Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Trowulan bersama Dinas Kebudayaan dan Pariwisata berhasil mengidentifikasi benda cagar budaya berbentuk fragmen arca kala (manusia raksasa simbol kejahatan) yang diduga peninggalan zaman Kerajaan Singasari di area permukiman padat penduduk Desa Sidorejo, Tulungagung, Jawa Timur, Jumat.
Saat dikunjungi perwakilan BPCB Trowulan di Tulungagung, dua pecahan patung kepala bethara kala itu teronggok begitu saja di atas tanah pekarangan warga.
Posisinya setengah timbul ke permukaan. Komunitas pecinta budaya Asta Gayatri sebelumnya sempat melakukan sedikit penggalian untuk melihat kedalaman benda cagar budaya diduga berusia ratusan tahun tersebut.
Fragmen kala pertama yang dikunjungi perwakilan tim BPCB, dinas Budpar dan Komunitas Pecinta Cagar Budaya "Asta Gayatri" berada di rumah Sunarmi.
Fragmen atau pecahan patung kepala kala terlihat pecah di sisi kepala atas. Berukuran panjang 110 sentimeter, lebar 140 centimeter, dan tebal 30 centimeter.
Petugas lalu melakukan pengukuran menggunakan tongkat berskala dan mencatatnya untuk mengisi formulir pelaporan ke BPCB Trowulan yang berpusat di Kabupaten Mojokerto.
"Kami menindaklanjuti laporan komunitas Asta Gayatri bahwa ada temuan (benda cagar budaya), sebenarnya bukan temuan (baru) ya. Karena warga sudah tahu sejak lama namun baru dilaporkan sekarang," kata staf BPCB Trowulan di Tulungagung, Haryadi mengawali penjelasannya.
Setelah diperiksa, Haryadi menyatakan fragmen arca kala itu diduga memang benda cagar budaya dari zaman Kerajaan Singasari.
Namun untuk memastikan, pihaknya bersama Dinas Budpar Tulungagung berencana melaporkan hasil identifikasi itu ke BPCB Trowulan di Mojokerto.
Fragmen cagar budaya yang diperiksa pun tak hanya satu. Tak jauh dari fragmen arca kala pertama, sekitar 50 meter, juga terdapat fragmen sejenis dengan ukuran lebih kecil dengan panjang 85 centimeter, lebar 110 centimeter dan tebal sekitar 26 centimeter.
Jika pada temuan pertama fragmen arcakala berbahan batuan kapur hanya terdapat satu mata (bagian mata sebelah ke atas hilang), pada fragmen kedua sepasang mata masih utuh namun dengan bagian atas telah hilang/rusak.
"Temuan seperti ini sebelumnya sudah pernah ditemukan di daerah Kauman, sekitar sini berbentuk dua buah arca kala dan sekarang disimpan di Museum Tulungagung. Sekarang ditemukan lagi dua, sehingga kalau ahli sejarah seperti Pak Dwi (Prof Dwi Cahyono) menyebut dalam situs bangunan suci kuno, selalu ada enam arca kala yang dipasang. Sehingga dengan temuan ini, masih ada dua arca kala yang masih misterius," kata Haryadi.
Kasi Pelestarian Sejarah Purbakala Disbudpar Tulungagung Winarto menyatakan, pihaknya masih akan melaporkan terlebih dulu hasil identifikasi arca kala itu ke BPCB Trowulan untuk diteliti lebih lanjut.
"Karena kami belum memiliki tim arkeolog sendiri, temuan atau hasil identifikasi ini akan kami laporkan lebih dulu ke BPCB Trowulan. Apakah (ini) benar benda purbakala atau bukan," kata Winarto.
Ia memastikan belum akan ada eskavasi sampai hasil penelitian dilakukan dan hasil kajian disampaikan ke Pemkab Tulungagung.
Pemeliharaan kedua benda cagar budaya itu dengan demikian sementara dipercayakan ke pihak pemilik rumah/pekarangan sampai tim arkolog BPCB Trowulan tiba melakukan penelitian secara mendalam.
Disebut Haryadi yang mengutip pernyataan arkeolog Prof. Dr Dwi Cahyono dari Universitas Brawijaya, bahwa ada prasasti Mola Malurung peninggalan zaman Kerajaan Singasari yang menyebut di wilayah Kalangbret (nama kota kuno di daerah Kecamatan Kauman, Tulungagung) pernah didirikan sebuah candi besar tempat suci untuk pendarmaan para punggawa dan kerabat kerajaan Singasari yang tempatnya ada di daerah Kalang (Kalangbret).
Temuan sejumlah arca kala ini disebut Haryadi maupun Prof. Dwi Cahyono sebagai bukti petunjuk awal bahwa keberadaan candi suci di sekitar daerah Kalangbret, khususnya di Desa Sidorejo mulai terkonfirmasi.
