Sebuah studi terbaru mengungkapkan bahwa pasien COVID-19 yang menerima plasma dari pasien yang pulih dari corona tidaklah menurunkan angka risiko kematian akibat penyakit tersebut.
Studi yang dilakukan oleh para peneliti di India dan dipublikasikan di "BMJ" meneliti 464 orang dengan COVID-19 sedang, artinya mereka adalah pasien dengan kadar saturasi oksigen 93 persen atau lebih rendah saat bernapas di dalam ruangan, kriteria jika seseorang yang terinfeksi SARS-CoV-2 harus dirawat di rumah sakit, karena itu saat di mana virus bisa menimbulkan penyakit.
Aparna Mukherjee, seorang ilmuwan epidemiologi dan penyakit menular di Dewan Riset Medis India, mencatat bahwa pasien dalam studinya kemungkinan akan dianggap sakit parah di negara lain, karena definisi penyakit sangat bervariasi di seluruh dunia.
Begitu sampai di rumah sakit, beberapa pasien dalam penelitian ini menerima dua dosis plasma penyembuhan dari mereka yang telah sembuh dari penyakit dan menyumbangkan darah kaya sel kekebalan mereka.
Dibandingkan dengan mereka yang dirawat dengan perawatan standar, pasien yang diberi plasa rupanya memiliki rerata kematian setelah 28 hari.
"Studi ini memiliki ukuran sampel yang besar dan menunjukkan bahwa ketika plasma diinfuskan pada pasien dengan COVID-19 sedang (serupa dengan yang parah di negara lain), itu tidak mengurangi kematian atau perkembangan menjadi COVID-19 yang lebih kritis," kata Aparna Mukherjee dikutip dari Time pada Senin.
Hasil studi ini menambah perdebatan berkelanjutan tentang seberapa berguna plasma penyembuhan kemungkinan bisa jadi pengobatan untuk COVID-19.
Plasma konvalesen adalah salah satu terapi tertua yang digunakan dokter dalam mengobati penyakit menular, berdasarkan gagasan bahwa orang yang terinfeksi dan pulih secara alami akan memiliki persediaan sel kekebalan yang tepat yang diperlukan untuk melawan virus atau bakteri tersebut.
Tetapi karena sistem kekebalan manusia sangat bervariasi, volume sel yang melawan penyakit juga tidak dapat diprediksi, dan dapat berkisar dari tingkat yang hampir tidak memadai hingga sumber sel kekebalan yang sangat kaya.
Variabilitas tersebut menyebabkan hasil yang bertentangan pada keefektifan terapi, termasuk dalam penelitian ini, yang menggunakan plasma donor dari orang yang sakit selama rata-rata enam hari dengan apa yang penulis gambarkan sebagai penyakit ringan. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2020
Studi yang dilakukan oleh para peneliti di India dan dipublikasikan di "BMJ" meneliti 464 orang dengan COVID-19 sedang, artinya mereka adalah pasien dengan kadar saturasi oksigen 93 persen atau lebih rendah saat bernapas di dalam ruangan, kriteria jika seseorang yang terinfeksi SARS-CoV-2 harus dirawat di rumah sakit, karena itu saat di mana virus bisa menimbulkan penyakit.
Aparna Mukherjee, seorang ilmuwan epidemiologi dan penyakit menular di Dewan Riset Medis India, mencatat bahwa pasien dalam studinya kemungkinan akan dianggap sakit parah di negara lain, karena definisi penyakit sangat bervariasi di seluruh dunia.
Begitu sampai di rumah sakit, beberapa pasien dalam penelitian ini menerima dua dosis plasma penyembuhan dari mereka yang telah sembuh dari penyakit dan menyumbangkan darah kaya sel kekebalan mereka.
Dibandingkan dengan mereka yang dirawat dengan perawatan standar, pasien yang diberi plasa rupanya memiliki rerata kematian setelah 28 hari.
"Studi ini memiliki ukuran sampel yang besar dan menunjukkan bahwa ketika plasma diinfuskan pada pasien dengan COVID-19 sedang (serupa dengan yang parah di negara lain), itu tidak mengurangi kematian atau perkembangan menjadi COVID-19 yang lebih kritis," kata Aparna Mukherjee dikutip dari Time pada Senin.
Hasil studi ini menambah perdebatan berkelanjutan tentang seberapa berguna plasma penyembuhan kemungkinan bisa jadi pengobatan untuk COVID-19.
Plasma konvalesen adalah salah satu terapi tertua yang digunakan dokter dalam mengobati penyakit menular, berdasarkan gagasan bahwa orang yang terinfeksi dan pulih secara alami akan memiliki persediaan sel kekebalan yang tepat yang diperlukan untuk melawan virus atau bakteri tersebut.
Tetapi karena sistem kekebalan manusia sangat bervariasi, volume sel yang melawan penyakit juga tidak dapat diprediksi, dan dapat berkisar dari tingkat yang hampir tidak memadai hingga sumber sel kekebalan yang sangat kaya.
Variabilitas tersebut menyebabkan hasil yang bertentangan pada keefektifan terapi, termasuk dalam penelitian ini, yang menggunakan plasma donor dari orang yang sakit selama rata-rata enam hari dengan apa yang penulis gambarkan sebagai penyakit ringan. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2020