Banjir yang melanda sebagian wilayah DKI Jakarta pada pergantian tahun 2019 ke 2020 menyebabkan ribuan rumah warga dan jalur transportasi tergenang. 

Dalam kondisi banjir, warga harus mencari moda transportasi yang aman untuk mencapai tujuan dan Moda Raya Terpadu (MRT) yang jalurnya membelah wilayah Ibu Kota dari daerah Bundaran Hotel Indonesia hingga Lebak Bulus di bagian selatan Jakarta bisa menjadi salah satu pilihan.

"Normal semuanya, tidak ada fungsi yang rusak atau terganggu," kata Sekretaris Perusahaan PT MRT Jakarta Muhammad Kamaluddin kepada ANTARA pada 3 Januari 2020, dua hari setelah sebagian wilayah Jakarta kebanjiran.

Nihilnya gangguan operasi MRT selama banjir bukan tanpa alasan. Menurut Direktur Operasi dan Pemeliharaan PT MRT Jakarta Muhammad Effendi, sejak awal perusahaan memang sudah mempersiapkan langkah mitigasi untuk menghadapi potensi bencana.

Pengoperasian MRT dirancang dengan memperhatikan data banjir di DKI Jakarta dalam 200 tahun terakhir. Hal itu antara lain tampak dari rancangan pintu depan stasiun bawah tanah MRT seperti di Stasiun Bundaran HI, yang dilengkapi dengan tangga yang dirancang untuk memastikan air tidak masuk ke dalam.

Penghalang datar juga juga dipasang di setiap stasiun untuk mencegah air masuk, terutama di Stasiun Bundaran HI dan Dukuh Atas yang posisinya lebih rendah dari permukaan sungai.

"Dari desainnya sudah sangat aman, secara teori air banjir itu tidak mungkin masuk," kata Effendi.

Selain itu, saat memasuki musim hujan MRT Jakarta berupaya memastikan saluran drainase di sekitar stasiun berfungsi baik. Perusahaan bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk membersihkan saluran pembuangan air.

MRT Jakarta juga memasang alat pendeteksi banjir di Kanal Banjir Barat, yang akan mengirimkan tanda bahaya. Jika air berada di atas ambang normal maka Operation Control Center (OCC) MRT di Lebak Bulus akan bersiap.

MRT Jakarta, menurut Effendi, sudah bersiap menghadapi skenario terburuk saat banjir.

Tak hanya banjir, PT MRT Jakarta juga sudah menyiapkan skenario untuk menghadapi gempa bumi mengingat wilayah Indonesia berada di daerah Cincin Api Pasifik sehingga rentan mengalami gempa bumi dan letusan gunung berapi.

Guna menghadapi gempa, MRT sudah mempersiapkan standar prosedur operasional untuk menghentikan kereta jika terjadi guncangan. OCC akan menginformasikan keamanan jalur lintas kereta sebelum keputusan untuk evakuasi diambil.

Effendi memastikan keamanan semua fasilitas MRT, termasuk terowongan yang digunakan Ratangga, sebutan kereta MRT, untuk menghadapi gempa dengan skala besar sekalipun.

"Berdasarkan desain, itu bisa tahan untuk skala tinggi. Berdasarkan simulasi kita bisa menghadapi skala 8 sampai dengan 9 skala Richter," kata Effendi.
 
Sejumlah penumpang MRT dievakuasi saat jaringan listrik padam di Jakarta, Minggu (4/8/2019). Gangguan listrik yang melanda Ibu Kota berdampak pada terhentinya operasi MRT Jakarta. (ANTARA FOTO/Handout/MRT Jakarta/pras)


Bersiap Menghadapi Bencana

MRT Jakarta juga bersiap menghadapi kemungkinan-kemungkinan bencana lain seperti terjadi kebakaran, aksi terorisme, hingga penyakit pandemi penyakit.

Menurut Effendi, operator rutin melakukan simulasi untuk menghadapi berbagai kemungkinan bencana mengingat MRT telah digunakan oleh puluhan ribu orang setiap hari.

