Para akademisi dari sejumlah pusat studi universitas dan organisasi non-pemerintah di Indonesia mendesak Presiden Joko Widodo untuk segera menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) terhadap Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang sudah disahkan.
"Secara substansi, UU KPK hasil revisi jelas bertolak belakang dengan agenda pemberantasan korupsi dan penyelamatan KPK, sehingga aliansi akademisi di seluruh universitas yang jumlahnya mencapai ribuan di Indonesia mendesak Presiden Joko Widodo segera menerbitkan Perppu terhadap UU KPK," kata Sekretariat Kaukus Kebebasan Akademik Indonesia (KKAI) Dr Herlambang P. Wiratraman saat menggelar jumpa pers di Universitas Jember, Jawa Timur, Senin.
Menurutnya, Presiden memiliki wewenang konstitusional prerogratif untuk menerbitkan Perppu atas dasar kondisi "kegentingan yang memaksa" dan Perppu itu jelas punya landasan konstitusional yakni wewenang yang diberikan UUD 1945 kepada Presiden (Pasal 22 ayat 1 UUD 1945 jo. Pasal 1 angka 4 UU No. 12 Tahun 2011).
"Bahkan pemaknaan ikhwal kegentingan yang memaksa, telah diatur oleh MK, melalui putusannya No. 138/PUU-VII/2009," ucap Herlambang yang juga Direktur Pusat Studi Hukum HAM (HRLS) Fakultas Hukum Unair itu.
Baca juga: Presiden Jokowi tidak akan buru-buru keluarkan Perppu, begini alasannya
Ia mengatakan Presiden Jokowi perlu mempertimbangkan realitas bahwa wewenang konstitusi itu akan punya dampak terbaik buat negara hukum Indonesia, sehingga jangan ada alasan mengulur-ulur waktu karena ada pihak yang mengajukan judicial review dan tekanan partai politik dengan ancaman pemakzulan.
"Tekanan partai-partai politik terhadap Presiden Jokowi untuk tidak mengeluarkan Perppu jelas merupakan kepentingan yang justru tidak menginginkan KPK kuat dan bekerja secara berintegritas," tuturnya.
Sementara dalam gerakan atau aksi yang meluas di seluruh penjuru Tanah Air menunjukkan bahwa desakan penguatan KPK menjadi satu bahasa perlawanan publik atas kebijakan Senayan dan partai-partai politik, namun sayangnya korban telah berjatuhan hingga menewaskan lima orang demontsran dan tidak sedikit mahasiswa atau siswa ditangkap dengan kekerasan.
"Kami mendesak Presiden Jokowi segera mengambil langkah tegas memperkuat KPK dan kembali ke dalam agenda pemberantasan korupsi, sehingga komitmen itu ditunjukkan dengan keberaniannya mengeluarkan Perppu UU KPK sebagai awal penguatan kembali lembaga antirasuah," ucapnya, menegaskan.
Selain itu, para akademisi juga menyatakan turut berduka cita mendalam atas mereka yang meninggal mau pun yang menjadi korban kekerasan dalam aksi terkait #ReformasiDikorupsi.
"Sebagai simbol duka sekaligus keteguhan untuk tetap berjuang bersolidaritas bersama, maka hari ini diluncurkan #PitaHitamMelawan sebagai inisiatif kami mendorong pengungkapan, pengusutan serta pertanggungjawaban hukum pelaku penembakan, penyiksaan/penganiayaan yang terjadi dalam aksi yang berlangsung pada September 2019," ujarnya.
Para akademisi juga mendesak otoritas penyelenggara kekuasaan untuk tetap menghormati dan melindungi hak-hak asasi manusia, jaminan kebebasan berekspresi/berpendapat, sekaligus memutus impunitas atas sejumlah pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi selama ini.
Sementara Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia/YLBHI Jakarta Asfinawati mengatakan meninggalnya lima korban dalam aksi #ReformasiDikorupsi dan banyak korban yang mengalami luka-luka akibat kekerasan harus menjadi perhatian dari Presiden Jokowi.
"Lebih dari 2.000 guru besar dari berbagai universitas mendukung penerbitan Perppu terhadap UU KPK dan data itu akan terus bertambah, sehingga ketika revisi UU KPK diberlakukan, maka itu menjadi pertanda matinya penegakan korupsi di Indonesia," katanya.
Desakan penerbitan Perppu terhadap UU KPK didukung oleh Serikat Pengajar HAM Indonesia (SEPAHAM), CHRM2 Universitas Jember, Pusat Studi HAM Universitas Surabaya, Pusat Studi Anti Korupsi dan Demokrasi (PUSAD) Unmuh Surabaya, Pusat Studi Anti Korupsi dan Kebijakan Pidana (CACCP) FH Unair, Pusat Studi Hukum HAM (HRLS) FH Unair,
Kemudian Pusat Pengembangan HAM dan Demokrasi (PPHD) FH Unibraw, Pusat Studi Anti Korupsi (SAKSI) Universitas Mulawarman, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Sekretariat Kaukus Kebebasan Akademik Indonesia (KKAI) dan sejumlah individual dari UGM Yogyakarta, Universitas Negeri Semarang (UNNES), Universitas Padjadjaran (UNPAD) Bandung.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2019
"Secara substansi, UU KPK hasil revisi jelas bertolak belakang dengan agenda pemberantasan korupsi dan penyelamatan KPK, sehingga aliansi akademisi di seluruh universitas yang jumlahnya mencapai ribuan di Indonesia mendesak Presiden Joko Widodo segera menerbitkan Perppu terhadap UU KPK," kata Sekretariat Kaukus Kebebasan Akademik Indonesia (KKAI) Dr Herlambang P. Wiratraman saat menggelar jumpa pers di Universitas Jember, Jawa Timur, Senin.