Sayangnya daerah itu kini telah berubah menjadi pemukiman padat penduduk sehingga bakal menyulitkan jika suatu saat pemerintah berniat melakukan eskavasi besar-besaran demi menemukan jejak peradaban sejarah yang menjadi cikal-bakal berdirinya Kabupaten Tulungagung itu.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2020
Saat dikunjungi perwakilan BPCB Trowulan di Tulungagung, dua pecahan patung kepala bethara kala itu teronggok begitu saja di atas tanah pekarangan warga.
Posisinya setengah timbul ke permukaan. Komunitas pecinta budaya Asta Gayatri sebelumnya sempat melakukan sedikit penggalian untuk melihat kedalaman benda cagar budaya diduga berusia ratusan tahun tersebut.
Fragmen kala pertama yang dikunjungi perwakilan tim BPCB, dinas Budpar dan Komunitas Pecinta Cagar Budaya "Asta Gayatri" berada di rumah Sunarmi.
Fragmen atau pecahan patung kepala kala terlihat pecah di sisi kepala atas. Berukuran panjang 110 sentimeter, lebar 140 centimeter, dan tebal 30 centimeter.
Petugas lalu melakukan pengukuran menggunakan tongkat berskala dan mencatatnya untuk mengisi formulir pelaporan ke BPCB Trowulan yang berpusat di Kabupaten Mojokerto.
"Kami menindaklanjuti laporan komunitas Asta Gayatri bahwa ada temuan (benda cagar budaya), sebenarnya bukan temuan (baru) ya. Karena warga sudah tahu sejak lama namun baru dilaporkan sekarang," kata staf BPCB Trowulan di Tulungagung, Haryadi mengawali penjelasannya.
Setelah diperiksa, Haryadi menyatakan fragmen arca kala itu diduga memang benda cagar budaya dari zaman Kerajaan Singasari.
Namun untuk memastikan, pihaknya bersama Dinas Budpar Tulungagung berencana melaporkan hasil identifikasi itu ke BPCB Trowulan di Mojokerto.
Fragmen cagar budaya yang diperiksa pun tak hanya satu. Tak jauh dari fragmen arca kala pertama, sekitar 50 meter, juga terdapat fragmen sejenis dengan ukuran lebih kecil dengan panjang 85 centimeter, lebar 110 centimeter dan tebal sekitar 26 centimeter.
Jika pada temuan pertama fragmen arcakala berbahan batuan kapur hanya terdapat satu mata (bagian mata sebelah ke atas hilang), pada fragmen kedua sepasang mata masih utuh namun dengan bagian atas telah hilang/rusak.
"Temuan seperti ini sebelumnya sudah pernah ditemukan di daerah Kauman, sekitar sini berbentuk dua buah arca kala dan sekarang disimpan di Museum Tulungagung. Sekarang ditemukan lagi dua, sehingga kalau ahli sejarah seperti Pak Dwi (Prof Dwi Cahyono) menyebut dalam situs bangunan suci kuno, selalu ada enam arca kala yang dipasang. Sehingga dengan temuan ini, masih ada dua arca kala yang masih misterius," kata Haryadi.
Kasi Pelestarian Sejarah Purbakala Disbudpar Tulungagung Winarto menyatakan, pihaknya masih akan melaporkan terlebih dulu hasil identifikasi arca kala itu ke BPCB Trowulan untuk diteliti lebih lanjut.
"Karena kami belum memiliki tim arkeolog sendiri, temuan atau hasil identifikasi ini akan kami laporkan lebih dulu ke BPCB Trowulan. Apakah (ini) benar benda purbakala atau bukan," kata Winarto.
Ia memastikan belum akan ada eskavasi sampai hasil penelitian dilakukan dan hasil kajian disampaikan ke Pemkab Tulungagung.
Pemeliharaan kedua benda cagar budaya itu dengan demikian sementara dipercayakan ke pihak pemilik rumah/pekarangan sampai tim arkolog BPCB Trowulan tiba melakukan penelitian secara mendalam.
Disebut Haryadi yang mengutip pernyataan arkeolog Prof. Dr Dwi Cahyono dari Universitas Brawijaya, bahwa ada prasasti Mola Malurung peninggalan zaman Kerajaan Singasari yang menyebut di wilayah Kalangbret (nama kota kuno di daerah Kecamatan Kauman, Tulungagung) pernah didirikan sebuah candi besar tempat suci untuk pendarmaan para punggawa dan kerabat kerajaan Singasari yang tempatnya ada di daerah Kalang (Kalangbret).
Temuan sejumlah arca kala ini disebut Haryadi maupun Prof. Dwi Cahyono sebagai bukti petunjuk awal bahwa keberadaan candi suci di sekitar daerah Kalangbret, khususnya di Desa Sidorejo mulai terkonfirmasi.
Sayangnya daerah itu kini telah berubah menjadi pemukiman padat penduduk sehingga bakal menyulitkan jika suatu saat pemerintah berniat melakukan eskavasi besar-besaran demi menemukan jejak peradaban sejarah yang menjadi cikal-bakal berdirinya Kabupaten Tulungagung itu.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2020