Guna mengantisipasi kemungkinan kebakaran, MRT sudah menyiapkan jalur khusus yang bisa dilalui oleh Pemadam Kebakaran supaya petugas pemadam bisa segera sampai di titik api tanpa melewati pintu masuk stasiun biasa.

MRT Jakarta juga bekerja sama dengan Kepolisian serta TNI untuk merancang standar prosedur operasi khusus dan melakukan simulasi guna menghadapi kemungkinan terjadi bencana dan terorisme.

"Setiap tiga bulan pasti akan kita lakukan simulasi, bergantian antara banjir, kebakaran, dan terorisme," kata Effendi.

Saat COVID-19 merambah wilayah Indonesia, MRT langsung membersihkan Ratangga dan melakukan disinfeksi setiap hari sesuai standar kebersihan rumah sakit.

Sesuai dengan instruksi Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, MRT langsung menyiapkan standar prosedur operasi pemeriksaan suhu bagi siapapun yang memasuki fasilitas mereka selain menyiapkan pembersih tangan.

Effendi mengatakan fasilitas mitigasi bencana dan standar prosedur operasional untuk menghadapi segala kemungkinan bencana akan diterapkan pada pembangunan fase dua jalur MRT.

Pembangunan jalur MRT fase dua akan lebih sulit karena seluruh pembangunan akan dilakukan di bawah tanah dan beberapa di antaranya di bawah Sungai Ciliwung.

"InsyaAllah, dari sisi teori, dari sisi yang sudah kita persiapkan 99,99 persen aman. Sejauh ini, Alhamdulillah, kita tidak ada masalah," kata Effendi.

 

Mitigasi Bencana

Menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), sampai akhir Februari 2020, Indonesia menghadapi lebih dari 600 bencana, yang mengakibatkan 123 orang meninggal dunia, dua orang hilang, serta 1,4 juta orang mengungsi.

BNPB antara lain fokus menyampaikan sosialisasi mengenai mitigasi bencana dalam upaya menekan dampak bencana.

"BNPB terus melakukan imbauan dan mengarustamakan (mitigasi bencana) kepada seluruh pihak baik dari sisi pemerintah, masyarakat, maupun dunia usaha untuk melakukan program-program," kata Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan BNPB Agus Wibowo.

Menurut dia, penting bagi pemerintah, komunitas, maupun pelaku usaha untuk mengembangkan sendiri program mitigasi bencana yang sesuai dengan kondisi tempat mereka berada.

Program mitigasi bencana bisa berupa standardisasi bangunan tahan bencana, pembangunan sarana transportasi tahan bencana, sampai penyiapan sekolah tangguh bencana.

Deputi Bidang Sistem dan Strategi BNPB Bernardus Wisnu Widjaja juga mengemukakan pentingnya manajemen risiko dalam menghadapi bencana.

Upaya untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman mengenai risiko bencana, menurut dia, antara lain bisa dilakukan melalui program-program pendidikan dan pelatihan.

Dalam hal ini, BNPB menyediakan aplikasi kaji potensi bencana inaRISK untuk mengetahui daerah-daerah risiko bencana. Aplikasi itu bisa diakses dari laman resmi BNPB.

Setelah risiko bencana dipahami, Wisnu mengatakan, mesti dilakukan pengelolaan masalah, dilakukan upaya untuk mencari solusinya.

Selanjutnya, ia mengatakan, dibutuhkan investasi untuk mengurangi risiko bencana. Jika sudah dapat mengidentifikasi risiko bencana
dan membuat rencana menghadapinya, harus ada investasi untuk memastikan realisasinya.

Langkah terakhir dalam manajemen risiko bencana, menurut dia, meningkatkan kesiapsiagaan dengan rutin melakukan simulasi menghadapi bencana.

"Karena dengan persiapan kita bisa merespons dengan cepat dan efisien dan kalau bencana sudah terjadi kita bisa melakukan pemulihan dengan membangun lebih baik," demikian Wisnu Widjaja. (*)
 

Pewarta: Prisca Triferna Violleta

Editor : Slamet Hadi Purnomo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2020