Menurutnya, Presiden memiliki wewenang konstitusional prerogratif untuk menerbitkan Perppu atas dasar kondisi "kegentingan yang memaksa" dan Perppu itu jelas punya landasan konstitusional yakni wewenang yang diberikan UUD 1945 kepada Presiden (Pasal 22 ayat 1 UUD 1945 jo. Pasal 1 angka 4 UU No. 12 Tahun 2011).
"Bahkan pemaknaan ikhwal kegentingan yang memaksa, telah diatur oleh MK, melalui putusannya No. 138/PUU-VII/2009," ucap Herlambang yang juga Direktur Pusat Studi Hukum HAM (HRLS) Fakultas Hukum Unair itu.
Baca juga: Presiden Jokowi tidak akan buru-buru keluarkan Perppu, begini alasannya
Ia mengatakan Presiden Jokowi perlu mempertimbangkan realitas bahwa wewenang konstitusi itu akan punya dampak terbaik buat negara hukum Indonesia, sehingga jangan ada alasan mengulur-ulur waktu karena ada pihak yang mengajukan judicial review dan tekanan partai politik dengan ancaman pemakzulan.
"Tekanan partai-partai politik terhadap Presiden Jokowi untuk tidak mengeluarkan Perppu jelas merupakan kepentingan yang justru tidak menginginkan KPK kuat dan bekerja secara berintegritas," tuturnya.
Sementara dalam gerakan atau aksi yang meluas di seluruh penjuru Tanah Air menunjukkan bahwa desakan penguatan KPK menjadi satu bahasa perlawanan publik atas kebijakan Senayan dan partai-partai politik, namun sayangnya korban telah berjatuhan hingga menewaskan lima orang demontsran dan tidak sedikit mahasiswa atau siswa ditangkap dengan kekerasan.
"Kami mendesak Presiden Jokowi segera mengambil langkah tegas memperkuat KPK dan kembali ke dalam agenda pemberantasan korupsi, sehingga komitmen itu ditunjukkan dengan keberaniannya mengeluarkan Perppu UU KPK sebagai awal penguatan kembali lembaga antirasuah," ucapnya, menegaskan.
Selain itu, para akademisi juga menyatakan turut berduka cita mendalam atas mereka yang meninggal mau pun yang menjadi korban kekerasan dalam aksi terkait #ReformasiDikorupsi.
"Sebagai simbol duka sekaligus keteguhan untuk tetap berjuang bersolidaritas bersama, maka hari ini diluncurkan #PitaHitamMelawan sebagai inisiatif kami mendorong pengungkapan, pengusutan serta pertanggungjawaban hukum pelaku penembakan, penyiksaan/penganiayaan yang terjadi dalam aksi yang berlangsung pada September 2019," ujarnya.
Para akademisi juga mendesak otoritas penyelenggara kekuasaan untuk tetap menghormati dan melindungi hak-hak asasi manusia, jaminan kebebasan berekspresi/berpendapat, sekaligus memutus impunitas atas sejumlah pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi selama ini.
Sementara Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia/YLBHI Jakarta Asfinawati mengatakan meninggalnya lima korban dalam aksi #ReformasiDikorupsi dan banyak korban yang mengalami luka-luka akibat kekerasan harus menjadi perhatian dari Presiden Jokowi.
"Lebih dari 2.000 guru besar dari berbagai universitas mendukung penerbitan Perppu terhadap UU KPK dan data itu akan terus bertambah, sehingga ketika revisi UU KPK diberlakukan, maka itu menjadi pertanda matinya penegakan korupsi di Indonesia," katanya.
Desakan penerbitan Perppu terhadap UU KPK didukung oleh Serikat Pengajar HAM Indonesia (SEPAHAM), CHRM2 Universitas Jember, Pusat Studi HAM Universitas Surabaya, Pusat Studi Anti Korupsi dan Demokrasi (PUSAD) Unmuh Surabaya, Pusat Studi Anti Korupsi dan Kebijakan Pidana (CACCP) FH Unair, Pusat Studi Hukum HAM (HRLS) FH Unair,
Kemudian Pusat Pengembangan HAM dan Demokrasi (PPHD) FH Unibraw, Pusat Studi Anti Korupsi (SAKSI) Universitas Mulawarman, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Sekretariat Kaukus Kebebasan Akademik Indonesia (KKAI) dan sejumlah individual dari UGM Yogyakarta, Universitas Negeri Semarang (UNNES), Universitas Padjadjaran (UNPAD) Bandung.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2019