Pakar pertanian dan lingkungan dari Universitas Jember Dr. Luh Putu Suciati memaparkan penyebab banjir yang terjadi di Desa Wonoasri, yang merupakan kawasan penyangga hutan di Taman Nasional Meru Betiri, yakni karena tutupan lahan sudah mulai berkurang dan terjadi pembalakan liar.
"Tutupan lahanya sudah mulai berkurang. Lahan kritis di TN Meru Betiri cukup luas, yakni mencapai 2.700 hektare dan terjadi pembalakan liar, sehingga itulah yang mengakibatkan terjadinya banjir," katanya dalam rilis yang diterima ANTARA Jember, Jawa Timur, Minggu.
Menurutnya tiga daerah penyangga hutan, yakni Wonoasri, Curahnongko, dan Andongrejo, berada di sepanjang sub-daerah aliran sungai (DAS) Mayang yang berhulu di Gunung Meru yang berada di TN Meru Betiri.
"Gunung Meru sudah mulai gundul dan masyarakat banyak yang menebang pohon, kemudian mereka banyak menanam tanaman pangan, seperti padi dan jagung yang kurang kuat akarnya untuk menahan resapan air," tuturnya.
Ia mejelaskan pemerintah sudah membuatkan tanggul di sepanjang tiga desa penyangga hutan tersebut dan telah membuat Desa Tangguh Bencana yang masyarakatnya telah siap dengan bencana dan banjir.
"Saat ini curah hujan cukup ekstrem dan tutupan lahan di atas tidak bisa mengimbangi curah hujan yang cukup tinggi, sehingga Desa Wonoasri di Kecamatan Tempurejo setiap tahun selalu banjir," katanya.
Berdasarkan topografinya, lanjut dia, wilayah Desa Wonoasri seperti mangkok, sehingga jika hujan deras turun dari hulu, maka banjir akan menggenangi desa setempat, meskipun sedimentasi sudah dikeruk.
"Untuk itu perlu dilakukan perbaikan drainase yang mengalir di muara, yakni kawasan Bandealit, yang berada di TN Meru Betiri, karena letak Desa Wonoasri berada di tengah," katanya.
Sementara Kepala Balai Taman Nasional Meru Betiri Maman Surahman mengakui bahwa tutupan lahan di kawasan TN tersebut berkurang yang menjadi salah satu penyebab banjir di tiga desa penyangga hutan tersebut.
"Hutan sebagai penyangga atau penahan air saat musim hujan, namun sekarang tidak terjadi runoff (limpasan permukaan) untuk menekan banjir karena tutupan lahannya yang berkurang," tuturnya.
Ia mengatakan di beberapa tempat terutama di tiga desa yaitu Wonoasri, Curah Nongko dan Andongrejo merupakan wilayah yang tutupan lahannya mulai berkurang, sehingga pihaknya menggandeng masyarakat dan berbagai phak untuk berupaya memulihkan ekosistem hutan.
Sebelumnya banjir menerjang tujuh desa di tiga kecamatan di antaranya desa yang berada di kawasan penyangga hutan yakni Desa Wonoasri dan Curahnongko.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2021
"Tutupan lahanya sudah mulai berkurang. Lahan kritis di TN Meru Betiri cukup luas, yakni mencapai 2.700 hektare dan terjadi pembalakan liar, sehingga itulah yang mengakibatkan terjadinya banjir," katanya dalam rilis yang diterima ANTARA Jember, Jawa Timur, Minggu.
Menurutnya tiga daerah penyangga hutan, yakni Wonoasri, Curahnongko, dan Andongrejo, berada di sepanjang sub-daerah aliran sungai (DAS) Mayang yang berhulu di Gunung Meru yang berada di TN Meru Betiri.
"Gunung Meru sudah mulai gundul dan masyarakat banyak yang menebang pohon, kemudian mereka banyak menanam tanaman pangan, seperti padi dan jagung yang kurang kuat akarnya untuk menahan resapan air," tuturnya.
Ia mejelaskan pemerintah sudah membuatkan tanggul di sepanjang tiga desa penyangga hutan tersebut dan telah membuat Desa Tangguh Bencana yang masyarakatnya telah siap dengan bencana dan banjir.
"Saat ini curah hujan cukup ekstrem dan tutupan lahan di atas tidak bisa mengimbangi curah hujan yang cukup tinggi, sehingga Desa Wonoasri di Kecamatan Tempurejo setiap tahun selalu banjir," katanya.
Berdasarkan topografinya, lanjut dia, wilayah Desa Wonoasri seperti mangkok, sehingga jika hujan deras turun dari hulu, maka banjir akan menggenangi desa setempat, meskipun sedimentasi sudah dikeruk.
"Untuk itu perlu dilakukan perbaikan drainase yang mengalir di muara, yakni kawasan Bandealit, yang berada di TN Meru Betiri, karena letak Desa Wonoasri berada di tengah," katanya.
Sementara Kepala Balai Taman Nasional Meru Betiri Maman Surahman mengakui bahwa tutupan lahan di kawasan TN tersebut berkurang yang menjadi salah satu penyebab banjir di tiga desa penyangga hutan tersebut.
"Hutan sebagai penyangga atau penahan air saat musim hujan, namun sekarang tidak terjadi runoff (limpasan permukaan) untuk menekan banjir karena tutupan lahannya yang berkurang," tuturnya.
Ia mengatakan di beberapa tempat terutama di tiga desa yaitu Wonoasri, Curah Nongko dan Andongrejo merupakan wilayah yang tutupan lahannya mulai berkurang, sehingga pihaknya menggandeng masyarakat dan berbagai phak untuk berupaya memulihkan ekosistem hutan.
Sebelumnya banjir menerjang tujuh desa di tiga kecamatan di antaranya desa yang berada di kawasan penyangga hutan yakni Desa Wonoasri dan Curahnongko.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2021