Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa menyarankan produk-produk bantuan sosial untuk masyarakat tidak menyertakan susu kental manis bagi bayi, karena dapat mempengaruhi kebutuhan gizi anak.
“Selama masa pandemi ini, di dalam bantuan sosial pastikan tidak ada produk-produk yang tidak mendukung kebutuhan gizi anak, seperti susu kental manis,” ujarnya di sela menjadi pembicara pada webinar nasional Yayasan Abhipraya Insan Cendekia Indonesia (YAICI) bersama PP Muslimat NU, Selasa.
Menurut dia, produk yang diberikan ke masyarakat harus berkomposisi gizi seimbang untuk memenuhi kebutuhan protein keluarga, salah satunya telur.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muslimat Nahdlatul Ulama tersebut juga mengakui masih tingginya angka stunting atau kekerdilan di Jawa Timur.
Data dari Pemprov Jatim berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, prevalensi stunting Jatim saat ini tidak terpaut jauh dari angka nasional, yaitu mencapai 26,91 persen dengan risiko stunting tertinggi di Kabupaten Probolinggo, Trenggalek, Jember, Bondowoso, dan Pacitan.
Menurut dia, ini menjadi pekerjaan rumah bersama, mengingat di dalam peta jalan penurunan stunting, pada 2024 harapannya bisa di bawah 25 persen.
Sementara itu, dr Ranti Astria Hannah, Sp.A sebagai perwakilan ibu milenial dalam kesempatan itu mengingatkan para ibu agar tidak memberikan susu kental manis untuk bayi dan sebagai Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MPASI).
Ia menjelaskan bayi memiliki preferensi rasa manis dan juga asin. "Jadi, bila sudah diberikan makanan dengan gula berlebihan sejak dini, semakin besar akan menyukai rasa lebih manis lagi, sehingga seiring bertambah besar semakin tinggi gula yang dikonsumsi," katanya.
Kendati sejak 2018 BPOM telah melarang penggunaan kental manis untuk anak serta mengatur tentang label dan promosinya melalui PerBPOM Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan, masih banyak masyarakat tidak terinformasi mengenai hal tersebut.
"Maka, tidak heran masih ditemukan balita-balita dengan gizi buruk yang juga mengonsumsi kental manis," katanya.
Pada kesempatan itu, Ketua VII PP Muslimat NU Erna Soefihara mengatakan kurangnya pengetahuan dan tingkat ekonomi menjadi alasan anak-anak diberikan kental manis.
"Seperti kejadian yang kami temukan saat turun ke masyarakat, anak dari umur 2 bulan dikasih susu kental manis dan menjadi ketergantungan," tuturnya. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2020
“Selama masa pandemi ini, di dalam bantuan sosial pastikan tidak ada produk-produk yang tidak mendukung kebutuhan gizi anak, seperti susu kental manis,” ujarnya di sela menjadi pembicara pada webinar nasional Yayasan Abhipraya Insan Cendekia Indonesia (YAICI) bersama PP Muslimat NU, Selasa.
Menurut dia, produk yang diberikan ke masyarakat harus berkomposisi gizi seimbang untuk memenuhi kebutuhan protein keluarga, salah satunya telur.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muslimat Nahdlatul Ulama tersebut juga mengakui masih tingginya angka stunting atau kekerdilan di Jawa Timur.
Data dari Pemprov Jatim berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, prevalensi stunting Jatim saat ini tidak terpaut jauh dari angka nasional, yaitu mencapai 26,91 persen dengan risiko stunting tertinggi di Kabupaten Probolinggo, Trenggalek, Jember, Bondowoso, dan Pacitan.
Menurut dia, ini menjadi pekerjaan rumah bersama, mengingat di dalam peta jalan penurunan stunting, pada 2024 harapannya bisa di bawah 25 persen.
Sementara itu, dr Ranti Astria Hannah, Sp.A sebagai perwakilan ibu milenial dalam kesempatan itu mengingatkan para ibu agar tidak memberikan susu kental manis untuk bayi dan sebagai Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MPASI).
Ia menjelaskan bayi memiliki preferensi rasa manis dan juga asin. "Jadi, bila sudah diberikan makanan dengan gula berlebihan sejak dini, semakin besar akan menyukai rasa lebih manis lagi, sehingga seiring bertambah besar semakin tinggi gula yang dikonsumsi," katanya.
Kendati sejak 2018 BPOM telah melarang penggunaan kental manis untuk anak serta mengatur tentang label dan promosinya melalui PerBPOM Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan, masih banyak masyarakat tidak terinformasi mengenai hal tersebut.
"Maka, tidak heran masih ditemukan balita-balita dengan gizi buruk yang juga mengonsumsi kental manis," katanya.
Pada kesempatan itu, Ketua VII PP Muslimat NU Erna Soefihara mengatakan kurangnya pengetahuan dan tingkat ekonomi menjadi alasan anak-anak diberikan kental manis.
"Seperti kejadian yang kami temukan saat turun ke masyarakat, anak dari umur 2 bulan dikasih susu kental manis dan menjadi ketergantungan," tuturnya. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2020