KPK menyampaikan tujuh rekomendasi pelaksanaan Kartu Prakerja yang terkait dengan empat aspek pelaksanaan program dengan total anggaran Rp20 triliun tersebut.
"KPK telah menyelesaikan kajian Program Kartu Prakerja sebagai bagian dari pelaksanaan tugas 'monitoring' KPK dan kami menemukan sejumlah permasalahan dalam empat aspek terkait tata laksana sehingga pemerintah perlu melakukan perbaikan dalam implementasi program tersebut. Kami merekomendasikan kepada pemerintah melakukan hal-hal berikut," kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata di gedung KPK Jakarta, Kamis.
Alexander menyampaikan hal tersebut dalam konferensi pers yang juga dihadiri Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan dan Plt Juru Bicara bidang Pencegahan KPK Ipi Maryati Kuding terkait hasil kajian Program Kartu Prakerja.
Dasar hukum pelaksanaan Kartu Prakerja adalah Peraturan Presiden No 36 Tahun 2020 tentang Pengembangan Kompetensi Melalui Program Kartu Prakerja dengan total anggaran senilai Rp20 triliun yang ditujukan untuk 5,6 juta penerima manfaat.
Rekomendasi pertama terkait dengan proses pendaftaran.
"Rekomendasi pertama, peserta yang disasar pada 'whitelist', tidak perlu mendaftar daring melainkan dihubungi manajemen pelaksana sebagai peserta program," ungkap Alexander.
Alasannya, Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) dan BPJS Ketenagakerjaan telah mengkompilasi data pekerja yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja dan sudah dipadankan NIK-nya dengan hasil akhir 1,7 juta orang pekerja terdampak (masuk 'whitelist'). Faktanya hanya sebagian kecil dari "whitelist" tersebut yang mendaftar secara daring yaitu hanya 143 ribu orang.
Sedangkan, sebagian besar peserta yang mendaftar untuk 3 gelombang yaitu 9,4 juta pendaftar bukanlah target yang disasar oleh program tersebut.
Manajemen Pelaksana Kartu Pra Kerja juga menggunakan fitur "face recognation" untuk kepentingan pengenalan peserta dengan anggaran Rp30,8 miliar sangat tidak efisien. Penggunaan NIK dan keanggotaan BP Jamsostek sudah memadai.
"Rekomendasi kedua, cukup menggunakan NIK (Nomor Induk Kependudukan) sebagai identifikasi peserta sudah memadai, tidak perlu dilakukan penggunaan fitur lain yang mengakibatkan penambahan biaya," ungkap Alex.
Selanjutnya terkait dengan erja sama dengan 8 "platform" digital tidak melalui mekanisme Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (PBJ).
"Ketiga, agar komite meminta 'legal opinion' ke Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) Kejaksaan Agung RI tentang kerja sama dengan 8 'platform' digital ini apakah termasuk dalam cakupan PBJ pemerintah," tambah Alex.
Ke-8 "platform" digital Kartu Prakerja yaitu Tokopedia, Bukalapak, Pijar Mahir, Sekolah.mu, Pintaria, Skill Academy, MauBelajarApa dan Kementerian Tenaga Kerja.
"Terdapat konflik kepentingan pada 5 dari 8 Platform Digital dengan Lembaga Penyedia Pelatihan. Sebanyak 250 pelatihan dari 1.895 pelatihan yang tersedia adalah milik Lembaga Penyedia Pelatihan yang memiliki konflik kepentingan dengan 'platform' digital," ungkap Alex.
Kelimanya adalah Skill Akademy (Ruangguru); Pintaria (HarukaEdu), Sekolahmu, MauBelajarApa.com dan Pijar Mahir. Konflik kepentingan terjadi karena lembaga pelatihan juga merupakan "platform" digital atau kolaborator dalam program Kartu Prakerja.
"Rekomendasi keempat, 'platform' Digital tidak boleh memiliki konflik kepentingan dengan Lembaga Penyedia Pelatihan. Dengan demikian 250 pelatihan yang terindikasi harus dihentikan penyediaannya," tegas Alexander.
Selanjutnya terkait dengan kurasi materi pelatihan menurut KPK tidak dilakukan dengan kompetensi yang memadai karena pelatihan yang memenuhi syarat baik materi maupun penyampaian secara daring hanya 13 persen dari 1.895 pelatihan.
"Dari 1.895 pelatihan kita ambil contoh 327 pelatihan secara acak lalu kita cek di internet ada tidak yang menyediakan secara gratis?Ternyata 89 persen ada! Nama dan kontennya saja yang berbeda, jadi hanya 11 pesen dari pelatihan yang benar-benar pantas dibayar atau hanya sekitar 200 pelatihan," kata Pahala.
