Sudah 4 tahun lebih Indonesia tidak memiliki payung hukum pelaksanaan pengelolaan sumber daya air (SDA). Hal itu karena adanya pembatalan semua pasal terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air oleh Mahkamah Konstitusi pada 18 Februari 2015.

Karenanya, aturan payung hukum baru harus segera diterbitkan.

Pentingnya diundangkannya dengan segera RUU SDA yang baru karena, meskipun keputusan MK juga menyatakan bahwa UU No. 11 Tahun 1974 tentang pengairan diberlakukan kembali, tetapi MK dalam amar keputusannya juga tidak menyatakan bahwa semua aturan pelaksanaan yang mengikuti UU No. 11 Tahun 1974 berlaku kembali.

Dengan demikian, semua aturan tesebut juga batal demi hukum karena sudah semua aturan pelaksanaan UU No. 11 Tahun 1974 juga dibatalkan oleh semua tata aturan di bawah UU Nomor 7 Tahun 2004.

Sebab berlarut-larutnya RUU SDA untuk segera diundangkan, akan berdampak pada terhambatnya iklim yang tidak kondusif dan proses investasi yang belum ada kepastian hukumnya untuk mengatur pendirian industri berbasis air di Indonesia.

Padahal dalam catatan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), investasi paling besar pada 2018 lalu masih berasal dari sektor listrik, gas, dan air yang mencapai Rp117,5 triliun atau 16,3 persen dari total investasi, di mana Penanaman Modal Asing (PMA) di secktor ini sebesar Rp392,7 triliun atau 15 persen dari totalinvestasi.

Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang Brodjonegoro mengharapkan ke depan akan lebih banyak investasi terutama dari swasta, untuk membangun sarana penyediaan air minum di seluruh wilayah Indonesia.

Bambang menuturkan, penyediaan sarana air bersih oleh pemerintah memang terus dilakukan oleh pemerintah dengan menggunakan anggaran negara. Namun, dana dari APBN dan APBD sendiri dinilai sangat terbatas untuk investasi di sektor tersebut.

"Oleh karena itu, pihak swasta diharapkan dapat berkontribusi menyediakan sarana penyediaan air minum tersebut. Pemerintah sendiri juga membuka diri untuk menjalin kerja sama dan siap memfasilitasi swasta untuk membangun sarana penyediaan air minum di Tanah Air," tuturnya, beberapa waktu lalu.

Senada dengan Bappenas, Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Danang Giriwardana, menuturkan bahwa kebutuhan akan air di Indonesia saat ini sangat besar. Namun, katanya, negara yang memiliki kewajiban untuk memenuhi hak pemenuhan kebutuhan masyarkat akan air masih belum mampu memenuhinya.

"Malah draf RUU SDA yang kini dibahas pemerintah dan DPR tidak menjawab masalah kecukupan pemenuhan air untuk rakyat itu. Yang ada dalam draf RUU itu justru terlalu lebar, sehingga tidak hanya mengacu pada fungsi air sebagai fungsi sosial namun juga komersial," ujarnya.

Menurutnya, bentuk penguasaana negara terhadap air itu seharusnya hanya sampai pada tahap membuat regulasi dan memberikan pengawasan, sehingga negara bisa mendelegasikan kepada swasta atau individu untuk mengelola sebaik-baiknya.

"Ini menjadi rumit bagi Indonesia dalam rangka pengamanan investasi, Harusnya kan regulasi itu tetap social friendly dan juga investor friendly," ucapnya.

Dia pun tetap berharap agar RUU SDA itu bisa segera diundangkan. "Tapi saya berharap, ketika UU SDA itu sudah disahkan, dapat berfungsi sesuai kebutuhannya, dan tidak hanya menampung kepentingan satu pihak saja," tegasnya.

Saat dikonfirmasi soal progress pembahasan RUU SDA ini, Anggota Panja RUU SDA dari Komisi V DPR RI, Syarif Abdullah, mengutarakan bahwa saat ini sudah masuk pada tahap diskusi perumasan. "Kita berharap sebelum selesai masa jabatan DPR ini, maka UU ini sudah rampung. Tidak ada kendala dalam perumusannya, paling perbedaan berkaitan masalah substansi," tuturnya.(*)

Pewarta: Abd Malik

Editor : Chandra Hamdani Noer


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2019