Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Saut Situmorang menegaskan bahwa tugas penindakan yang dilakukan lembaganya sampai saat ini masih berjalan meskipun Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 mengenai Perubahan UU KPK telah diberlakukan.

"Hari ini kami masih bekerja, penyelidik masih terus bekerja tetapi aku tidak bisa nunjukin kamu kan siapa (pihak terduga berperkara) yang lagi saya ikutin hari ini," ucap Saut di gedung KPK, Jakarta, Jumat.

Ia pun tak mempermasalahkan bahwa belum lagi ada operasi tangkap tangan (OTT) sejak Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 diberlakukan sejak 17 Oktober 2019.

"Ya kamu lihat saja kemarin KPK juga ada dua bulan tiga bulan (tidak ada OTT)," ujar Saut.



Sementara soal tunggakan kasus di KPK yang belum selesai, ia menyatakan akan mempelajarinya lebih lanjut.

"Iya itu nanti kami pelajari, kami pelajari pelan-pelan ya," ujar Saut.

Sebelumnya, KPK telah mengidentifikasi 26 persoalan dalam revisi Undang-Undang KPK yang nantinya berisiko melemahkan kerja lembaga antirasuah tersebut.

Ke-26 persoalan tersebut, yakni pelemahan independensi KPK, bagian yang mengatur bahwa pimpinan adalah penanggung jawab tertinggi dihapus, dewan pengawas lebih berkuasa daripada pimpinan KPK, kewenangan dewan pengawas masuk pada teknis penanganan perkara.



Selanjutnya standar larangan etik dan anti konflik kepentingan untuk dewan pengawas lebih rendah dibanding pimpinan dan pegawai KPK, dewan pengawas untuk pertama kali dapat dipilih dari aparat penegak hukum yang sedang menjabat yang sudah berpengalaman minimal 15 tahun, pimpinan KPK bukan lagi penyidik dan penuntut Umum sehingga akan berisiko pada tindakan-tindakan "pro justicia" dalam pelaksanaan tugas penindakan.

Kemudian, salah satu pimpinan KPK pasca UU ini disahkan terancam tidak bisa diangkat karena tidak cukup umur atau kurang dari 50 tahun, pemangkasan kewenangan penyelidikan, pemangkasan kewenangan penyadapan, operasi tangkap tangan (OTT) menjadi lebih sulit dilakukan karena lebih rumitnya pengajuan penyadapan dan aturan lain yang ada di UU KPK, terdapat pasal yang berisiko disalahartikan seolah-olah KPK tidak boleh melakukan OTT seperti saat ini lagi.

Berikutnya, ada risiko kriminalisasi terhadap pegawai KPK terkait penyadapan karena aturan yang tidak jelas di UU KPK, ada risiko penyidik PNS di KPK berada dalam koordinasi dan pengawasan penyidik Polri karena Pasal 38 ayat (2) UU KPK dihapus, berkurangnya kewenangan penuntutan, dalam pelaksanaan penuntutan KPK harus berkoordinasi dengan pihak terkait tetapi tidak jelas siapa pihak terkait yang dimaksud.



Selanjutnya, pegawai KPK rentan dikontrol dan tidak independen dalam menjalankan tugasnya karena status ASN, terdapat ketidakpastian status pegawai KPK apakah menjadi Pegawai Negeri Sipil atau PPPK (pegawai kontrak) dan terdapat resiko dalam waktu dua tahun bagi penyelidik dan penyidik KPK yang selama ini menjadi pegawai tetap kemudian harus menjadi ASN tanpa kepastian mekanisme peralihan ke ASN.

Kemudian, jangka waktu SP3 selama dua tahun akan menyulitkan dalam penanganan perkara korupsi yang kompleks dan bersifat lintas negara, diubahnya Pasal 46 ayat (2) UU KPK yang selama ini menjadi dasar pengaturan secara khusus tentang tidak berlakunya ketentuan tentang prosedur khusus yang selama ini menyulitkan penegak hukum dalam memproses pejabat negara.



Berikutnya, terdapat pertentangan sejumlah norma, hilangnya posisi penasihat KPK tanpa kejelasan dan aturan peralihan, hilangnya kewenangan penanganan kasus yang meresahkan publik, KPK hanya berkedudukan di ibukota negara, tidak ada penguatan dari aspek pencegahan, dan kewenangan KPK melakukan supervisi dikurangi. (*)

Pewarta: Benardy Ferdiansyah

Editor : Slamet Hadi Purnomo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2019