Banyaknya jumlah penyelenggara yang menjadi korban pelaksanaan Pemilu Serentak 2019 telah membuat semua pihak terkejut sekaligus miris.

Jumlahnya yang terus bertambah dari hari ke hari pascapemungutan suara tanggal 17 April hingga saat ini, memaksa semua lembaga pemangku kepentingan harus menata ulang pelaksanaan sistem pemilu yang aka digelar di masa mendatang.

Data KPU RI menyebutkan, ada 318 petugas pemilu yang meninggal dunia hingga Selasa (30/4/2019) pukul 08.00 WIB. Jumlah petugas meninggal terbanyak berasal dari Provinsi Jawa Barat yang mencapai 89 orang.

Setelah itu, dari Provinsi Jawa Timur dengan 39 orang, Jawa Tengah sebanyak 31 orang, Banten sebanyak 21 orang, dan Sumatera Utara sebanyak 12 orang.

KPU juga mencatat ada 2.232 petugas pemilu sakit akibat bertugas. Penyelenggara yang sakit paling banyak berasal dari Jawa Barat dengan 260 orang, Jawa Tengah sebanyak 246 orang, Sulawesi Selatan 191 orang, NTB sebnayak 182, dan Aceh 125 orang.

Sisi muram pesta demokrasi tersebut tentu harus menjadi perhatian semua pihak. Sistem penyelenggaraan pemilu perlu dirombak agar tidak ada lagi korban jiwa berjatuhan. Sebab, terbukti menyita energi besar khususnya bagi para petugas penyelenggara.

"Perlu dilakukan evaluasi. Saya setuju sistem penyelenggaraan pemilu dibenahi," ujar Rektor Universitas PGRI Madiun Parji.

Biang utamanya adalah beban kerja yang berat. Petugas KPPS tidak hanya wajib bekerja saat pemungutan suara. Sebelum TPS dibuka, mereka sudah harus bekerja hingga penghitungan suara dan logistik dikirim ke PPS. Untuk itu, butuh waktu belasan jam paling cepat.

"Siapa pun petugasnya pasti akan kelelahan. Sebab, tenaganya diforsir selama berjam-jam. Apalagi petugas dituntut jeli, tidak boleh ada kesalahan," ucap Parji.

Pihaknya menyarankan, ke depan pembatasan usia petugas juga perlu diperhatikan. Hal itu melihat banyaknya petugas yang sudah lanjut usia dan rawan sakit, meskipun ada juga kasus masih berusia produktif yang jatuh sakit bahkan meninggal.

Idealnya pemilu dikembalikan seperti tahun 2014 lalu. Ia menilai konteks serentak seperti disebut di undang-undang itu tidak harus dalam waktu yang sama. Tapi diberi selang waktu berbeda.

Pihaknya prihatin dengan kondisi banyaknya pejuang demokrasi yang tumbang. Tak hanya sakit, ada yang kecelakaan, keguguran, hingga meninggal dunia. Sepatutnya, nyawa lebih mahal harganya dibandingkan pesta demokrasi.

Sebenarnya, sebelum aturan pemilu serentak disahkan. Para akademisi dan pakar hukum banyak yang menyarankan KPU untuk mempertahankan sistem lama.

Hal itu sebab banyak surat suara yang harus dihitung sekaligus dari lima jenis pemilihan berbeda. Petugas tidak hanya terbebani secara fisik, namun juga psikologisnya.

Sangat disarankan sistem penyelenggaraan pemilu dikembalikan seperti pada tahun 2014. Saat itu, pilpres dan pileg dilaksanakan secara terpisah, tetapi tetap di tahun yang sama, namun berjarak tiga bulan, sehingga menghindarkan petugas supaya tidak mengalami kelelahan parah.

Ditanggung Pemerintah

Banyaknya pejuang demokrasi yang tumbang membuat berbagai pihak bersimpati. Di antaranya Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Ngawi yang akan menggratiskan biaya pengobatan bagi para penyelenggara pemilu yang sakit dan dirawat di rumah sakit maupun puskesmas setempat.

"Saya sudah meminta kepala dinas dan direktur rumah sakit supaya mereka digratiskan," ungkap Bupati Ngawi Budi Sulistyono.