Artinya sudah ada 250 pelatihan yang dikeluarkan lalu hanya 11 persen pelatihan yang layak dibayar karena 89 persen pelatihan ditemukan secara gratis di internet.
"Kelima, kurasi materi pelatihan dan kelayakannya untuk menentukan apakah dilakukan secara daring, agar melibatkan pihak-pihak yang kompeten dalam area pelatihan serta dituangkan dalam bentuk petunjuk teknis," tegas Alexander.
Rekomendasi keenam, materi pelatihan yang teridentifikasi sebagai pelatihan yang gratis melalui jejaring internet, harus dikeluarkan dari daftar pelatihan yang disediakan Lembaga Pelatihan termasuk di laman prakerja.org.
Selanjutnya terkait dengan metode pelaksanaan program pelatihan secara daring berpotensi fiktif, tidak efektif dan merugikan keuangan negara karena metode pelatihan hanya satu arah dan tidak memiliki mekanisme kontrol atas penyelesaian pelatihan yang sesungguhnya oleh peserta.
Hal ini terjadi karena Lembaga Pelatihan sudah menerbitkan sertifikat meskipun peserta belum menyelesaikan keseluruhan paket pelatihan yang telah dipilih dan peserta sudah mendapatkan insentif meskipun belum menyelesaikan seluruh pelatihan yang sudah dibeli sehingga negara tetap membayar pelatihan yang tidak diikuti oleh peserta.
"Rekomendasi ketujuh adalah pelaksanaan pelatihan daring harus memiliki mekanisme kontrol agar tidak fiktif, misalnya pelatihan harus interaktif sehingga bisa menjamin peserta yang mengikuti pelatihan mengikuti keseluruhan paket," ungkap Alexander.
Menurut Alexander, ketujuh rekomendasi tersebut telah dipaparkan kepada Kemenko Perekonomian dan pemangku kepentingan terkait lainnya dalam rapat pada 28 Mei 2020 dan Kemenko Perekonomian sepakat untuk melakukan perbaikan tata kelola Program Kartu Prakerja berdasarkan rekomendasi.
"Kemenko Perekonomian juga sepakat menunda pelaksanaan batch IV sampai dengan dilaksanakan perbaikan tata kelola Program Kartu Prakerja; membentuk tim teknis yang terdiri dari berbagai kementerian/lembaga untuk perbaikan tata kelola Program Kartu Prakerja; dan meminta pendapat hukum kepada Jamdatun terkait pelaksanaan Program Kartu Prakerja," jelas Alexander. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2020
"KPK telah menyelesaikan kajian Program Kartu Prakerja sebagai bagian dari pelaksanaan tugas 'monitoring' KPK dan kami menemukan sejumlah permasalahan dalam empat aspek terkait tata laksana sehingga pemerintah perlu melakukan perbaikan dalam implementasi program tersebut. Kami merekomendasikan kepada pemerintah melakukan hal-hal berikut," kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata di gedung KPK Jakarta, Kamis.
Alexander menyampaikan hal tersebut dalam konferensi pers yang juga dihadiri Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan dan Plt Juru Bicara bidang Pencegahan KPK Ipi Maryati Kuding terkait hasil kajian Program Kartu Prakerja.
Dasar hukum pelaksanaan Kartu Prakerja adalah Peraturan Presiden No 36 Tahun 2020 tentang Pengembangan Kompetensi Melalui Program Kartu Prakerja dengan total anggaran senilai Rp20 triliun yang ditujukan untuk 5,6 juta penerima manfaat.
Rekomendasi pertama terkait dengan proses pendaftaran.
"Rekomendasi pertama, peserta yang disasar pada 'whitelist', tidak perlu mendaftar daring melainkan dihubungi manajemen pelaksana sebagai peserta program," ungkap Alexander.
Alasannya, Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) dan BPJS Ketenagakerjaan telah mengkompilasi data pekerja yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja dan sudah dipadankan NIK-nya dengan hasil akhir 1,7 juta orang pekerja terdampak (masuk 'whitelist'). Faktanya hanya sebagian kecil dari "whitelist" tersebut yang mendaftar secara daring yaitu hanya 143 ribu orang.
Sedangkan, sebagian besar peserta yang mendaftar untuk 3 gelombang yaitu 9,4 juta pendaftar bukanlah target yang disasar oleh program tersebut.
Manajemen Pelaksana Kartu Pra Kerja juga menggunakan fitur "face recognation" untuk kepentingan pengenalan peserta dengan anggaran Rp30,8 miliar sangat tidak efisien. Penggunaan NIK dan keanggotaan BP Jamsostek sudah memadai.
"Rekomendasi kedua, cukup menggunakan NIK (Nomor Induk Kependudukan) sebagai identifikasi peserta sudah memadai, tidak perlu dilakukan penggunaan fitur lain yang mengakibatkan penambahan biaya," ungkap Alex.
