Direktur Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) Fakultas Hukum Universitas Jember (Unej) Dr Bayu Dwi Anggono memprediksi majelis hakim MK tidak mengabulkan gugatan yang diajukan tim Prabowo-Sandi dalam putusan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Presiden dan Wakil Presiden 2019 yang berlangsung yang akan digelar di Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis.

"Secara jelas terlihat dari alat bukti keterangan saksi yaitu sebanyak 14 saksi dan keterangan ahli 2 orang yang diajukan oleh pemohon terlihat kekuatan pembuktiannya sangat lemah dan terlihat tidak mampu mengarahkan mahkamah agar memiliki keyakinan mengabulkan dua petitum tersebut," katanya di Kabupaten Jember, Jawa Timur, Kamis.

Dalam petitum pemohon yakni memohon agar MK menyatakan batal dan tidak sah keputusan KPU Nomor 987/PL.01.08-KPT/06/KPU/V/2019 tentang Penetapan Hasil Pemilu Presiden dan Wapres, anggota DPR, DPD, DPRD dan DPRD Kabupaten/Kota secara nasional dalam Pemilihan Umum Tahun 2019 dan Berita Acara KPU Nomor 135/PL.01.8-BA/06/KPU/V/2019 tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara di Tingkat Nasional dan Penetapan Hasil Pemilu Tahun 2019 sepanjang terkait dengan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2019 dan kedua, menyatakan perolehan suara yang benar adalah sebagai berikut pasangan Joko Widodo-Ma'ruf Amin 63.573.169 suara (48 persen) dan Prabowo Subianto- Sandiaga Salahuddin Uno 68.650.239 (52 persen) dengan Jumlah 132.223408 (100 persen)..

Membaca perkembangan dan peluang pemohon, lanjut dia, maka dapat dilihat dari dua hal yaitu aspek formal dan aspek substansial/materiil yang masing-masing punya konsekuensi hukum masing-masing yaitu jika aspek formal tidak terpenuhi maka berujung permohonan tidak diterima, sementara aspek substansial jika tidak terbukti akan berujung kepada permohonan ditolak.

"Dilihat dari sejak awal diajukan nya permohonan hingga sidang kelima, maka dapat dikatakan baik aspek formal maupun substansial nampak posisi pemohon lemah," ucap Dosen Fakultas Hukum Unej itu.

Selain itu, sebagian besar saksi bicara mengenai tuduhan 17,5 juta DPT invalid, namun dalam persidangan pemohon bahkan tidak mampu menghadirkan ke persidangan alat bukti surat/tulisan terkait dengan dugaan DPT invalid tersebut

Ia menjelaskan kelemahan aspek formal adalah adanya pelanggaran hukum acara, ketidakjelasan permohonan (permohonan kabur) dan ketidaktepatan petitum, sehingga dapat diuraikan memaksakan perbaikan permohonan padahal hal itu dilarang, melawan perintah hakim dengan tetap membacakan perbaikan permohonan, dan membuat petitum yang bukan kewenangan MK seperti diskualifikasi pasangan calon nomor urut 01 dan meminta pemberhentian seluruh komisioner KPU.

"Kelemahan aspek materiil bisa dikategorikan aspek kuantitatif dan kualitatif. Sebagian besar saksi dan ahli fokus memberikan kesaksian dan keahlian mengenai permasalahan Situng, padahal jelas menurut UU Pemilu keputusan KPU tentang penetapan perolehan suara bukan berdasarkan situng melainkan rekap berjenjang," katanya.

Terkait dengan keinginan MK menegakkan keadilan substansial, lanjut dia, maka perlu diingat bahwa keadilan substansial juga harus lahir dari cara-cara yang diatur oleh hukum dalam hal ini hukum acara.

"Keadilan substantial diletakkan dalam kerangka Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan," ujarnya.

Dengan demikian keadilan yang dihasilkan oleh MK, katanya, haruslah tetap dalam batas-batas yang diatur dalam peraturan perundang-undangan dan hukum acara yang telah ditetapkan sebelumnya.

Mahkamah Konstitusi akan memutus perkara sengketa hasil Pemilu Presiden 2019 yang dimohonkan pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 02, Prabowo Subianto dan Sandiaga Salahuddin Uno pada Kamis (27/6) pukul 12.30 WIB. (*)
 

Pewarta: Zumrotun Solichah

Editor : Slamet Hadi Purnomo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2019