Ia mengaku telah mendapat informasi mengenai banyaknya petugas pemilu di Ngawi yang sakit. Namun sayang, upaya KPU mengajukan klaim asuransi jaminan sosial kepada BPJS Ketenagakerjaan bertepuk sebelah tangan. Hal itu karena masih ada persepsi yang berbeda, terutama soal risiko.

Di mana, pihak BPJS Ketenagakerjaan menyatakan hanya risiko kecelakaan kerja dan kematian yang bisa dibantu. Padahal, menurutnya, risiko kelelahan itu juga patut dipertimbangkan.

"Karena itu, sebelum kesamaan persepsi antara KPU dan BPJS ketemu, biaya pengobatan akan ditanggung pemkab. Dibantu pemerintah daerah dulu," tutur Bupati yang akrab disapa Kanang ini.

Apa yang dilakukan para petugas pemilu dalam mencurahkan tenaga, pikiran, bahkan kesehatannya demi pemilu yang lancar dan sukses sungguh tak ternilai harganya.

Berdasarkan data KPU Ngawi, ada sebanyak 27 petugas penyelenggara pemilu di Kabupaten Ngawi yang mengalami kelelahan. Di antaranya mereka banyak yang menderita sakit, satu orang mengalami keguguran, dan seorang lainnya meninggal dunia. Sebagian dari mereka masih ada yang rawat jalan dan dalam masa pemulihan.

Ia menambahkan, ke depan perlu ada evaluasi bagi penyelenggaraan pemilu supaya kasus serupa tidak terulang. Sebab, pada pesta demokrasi kali ini cukup banyak petugas yang sakit, bahkan meninggal dunia. Tak hanya warga sipil, tapi juga dari kalangan TNI dan Polri.

Selain petugas yang sakit biayanya akan ditanggung pemerintah, yang meninggal juga mendapat santunan. Seperti yang dialami oleh Alvi Nurrahma (13) warga Desa Pilangrejo, Kecamatan Wungu, Kabupaten Madiun.

Alvi merupakan ahli waris dari Supin Indarwati (37) yang meninggal dunia karena dugaan kelelahan bekerja maraton pada Rabu (24/4). Ibunya tercatat sebagai anggota kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) di TPS 06 desa setempat.

Alvi yang kini yatim piatu, karena ayahnya yang lebih dulu meninggal dunia, telah menerima santunan sebesar Rp15 juta dari Pemprov Jatim.

Alvi juga menerima piagam penghargaan ibunya atas jasanya melaksanakan tugas negara sebagai penyelenggara Pemilu Serentak 2019.

Tidak ada firasat yang dirasakan Alvi menjelang kepergian ibunya. Komunikasi sebelum atau setelah bertugas sebagai KPPS, dirasa sebagai obrolan biasa sehari-hari. Hanya saja, sejak menjadi anggota KPPS, ibunya sangat sibuk, terlebih menjelang pencoblosan dan sesudahnya.

"Ibu cepat sembuh, ya. Dijawab iya," kata Alvi mengulang obrolannya waktu itu. Ia tidak menyangka jika itu obrolan terakhir dengan ibunya yang kali itu dirawat di RSUD dr Soedono Madiun.

Beruntung dukungan terus berdatangan dari keluarga, teman-teman, dan guru sekolah. Bupati Madiun Ahmad Dawami juga sempat datang untuk mengucapkan belasungkawa dan memberikan dukungan moral.

"Bupati juga menjanjikan mencukupi kebutuhan sekolah dan meminta saya menghubungi beliau kalau ada yang diperlukan," kata siswa SMP Negeri 7 Kota Madiun itu.

Statusya yang kini menjadi anak yatim piatu membuat semua pihak bersimpati. Banyak yang ingin menjadikan Alvi sebagai anak asuh.

Ia hanya berharap agar pesta demokrasi yang berlangsung tiap lima tahunan itu tidak rumit. Sehingga, yang dialami ibunya tidak terulang kembali.(*)

Pewarta: Louis Rika Stevani

Editor : Chandra Hamdani Noer


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2019