah dan Wali Kota Surabaya untuk memenangkan pasangan calon nomor urut 01.
Kecurangan yang disebut pemohon, antara lain Tri Rismaharini yang saat itu masih menjabat sebagai wali kota seolah menjadi simbol pemenangan pasangan Eri Cahyadi-Armuji dengan menggunakan bantuan sosial pemerintah pusat untuk pemenangan serta memobilisasi rukun tetangga dan rukun warga melalui pembagian penghargaan.
Sementara itu, Pemerintah Kota Surabaya didalilkan di antaranya melakukan perbaikan terhadap fasilitas yang diajukan oleh warga pendukung pasangan Eri Cahyadi-Armuji, melakukan program pemberian makan gratis untuk pemilih lanjut usia dan memobilisasi aparatur sipil negara.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2021