Selanjutnya terkait dengan erja sama dengan 8 "platform" digital tidak melalui mekanisme Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (PBJ).
"Ketiga, agar komite meminta 'legal opinion' ke Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) Kejaksaan Agung RI tentang kerja sama dengan 8 'platform' digital ini apakah termasuk dalam cakupan PBJ pemerintah," tambah Alex.
Ke-8 "platform" digital Kartu Prakerja yaitu Tokopedia, Bukalapak, Pijar Mahir, Sekolah.mu, Pintaria, Skill Academy, MauBelajarApa dan Kementerian Tenaga Kerja.
"Terdapat konflik kepentingan pada 5 dari 8 Platform Digital dengan Lembaga Penyedia Pelatihan. Sebanyak 250 pelatihan dari 1.895 pelatihan yang tersedia adalah milik Lembaga Penyedia Pelatihan yang memiliki konflik kepentingan dengan 'platform' digital," ungkap Alex.
Kelimanya adalah Skill Akademy (Ruangguru); Pintaria (HarukaEdu), Sekolahmu, MauBelajarApa.com dan Pijar Mahir. Konflik kepentingan terjadi karena lembaga pelatihan juga merupakan "platform" digital atau kolaborator dalam program Kartu Prakerja.
"Rekomendasi keempat, 'platform' Digital tidak boleh memiliki konflik kepentingan dengan Lembaga Penyedia Pelatihan. Dengan demikian 250 pelatihan yang terindikasi harus dihentikan penyediaannya," tegas Alexander.
Selanjutnya terkait dengan kurasi materi pelatihan menurut KPK tidak dilakukan dengan kompetensi yang memadai karena pelatihan yang memenuhi syarat baik materi maupun penyampaian secara daring hanya 13 persen dari 1.895 pelatihan.
"Dari 1.895 pelatihan kita ambil contoh 327 pelatihan secara acak lalu kita cek di internet ada tidak yang menyediakan secara gratis?Ternyata 89 persen ada! Nama dan kontennya saja yang berbeda, jadi hanya 11 pesen dari pelatihan yang benar-benar pantas dibayar atau hanya sekitar 200 pelatihan," kata Pahala.
Artinya sudah ada 250 pelatihan yang dikeluarkan lalu hanya 11 persen pelatihan yang layak dibayar karena 89 persen pelatihan ditemukan secara gratis di internet.
"Kelima, kurasi materi pelatihan dan kelayakannya untuk menentukan apakah dilakukan secara daring, agar melibatkan pihak-pihak yang kompeten dalam area pelatihan serta dituangkan dalam bentuk petunjuk teknis," tegas Alexander.
Rekomendasi keenam, materi pelatihan yang teridentifikasi sebagai pelatihan yang gratis melalui jejaring internet, harus dikeluarkan dari daftar pelatihan yang disediakan Lembaga Pelatihan termasuk di laman prakerja.org.
Selanjutnya terkait dengan metode pelaksanaan program pelatihan secara daring berpotensi fiktif, tidak efektif dan merugikan keuangan negara karena metode pelatihan hanya satu arah dan tidak memiliki mekanisme kontrol atas penyelesaian pelatihan yang sesungguhnya oleh peserta.
Hal ini terjadi karena Lembaga Pelatihan sudah menerbitkan sertifikat meskipun peserta belum menyelesaikan keseluruhan paket pelatihan yang telah dipilih dan peserta sudah mendapatkan insentif meskipun belum menyelesaikan seluruh pelatihan yang sudah dibeli sehingga negara tetap membayar pelatihan yang tidak diikuti oleh peserta.
"Rekomendasi ketujuh adalah pelaksanaan pelatihan daring harus memiliki mekanisme kontrol agar tidak fiktif, misalnya pelatihan harus interaktif sehingga bisa menjamin peserta yang mengikuti pelatihan mengikuti keseluruhan paket," ungkap Alexander.
Menurut Alexander, ketujuh rekomendasi tersebut telah dipaparkan kepada Kemenko Perekonomian dan pemangku kepentingan terkait lainnya dalam rapat pada 28 Mei 2020 dan Kemenko Perekonomian sepakat untuk melakukan perbaikan tata kelola Program Kartu Prakerja berdasarkan rekomendasi.
"Kemenko Perekonomian juga sepakat menunda pelaksanaan batch IV sampai dengan dilaksanakan perbaikan tata kelola Program Kartu Prakerja; membentuk tim teknis yang terdiri dari berbagai kementerian/lembaga untuk perbaikan tata kelola Program Kartu Prakerja; dan meminta pendapat hukum kepada Jamdatun terkait pelaksanaan Program Kartu Prakerja," jelas Alexander. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2020