Dua pakar hukum dari Universitas Airlanga Surabaya bersaksi dalam persidangan perkara dugaan pemalsuan akta otentik yang mendudukkan pengusaha Henry Jocosity Gunawan dan istrinya Iuneke Anggraeni sebagai terdakwa di Pengadilan Negeri Surabaya.  

Kedua saksi ahli itu adalah Prof Dr Nur Basuki Minarno SH, MHum dan Prof Dr Yohanes Sogar Simamora SH, Mhum.

Dalam persidangan di Pengadilan Negeri Surabaya, Kamis, Prof Nur Basuki bersaksi bahwa penerapan Pasal 266 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dalam perkara ini bisa dijeratkan tanpa harus menunggu adanya kerugian yang diderita pelapor. 

"Dalam Pasal 266 KUHP, sebagian delik formil yang diancam pidana adalah perbuatannya. Memang dirumuskan dengan istilah dengan dapat menimbulkan kerugian. Namun kalau kerugian belum muncul tidak apa-apa, karena delik formil," katanya.

Baca juga: Pengacara Henry Gunawan minta hakim hadirkan notaris di persidangan

Nur Basuki menandaskan bahwa yang terpenting dalam perkara ini adalah pembuktian adanya keterangan yang tidak sesuai dengan fakta yang diterangkan oleh para pihak dalam akta.

Selanjutnya, menanggapi pertanyaan Hotma Sitiompul, dari tim penasehat hukum kedua terdakwa, yang menyebut bahwa akta yang digunakan sebagai alat bukti dalam perkara ini merupakan akta palsu, karena kliennya merasa tidak pernah menghadap ke notaris dan tidak pernah dibacakan, Prof Nur Basuki menyatakan harus dibuktikan terlebih dahulu melalui pengadilan, tidak bisa hanya dengan opini belaka.

"Kalau prosedur pembuatan aktanya sudah benar dan telah dibacakan serta ditandatangani, maka tidak ada yang namanya akta palsu. Untuk palsu atau tidak, harus diuji melalui pengadilan," ucapnya.

Baca juga: Sujatmiko ungkap susahnya nagih utang ke pengusaha Henry Gunawan

Sementara Prof Yohanes Sogar dalam persidangan tersebut bersaksi terkait sahnya perkawinan, yang telah diatur dalam Pasal 2, Ayat (1) dan (2), Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

"Perkawinan sah apabila dilangsungkan menurut agama dan kepercayaan masing-masing dan dicatat di kantor negara, baik KUA maupun catatan sipil. Sehingga menjadi jelas bahwa jika menyangkut perkawinan, maka wajib dicatat," ujarnya.

Prof Yohanes dalam kesempatan itu juga menegaskan bahwa perkawinan adat tidak dikenal dalam hukum Indonesia karena aturan hukumnya jelas, yaitu Pasal 2 Undang-undang Perkawinan dan Undang-undang Administrasi Kependudukan.

"Terkait keabsahan akta otentik apabila terdapat ketidaksesuaian isi, akan tetap berlaku. Hanya saja kekuatan pembuktiannya menjadi akta di bawah tangan," ujarnya, menjelaskan.

Henry dan istrinya dalam perkara ini diadili dengan tuduhan memberikan keterangan palsu ke dalam dua akta otentik terkait perjanjian pengakuan utang dan personal guarantee dengan PT Graha Nandi Sampoerna sebagai pemberi utang senilai Rp17.325.000, yang disahkan di hadapan notaris Atika Ashibilie SH di Surabaya pada 6 Juli 2010.

Dalam dua akta tersebut, Henry menyatakan bahwa dirinya mendapat persetujuan dari istrinya Iuneke Anggraini, dengan masing-masing membubuhkan tanda tangan, untuk bersama-sama akan membayar utang tersebut.

Belakangan terungkap Henry dan Iuneke menikah pada tanggal 8 November 2011 di Vihara Buddhayana Surabaya sebagaimana tercatat di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil tertanggal 9 November 2011.

Pewarta: Hanif Nashrullah

Editor : Didik Kusbiantoro


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2019