Alunan musik banjari dari Taman Pendidikan Qur’an (TPQ) Miftahul Ulum Surabaya membuka peringatan setahun tragedi bom gereja di Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela Surabaya, Senin (13/5) malam.

Acara doa bersama dari masyarakat lintas agama tersebut juga diwarnai dengan aksi menyalakan lilin sebagai simbol menolaknya aksi kekerasan di Surabaya dan Indonesia.

"Kami sudah sering mengisi acara lintas agama, ini keempat kalinya. Tapi baru pertama di gereja ini,” kata pembina TPQ Miftahul Ulum, Samsul Huda.

Dia mengatakan partisipasi mereka juga ditujukan agar anak-anak TPQ Miftahul Ulum tidak anti dengan orang-orang non-muslim, mereka harus memahami bahwa umat agama lain adalah saudara yang harus dirangkul, agar tetap terjalin persatuan dan kesatuan demi utuhnya NKRI.

Sementara itu, salah satu umat gereja yang turut hadir, Maria Pia Suzanna menyatakan bahwa tampilnya banjari bisa menjadi bukti bahwa umat beragama hidup berdampingan dengan rukun dan damai.

"Sebenarnya kita ini rukun-rukun saja, tapi karena ada provokator akhirnya ribut," tuturnya.

Maria berharap, toleransi antar umat beragama lebih kuat lagi untuk kedepannya mengingat agama di era sekarang terlalu mudah disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu. Selain itu pemahaman mengenai toleransi antar agama harus ditanamkan pada anak-anak sejak usia dini.

Pimpinan Gereja STMB, Romo Eka Winarno mengatakan kegiatan ini sebagai simbol setiap tanggal 13 Mei untuk menolak segala bentuk kejahatan, seperti teroris, kekekerasan lain yang mengakibatkan korban.

"Sejauh saya mengenal dan bertemu dengan korban, mereka mulai bangkit. Namun untuk pulih tidak bisa diukur tapi mereka memaafkan. Karena pelaku juga salah tafsir atau memahami agama," katanya.

Kegiatan refleksi dan doa bersama tak hanya untuk korban bom di tiga gereja di Surabaya tapi juga untuk korban aksis teror di Selandia Baru dan Sri Lanka. (*)

Pewarta: Willy Irawan/Izzatul Mucharrom

Editor : Slamet Hadi Purnomo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2019